Mengenai Haram !

Haram merupakan perkara yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Sebagaimana perspektif fiqh, haram adalah sesuatu yang apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala, ketika dilakukan akan mendapatkan dosa. Haram juga dapat timbul karena meninggalkan suatu yang diwajibkan atau melakukan sesuatu yang dilarang. Pekerjaan yang disebut sebagai perkara haram ini dapat mengarah pada beberapa hal: perbuatan fisik, perkataan dan gerakan hati.

Perbuatan fisik yang dapat diklasifikasikan sebagai perkara haram salah satunya ialah mencuri dan berzina. Perkataan contohnya seperti ghibah dan fitnah. Grakan hati seperti dan murtad dan kufur. Perbuatan haram bisa jadi tidak berhenti di titik dimana perbuatan itu dilakukan, namun juga pada benih yang dihasilkan. Semisal, mencuri. Di samping mencuri merupakan perbuatan  haram, hasil dari mencuri juga dapat dinamakan sebagai barang haram. Barang tersebut harus mendapat perlakukan khusus bagi mereka yang tau mengenai keharamannya.

Barang haram juga dapat direlevansikan pada 2 hal. Haram yang berkaitan dengan hak Allah dan yang berkaitan dengan hak anak Adam. Perkara haram yang berkaitan dengan hak Allah akan berimplikasi pada murka Allah. Semisal, tidak sholat dan tidak puasa. Imbas dari melanggar aturan ini, seorang manusia akan mempunyai tanggungan di hadapan Allah kelak, bahkan dia akan disiksa dengan siksa yang pedih. Namun ketika manusia beri’tikad untuk bertaubat nasuha sebelum ajal tiba, dia bisa memohon ampun kapan pun dimana pun dia menghendaki, dan Allah maha pengampun lagi maha pengasih.

Adapun haram yang berkaitan dengan hak anak Adam, maka hal tersebut memuat devinisi, implikasi dan solusi yang berbeda. Contoh dari perbuatan haram ini adalah mencuri, fitnah, dan menghina orang lain. Orang yang melakukannya juga diancam dengan siksa yang pedih, sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Adapun ketika dia berkehendak untuk bertaubat, maka tidak cukup dengan hanya bertaubat kepada Allah semata. Dia juga diharuskan untuk meminta maaf terhadap anak Adam yang dirugikan. Dalam perkara fitnah, seseorang dituntut untuk melakukan klarifikasi bahwa tuduhan yang pernah dikatakan tidak benar, hal ini cukup sulit apabila fitnah yang disebarkan telah menyebar pada titik dimana si pemfitnah tidak dapat menjangkau. Ini akan menjadikan amal jariyah jelek baginya. Selama fitnah terus bergulir, selama itu pula dia akan menanggung dosa.

Apabila perbuatan haram yang dilakukan berkaitan dengan harta, maka dia wajib dhoman (mengganti). Tanpa melakukan hal tersebut, maka dia tetap akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Perbuatan haram tersebut bisa berupa mencuri, berhutang tidak membayar, goshob dan sebagainya.  Bahkan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa Nabi menolak untuk menyolati salah seorang sahabat yang dalam waktu meninggalnya dia mempunyai tanggungan hutang. Nabi juga bersabda: “Jiwa seorang yang beriman digantungkan oleh hutangnya”.

Oleh sebab itu Islam sangat menganjurkan pengikutnya menjauhi perkara haram, atau sesuatu yang dihasilkan dari perbuatan haram. Dalam hadis Nabi bersabda: “Barang siapa yang mencari harta dengan cara yang haram, apabila harta tersebut disodaqohkan, maka tidak akan diterima”. Di hadis yang lain Nabi bersabda: Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman. Makanlah kalian dari sesuatu yang baik yang telah kami berikan rezeki untuk kalian” lalu Nabi menceritakan mengenai seorang yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut dan berdebu, seraya menengadahkan kedua tangannya ke langit “tuhanku”, “tuhanku”. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan perutnya diisi oleh sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya akan diijabahkan?”

