IDEALISME MAHASISWA
*Moh. Usman Ainur Rofiq
Sira Gajah Mada Patih Amangkubumi tan ayun amuktia palapa. Sira Gajah Mada, lamun huwus kalaha Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, Ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana Isun amuktia palapa.
Konon, kalimat tersebut adalah percikan sumpah yang dikatakan oleh seorang Mahapatih dari sebuah kerajaan kecil yang terletak di Jawa Timur. Dia berucap tidak akan menikmati palapa (nginang), sebelum bisa menaklukkan wilayah sampai ke Tumasik (Singapura) disebelah utara, dan pulau Seram di sebelah timur. Tak ayal, pada saat itu, banyak cemoohan tertuju padanya, orang-orang terkekeh karena menganggap mustahil hal itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin negara yang kecil dengan pasukan terbatas bisa menaklukkan Nusantara yang demikian luasnya. Ternyata, keinginan yang diagungkan oleh Gajah Mada dalam sumpahnya benar-benar terjadi, bahkan bisa melampauinya. Kerajaan Majapahit bertransformasi menjadi kerajaan yang besar, bahkan sangat besar dan begitu disegani. Wilayahnya begitu luas, meliputi Laos, Kamboja dan sampai Philipina bagian selatan, lebih besar dari apa yang disematkan Gajah Mada dalam sumpahnya.
Seandainya Mahapatih Majapahit tersebut tidak mempunyai idealisme sebagaimana yang dikatakan dalam sumpahnya, maka mungkin kejayaan Majaphit di masa silam hanyalah angan. Meskipun tidak dapat dipungkiri, kedigdayaan Majapahit yang legendaris itu bukan hanya dipengaruhi oleh faktor idealismenya saja, namun juga aspek yang lain. Namun setidaknya peran idealisme Gajah Mada sangat vital.
Kedigdayaan Majapahit dapat dianalogikan sebagai pohon kelapa yang tumbuh besar, adapun idealisme Gajah Mada adalah tunasnya. Tanpa tunas tidak mungkin ada pohon, apalagi buahnya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Idealisme adalah menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar, yang dapat dicamkan dan dipahami. Secara umum idealisme mempunyai dua arti; Pertama, bisa jadi idealisme adalah keadaan dimana seeorang menerima dan menghayati persepsi moral yang tinggi untuk diterapkan, baik dalam estetika ataupun agama. Kedua, keadaan dimana seseorang yang merancang suatu hal yang belum ada dan bersikeras untuk mewujudkannya.
Dalam katagori pertama, seorang idealis seperti ini akan cenderung keras kepala untuk melakukan apa yang dianggapnya benar. Skeptis dan berfikir esensial adalah ciri khasnya. Mula-mula dia akan bertanya, apakah keadaan yang ada sudah sesuai dengan semestinya? apakah yang seharusnya adalah yang senyatanya? Maka oleh sebab itu, orang seperti ini tidak akan mudah terperosok oleh lingkungan yang berbanding terbalik dengan apa yang ada didalam pikirannya. Seorang yang idealis akan benar-benar menggali dan mengukur dengan persepsi moral yang tinggi. Titik point dari pada idelisme ini adalah, bagaimana manusia bisa benar-benar membedakan apa yang secara esensial adalah kebenaran dan harus diperjuangkan, daripada sekedar mendahulukan kepentingan dan hasrat duniawiyahnya semata.
Seorang mahasiswa seharusnya bisa masuk dalam kategori ini. Dengan idealisme seperti ini dia tidak akan mudah untuk terpengaruh oleh keadaan dan lingkungan. Karena kecendrungan yang ada adalah bahwa di banyak tempat dan keadaan, fanatisme ditempatkan diatas segalanya. Kenyataannya memang lebih banyak manusia yang megartikan suatu kebenaran tidak diukur dengan anugerah akal yang dimiliki, tapi dengan keputusan kelompok dan golongan di mana dia menempatkan fanatismenya. Sehingga segala sesuatu yang ada dan berkembang dalam kelompok tersebut, meskipun salah, dia dengan sangat mudah mengiyakan dan mematuhi. Hal ini mempunyai dua kemungkinan, bisa jadi perintah yang salah tersebut disadari, tapi karena fanatisme yang tinggi, dia tidak peduli, atau bisa jadi fanatisme tersebut mungkin telah menutup mata hati mereka terhadap arti kebenaran sejati. Aristoteles pernah berkata “Amicus plato, sed magis amica veritas” (Plato adalah sahabat saya, tetapi saya lebih bersahabat dengan kebanaran). Seyogyanya mahasiswa bisa mengambil hikmah terhadap apa yang dikatakan Aristoteles tersebut.
Salah satu aspek untuk menuju kesuksesan adalah networking atau berjejaring, maka dia harus bisa kenal, bersahabat dan berteman dengan siapapun. Namun sebagaimana berlayar di lautan, dia tidak harus selalu mengikuti arus, atau selalu melawan arus, tapi dia harus stay calm pada jalan tujuan utama dia hendak berlayar. Hal ini juga berkaitan dengan yang dikutip oleh Salim Said dalam buku Indonesia Society in Transition karangan Werteim. Werteim mengatakan bahwa “Individualisme datang terlambat di Asia tenggara”. Tidak dapat dipungkiri, meskipun tidak ada kalkulasi yang akurat mengenai hal ini, namun individualisme dalam bertindak dan mengambil keputusan cenderung kalah oleh rasa fanatisme terhadap golongan dalam diri seseorang. Sementara itu Salim Said menambahkan, bahwa di Indonesia masih banyak “mental inlander”. Ciri utama hal ini adalah gampang terpukau, kurang percaya diri dan akhirnya gemar meniru dan tertarik dengan sesuatu yang ada.
Di sisi lain, hal yang perlu diperhatikan juga adalah jangan sampai idealisme yang ada itu hanya bersayap sebelah. Artinya, dia sangat idealis pada kebenaran yang ia yakini, namun tanpa dibarengi dengan kebijaksanaan dan pengetahun yang mumpuni. Hal ini bisa diibaratkan dengan orang yang sangat yakin untuk menempuh suatu jalan, padahal dia belum mengetahui dan mencoba seperti apa jalan tersebut, dengan hanya bermodal keyakinan dan tanpa pertimbangan yang matang akhirnya dia masuk, ketika dia benar-benar melaluinya, dia akan sadar bahwa dia telah salah memilih jalan. Maka dari itu, kiranya idealisme dalam menilai sesuatu untuk mencapai kebenaran dengan persepsi moral yang tinggi tidak dapat berjalan sendiri. Namun juga harus dibarengi juga dengan pengetahuan melalui observasi interdisipliner dan kebijaksanaan.
Karena walau bagaimanapun, kebenaran adalah hal yang abstrak. Untuk mencapainya harus dibarengi dengan uraian kajian yang matang. Dengan itu, manusia akan lebih dekat dengan arti kebenaran sejati dan dihindarkan dari manipulasi realita. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin Ar-Rumi “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berfikir telah memiliki kebenaran secara utuh”. Maka salah satu unsur urgen yang bisa membuktikan adanya kebenaran ialah dengan rasionalitas dan kajian yang sangat matang, bukan hanya sebatas keyakinan yang diperoleh sekelebat.
Point yang kedua adalah idealisme pada diri seseorang yang dalam keadaan bersikeras untuk mewujudkan dunia dan lingkungannya berdasarkan apa yang ada didalam fikirannya. Ketika orang lain menganggap bahwa hal itu hanya utopia, si idealis ini akan menganggap bahwa hal itu adalah realitas masa depan.
Disamping contoh idealisme Gajah Mada diatas, idealisme seperti ini juga sebagaimana idealisme kemerdekaan pada diri Soekarno dan founding father yang lain. Disaat kebanyakan orang skeptis dan tidak percaya mereka bisa melawan kolonialisme yang canggih itu dengan keterbatasan yang ada, namun idealisme Soekarno dan rekan-rekannya berkata lain. Idealisme bahwa Indonesia bisa merdeka dalam diri mereka mengalir sejalan dengan perjuangannya. Kenyataannya, dimasa depan Indonesia benar-benar merdeka.