Beberapa hadis di atas mengindikasikan bahwa perkara haram sangat berpengaruh terhadap kebaikan atau keburukan hidup seorang manusia. Manusia yang melakukan perbuatan, mendukung atau menempel pada dirinya perkara haram, maka akan menyebabkan beberapa kesulitan terhadapnya: doanya sulit dikabulkan, sulit mensucikan diri, dan banyak kesulitan lainnya. Tidak heran apabila ulama amilin (orang alim yang mengamalkan ilmunya) dan waliyullah yang dirinya bersih dari kotoran hati dan perkara haram, cukup berkeinginan dalam hatinya saja, sesuatu yang mustahil dapat menjadi kenyataan. Sebagaimana kisah Sunan Ampel ketika ber”krentek” mengenai masjid yang mulai kotor karena wafatnya mbah Sholeh. Seketika mbah Sholeh hidup kembali. Namun orang yang kotor hatinya dan perkara haram menempel padanya, terkadang berdoa terhadap sesuatu yang sangat mudah untuk didapatkan pun, tidak langsung diijabah oleh Allah. Beberapa ulama juga mengatakan bahwa kemalasan, tidak bisa khusu’ dalam beribadah, anak yang susah diatur dan jauh dari agama, salah satu penyebabnya adalah karena menempelnya sesuatu yang haram.

Menurut al-Gazali, wara’ (bersifat hati-hati yang luar biasa) dari perkara haram dibagi menjadi 4 bagian. Pertama, wara’nya orang yang (sangat) adil. Ialah mencegah dari sesuatu yang oleh ulama difatwakan sebagai sesuatu yang haram. Jenis ini adalah jenis dimana orang yang tidak melakukan pencegahan akan menjadi fasiq dan sifat adil dalam dirinya akan hilang; Kedua, wara’nya orang-orang sholeh. Ialah mencegah dari jalan yang bisa menyebabkan haram. Tetapi mufti (pemberi fatwa) telah memberikan rukhsah (keringanan) bahwa hal itu boleh dilakukan, namun di dalamnya menyimpan perkara syubhat; Ketiga, wara’nya muttaqin. Sesuatu yang mufti tidak mengharamkannya dan juga tidak menyebut mengandung syubhat. Tetapi apabila dilakukan, ditakutkan akan menyebabkan sesuatu yang haram. Ini bisa juga disebut dengan meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung bahaya karena takut akan ada bahaya; Keempat, sesuatu yang tidak mengandung bahaya secara asal dan tidak ditakutkan akan membawa bahaya, tetapi didapat bukan dengan niat taqwa untuk beribadah kepada Allah.

Derajat yang pertama adalah derajat yang memang harus dilakukan oleh setiap muslim. Ini merupakan sesuatu yang apabila kita melanggarnya, maka kita akan masuk pada katagori seorang fasik. Oleh sebab itu, derajat ini dinamakan derajatnya orang yang adil (mempunyai sifat adaalah). Salah satu contoh dari wara’ ini adalah orang yang menjauhi makanan yang jelas diharamkan oleh syara’. Seperti babi, khamr, dan lain-lain.

Derajat yang kedua adalah derajat dimana seseorang yang menjauhi perkara syubhat. Perkara syubhat ini bisa jadi sesuatu yang tidak wajib untuk meninggalkannya, melainkan hanya sunat. Hal ini sebagaimana contoh orang yang menyembelih hewan, kemudian hewan tersebut lari entah kemana, ketika ditemukan ternyata telah mati tanpa diketahui matinya karena sebab sembelihan atau penyebab yang lain. Orang yang mencapai derajat ini, karena sifat ke hati-hati annya, mereka akan meninggalkan memakan hewan tersebut.
Pun, salah satu contoh riil dari derajat kedua ini sebagaimana kisah Abu Hanifah. Suatu waktu beliau mengutus seseorang untuk menjualkan dagangannya ke Mesir. Di antara dagangannya, terdapat sehelai kain cacat yang ada kerusakan di salah satu bagiannya. Abu Hanifah berpesan ke utusannya, bahwa jika dia menjual barang rusak tersebut, sampaikan ke pembeli mengenai kerusakannya. Setelah pulang berdagang dari Mesir, ketika utusan telah sampai di Kufah, Abu Hanifah langsung menanyakan apakah dia menjelaskan mengenai kain yang rusak ke pembeli, utusannya mengatakan bahwa dia lupa. Mendengar hal itu, Abu Hanifah langsung mengumpulkan semua dagangan dan keuntungannya untuk disedekahkan ke orang lain. Salah satu bentuk dari menghindari sesuatu yang syubhat.

Salah satu contoh Wara’ ini sebagaimana yang dilakukan oleh guru penulis. Beliau tidak pernah berkenan untuk membeli atau mengonsumsi ayam (yang sudah disembelih) dari pasar, karena takut penyembelih di pasar tidak memenuhi syarat penyembelihan yang benar. Beliau juga menolak pemberian dari orang yang ketahuan hasil usahanya berasal dari dana pinjaman bank konvensional.

Wara’nya muttaqin sebagaimana derajat yang ketiga adalah bersumber dari hadis Nabi. Nabi bersabda: “Seorang hamba tidak akan sampai di derajat muttaqin, sehingga dia meninnggalkan sesuatu yang tidak mengandung bahaya karena takut akan menimbulkan bahaya”. Contoh derajat ini adalah menghindari berhias (untuk wanita atau laki-laki) karena takut sesuatu (fitnah) yang akan timbul darinya. Demikian juga ketika sayyidina Umar diberikan jabatan untuk menjadi khalifah. Beliau memutuskan untuk menceraikan istri yang dicintainya, karena rasa takut suatu saat istrinya akan menunjukkan kepadanya hal yang tidak baik dimana sayyidina Umar akan mentaati untuk mendapatkan ridho istrinya. Hanya rasa takut.

Salah satu contoh yang lain menurut penulis adalah Yai Usman Al-Ishaqy sebagaimana di dalam kitab Lu’lu’ wal Marjan. Di waktu kecil, beliau ingin sekali dahar sampai kenyang. Kemudian beliau pun melakukannya. Setelah makan, sebagai gantinya beliau segera menghatamkan Al-Qur’an dalam sekali duduk. Beliau mengatakan bahwa tidak pernah makan sampai kenyang lagi sampai dewasa. Hal ini karena makan kenyang disinyalir akan membuat seorang hamba lupa terhadap tuhannya.

Yang keempat adalah wara’nya siddiqin. Halal bagi mereka adalah sesuatu yang tidak diawali dengan ma’siat dan tidak untuk menolong kemaksiatan. Halal adalah sesuatu yang diperoleh hanya karena Allah dan untuk taqwa dalam beribadah kepadanya. Karena bagi mereka hidup adalah hanya untuk-Nya, sehingga mereka melihat sesuatu yang dilakukan tidak karena Allah adalah haram. Seperti contoh: ada seseorang yang dipenjara dan dia dalam keadaan lapar. Kemudian ada seorang wanita solihah yang berbaik hati memberikan makanan terhadapnya tapi melalui perantara seorang sipir penjara. Seseorang yang dipenjara tersebut tidak berkenan menerima makanannya karena menganggap kekuatan yang mengantarkan makanan terhadapnya adalah kekuatan yang tidak baik.

Contoh yang lain adalah cerita Syaikh Abd. Qodir Al-Jailany. Ketika uzlah selama 25 tahun dalam hutan beliau hanya memakan dedaunan. Ini dilakukan bukan karena beliau tidak mampu, melainkan karena beliau sadar bahwa segala macam nikmat kelak akan diminta pertanggung jawaban kelak di akhirat. Begitulah derajat siddikin, mereka melihat dunia hanya sebatas tempat mencari keridhoan dari Allah yang maha agung.

Sebagai manusia akhir jaman, melakukan dengan istiqomah tingkatan yang pertama saja kiranya sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Apalagi bisa melanjutkan ke tingkatan-tingkatan selanjutnya. Seyogyanya kehidupan adalah aturan-aturan ilahi yang apabila kita melakukannya dengan ikhlas dan sepenuh hati maka itu tidak akan sempat kita pandang sebagai aturan, melainkan pancaran sinar sifat asih Allah terhadap mahkluknya. Itulah yang disebut dengan manisnya iman. Untuk menggapainya tentunya tidak bisa dilakukan dengan seketika, butuh proses panjang yang disertai dengan dasar ilmu agama yang kuat.

Share:

Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia


Resume ini ditulis sebagaimana judul aslinya. Nama penulis buku: Ainur Rofiq al-Amin. Penerbit: LKis. Tebal: 227. Diterbitkan di Jogjakarta pada tahun 2012.

Hizbut Tahrir (HT) adalah organisasi politik yang didirikan pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin al-Nabhani. Organisasi tersebut merupakan organisasi yang getol mengusung ideologi khilafah. Khilafah adalah ideologi yang berupaya mepersatukan umat Islam seluruh dunia dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah di bawah kepemimpinan khalifah. HT menganggap bahwa cita-cita mendirikan negara Islam merupakan solusi dari problematika kemanusiaan modern (khususnya umat Islam) yang cenderung dikendalikan barat dengan berbagai macam muslihatnya. Banyak cara yang mendorong HT untuk mewujudkannya, salah satunya adalah dengan mendirikan partai politik. Organisasi ini mulai mengkritik gerakan-gerakan sosial umat Islam yang dianggapnya tidak membawa manfaat dan hanya menjadi penghalang kebangkitan umat. Mereka bertekad bahwa salah satu cara terbaik untuk mewujudkan kebangkitan umat adalah dengan partai politik.