Idealisme seperti ini bukanlah biji gen yang menjelma bersamaan dengan ari-ari manusia ketika mereka lahir. Bisa jadi, idealisme adalah renkarnasi dari pengalaman inderawi dalam perjalanan hidupnya, atau mungkin invensi inovasi dari kejernihan otaknya. Sebagaimana Soekarno mendapatkan idealismenya karena masa kecilnya sudah sangat dekat dengan dunia pergerakan kemerdekaan. Ketika masih kecil, dia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto sebagai pemimpin Sarekat Islam, sehingga banyak mendengarkan perbincangan tokoh-tokoh perjuangan. Ditambah dengan diskriminasi yang dialaminya sebagai pribumi ketika mengenyam pendidikan di sekolah kolonial.
Setiap manusia memiliki sisi idealis dalam dirinya. Meskipun dalam implementasinya terkadang materialisme dan inconvidensi jauh lebih berkuasa. Manusia juga terkadang menutup diri dari ide-ide mentah, mereka mendahulukan keraguan bahwa hal itu tidak akan berhasil. Demikian juga mahasiswa. Sebagai harapan bangsa dan negara, seyogyanya memang mahasiswa perlu menjadi sosok idealis sebagaimana Soekarno dan Gajah Mada. Negara sangat mendamba mahasiswa yang memiliki gagasan baru sesuai dengan basicnya untuk tatanan dunia yang lebih baik. Hal itu bisa didapat dengan perantara pengalaman inderawi dan invensi inovasi yang dikemas dengan ilmu pengetahuan. Pada taraf pertama, mungkin semua orang akan menertawakan, mencemooh bahkan menganggap gila. Itu sudah wajar. Nabi Muhammad SAW-pun yang membawa dan mengajarkan ajaran kehidupan rasional untuk menghapus yang irasional saja demikian.
Idealisme dan dunia kampus mempunyai relevansi yang sangat erat. Apalagi dalam dunia pergerakan. Mahasiswa idealis akan memetakan banyak hal yang dirasanya tidak sesuai, baik yang dilakukan oleh pemerintahan maupun biroksasi kampusnya. Dengan idealisme yang membara yang berkembang bersama hasrat perubahan, maka lahirlah turun kejalan, demontrasi, bahkan sampai anarki. Mereka berorasi menjelaskan dasar aksi, tuntutan, bahkan sampai caci-maki. Namun yang perlu diketahui, salah satu problem pokok ketika akan mewujudkan idealisme dalam diri yang paling menonjol adalah konflik batin antara pikiran akan kebenaran sejati dan keinginan duniawi. Bisa jadi akal berkata bahwa sesuatu keliru, tapi karena keinginan berpacu bersama nafsu, akhirnya akal hanya diam dan mengiyakan. Maka idealisme seperti itu, ibaratkan benih-benih sperma yang gagal sampai ke ovum, yang akhirnya tidak akan pernah berubah menjadi sosok manusia.
Sudah wajar jika mahasiswa mempunyai idealisme yang sangat kuat dalam dirinya, karena dalam fase itu, dia belum begitu kenal bagaimana konflik benturan antara pemikiran akan kebenaran sejati dan kepentingan duniawi; mereka belum mempunyai ekor yang harus dijaga (keluarga). Sehingga bisa dengan leluasa menyuarakan apapun tanpa rasa takut akan dampaknya. Namun, mahasiswa yang hebat adalah mahasiswa yang meskipun kesempatan untuk menggapai kepentingan dan keinginan yang ada pada dirinya sangat lebar, tetapi mereka dengan kokoh memihak pada kebenaran sejati yang dikatakan oleh akalnya. Mereka adalah mahasiswa yang membawa idealisme itu sehingga status mereka sudah bukan mahasiswa lagi, atau mereka yang hingga masa tuanya mengutamakan kebenaran yang dibawa akalnya dan mengesampingkan kepentingan dan keinginannya. Tidak seperti dewan perwakilan di Senayan dan pejabat-pejabat pemerintahan yang lain, yang pada masa mahasiswanya aktif menyuarakan kebenaran dan turun ke jalan, tapi ketika fase konflik benturan antara kebenaran sejati dan kepentingan duniawi mengitarinya, ternyata mereka lebih mendahulukan kepentingan duniawinya.