HT berpendapat bahwa mewujudkan partai politik yang akan mengembalikan kejayaan khilafah masa lalu adalah kewajiban. Oleh sebab itu, mereka menolak gradualisme. Konsep ini adalah pemahaman bahwa umat Islam saat ini secara kuantitas sudah sangat besar, sehingga mustahil menerapkan syariat Islam secara serta merta. Artinya penerapan harus dilakukan secara perlahan. HT menolak ini karena menganggap bahwa orang yang mengatakan mustahil menerapkan hukum Islam secara total sama dengan mengatakan bahwa Allah menurunkan agama yang tidak aplicable. HT mencontohkan bangkit dan suksesnya kalangan komunisme yang dilakukan dengan cara radikal, bukan gradual. Realitasnya, memang HT telah meminjam metodologi filosofis secara langsung dari marxisme dan leninisme. Padahal dampak ketika mengawinkan prinsip metodologi Leninisme-marxisme dengan islamist ideology berdasarkan sudut pandang khilafah, maka akan menjadi totalitarian organizatiton yang tidak menolelir perbedaan.

Secara struktural, puncak kepemimpinan di tubuh HT dipimpin oleh amir yang berbasis di Yordania. Di bawah amir terdapat tiga lembaga: badan administrasi, badan madzalim dan badan penangung jawab pemilihan amir. Sedangkan markas HT di London bertugas mengawasi seluruh aktivitas di negara-negara muslim. Badan administrasi bersama amir akan membentuk qiyadah yang mempunyai tugas memimpin partai, mengawasi, dan mensupervisi seluruh perkembangan partai. Level selanjutnya adalah mu’tamad (pemimpin regional) yang bersama dengan qiyadah bertanggung jawab atas masalah politik di wilayah bawahannya. Selanjutnya ada mas’ul, lalu naqib atau pemimpin HT di perkotaan dan pedesaan.

Gerakan HT mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an. Dipimpin oleh Abd Rahman al-Baghdady (kemudian tokoh ini dikeluarkan dari HTI). Lalu bertransformasi menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan dideklarasikan pada tahun 2000.  Menurut HT, Indonesia merupakan salah satu sasaran vital untuk menegakkan konsep khilafah. Hal ini terbukti dengan dilaksanakannya konferensi Hizbut Tahrir Internasional pada 28 Mei 2000, kemudian konferensi serupa pada 12 Agustus 2007 yang dilaksanakan di Indonesia.

Dalam penyebaran ideologi, ada beberapa tahapan yang biasa dilakukan oleh HT. Bagi mereka yang tertarik dengan HT, biasanya akan diberikan ruang halaqah, kemudian mereka akan disebut dengan halaqah amm. Berjalan beberapa bulan, mereka akan dinaikkan menjadi darisin (peserta halaqah yang intensif). Setelah sekitar jangka waktu 3 tahun, baru mereka akan disebut dengan hizbiyyin. Ketika telah menjadi hizbiyyin, mereka akan disumpah dengan kalimat-kalimat yang akan mendorong mereka punya jiwa militansi. Di samping bersumpah, mereka juga diharuskan agar taat kepada segala keputusan amir.

Setelah pemahaman mengenai khilafah mulai mendarah daging, dengan sendirinya mereka akan sangat royal. Tidak heran jika setiap bulan, hizbiyyin akan menyumbangkan iuran sekitar 15.000 untuk membeli buletin mingguan seharga Rp. 250  per lembar (dulu). Dari hal-hal tersebutlah sumber dana berkembangnya organisasi HTI. Namun Zyno Baran mengatakan bahwa beberapa pakar inteljen internasional berspekulasi bahwa HT didanai para pendukung dari Iran, negara-negara teluk dan Saudi Arabia. Pada sekitar 1950-an, ada rumor bahwa HT didanai oleh CIA.

Dalam salah satu karyanya, al-Nabhani  menjelaskan mengenai wajibnya memerangi pemerintah yang menampakkan kekufuran nyata dan menerapkan hukum kufur. Menampakkan kekufuran nyata yang dimaksud adalah memakai hukum selain hukum Allah. Oleh sebab itu, mereka menganggap berafiliasi dengan sistem pemerintahan apapun selain khilafah hukumnya adalah haram. Di sisi lain HT juga menyadari bahwa revolusi tidak hanya dapat dilakukan dengan kekerasan, namun juga dapat dilakukan dengan manuver intelektual (intellectual manouvre). Ini mereka akui dengan meniru cara Nabi ketika berdakwah di Mekkah. Padahal dalam eksekusinya, banyak dalil-dalil yang seakan dipaksakan agar sesuai dengan kehendak ideologi khilafah.

Salah satu bentuk hegemoni intelektual yang dilakukan oleh HT adalah: Mereka menganggap bahwa menegakkan khilafah merupakan hal yang paling agung dalam agama. Seorang muslim akan mendapat dosa besar apabila tidak mencoba mengangkat khilafah.  Dalil-dali yang mereka gunakan adalah sebagaimana di dalam Al-Qur’an Surat  Al-Baqoroh Ayat 208:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
(Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu )

Kemudian di dalam Surat Al-Maidah Ayat 49:

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

(Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memerdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu)

Ayat pertama menurut HTI merupakan implikasi dari perlunya totalitas dalam berislam. Salah satu penerapannya sebagaimana tercantum di ayat kedua yakni dengan menjalankan syariat Islam secara sempurna.

HT menolak kaidah usuliyyah

تغير الاحكام بتغير الازمان والامكنة
(berubahnya hukum disebabkan berubahnya jaman dan tempat)

Kemudian juga kaidah
العادة محكمة
(adat itu bisa dikontruksikan menjadi hukum).

Mereka menganggap penggunaan kaidah ini akan berimbas pada berubahnya ketentuan syariat hukum Islam, karena jika hal tersebut terjadi, berarti hukum Islam itu tidak aplicable, padahal syariat Allah dapat digunakan kapan pun dimana pun. Kontruksi dalil nash Al-Quran di atas mereka kaitkan dengan salah satu kaidah syar’iyyah yang lain, yaitu kaidah:

ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
(Sesuatu yang tidak sempurna suatu kewajiban, kecuali dengan melakukannya,maka melakukan hal tersebut adalah kewajiban).

Bagi HT, khilafah merupakan tariqah (jalan) yang seandainya tidak dilakukan, maka penerapan syariat Islam tidak akan sempurna. Oleh sebab itu, dengan memakai kaidah ini mereka menghukumi bahwa khilafah hukumnya adalah wajib. Ini berarti dalam penerapan kaidah-kaidah usuliyyah hasil ijtihad ulama tersebut, HT hanya memilih kaidah yang sesuai dengan kepentingannya dan meninggalkann bahkan menolak dengan tegas kaidah yang tidak sejalan.

Adapun dalil hadis yang biasa dipakai HT adalah :

من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
(Barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa hujjah, dan barang siapa yang mati, dan tidak ada baiat di pundaknya, maka matinya seperti mati jahiliyyah).

HT menafsirkan hadis ini sebagai dasar kewajiban melakukan baiat bagi umat Islam. Bagi yang tidak melakukannya, maka akan mati dalam keadaan jahiliyyah. Penafsiran ini nampaknya hanya upaya sebagai pembenaran ideologi mereka. hadis tersebut memang berisi anjuran kepada umat Islam untuk berbaiat, namun tidak ada penjelasan kepada siapa dan dengan maksud apa harus berbaiat. Kesimpulan HT bahwa sasaran baiat itu adalah khalifah merupakan penalaran yang jumping to conclusion agar umat Islam meyakini khalifah.

Apabila mengacu pada sejarah, disebutkan bahwa beberapa kali Nabi telah melakukan pembaiatan. Salah satunya adalah baiat aqabah pertama atau disebut bay’at al-nisa yang diikuti oleh 12 muslim pada tahun 12 kenabian. Kemudian juga bay’at al-Kubra yang diikuti oleh 73 laki-laki dan 2 perempuan pada hari tasyriq tahun 13 kenabian. Baiat tersebut bertujuan agar umat Islam berjanji untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak. Kedua peristiwa tersebut terjadi sebelum Nabi hijrah ke Madinah, yang berarti –dalam keyakinan HT- sebelum negara Islam berdiri. Demikian juga baiat yang terjadi selepas Nabi berada di Madinah,  pada tahun 6 H. Nabi bersama 1600-an sahabat melaksanakan umrah ke Mekkah. Perjalanan ini dihalangi kaum quraisy. Kemudian Nabi membaiat sahabatnya agar tidak lari dan siap mati. Beberapa contoh baiat ini mempunyai arti bahwa makna baiat tidak selalu identik dengan kepemimpinan, melainkan juga bermakna keridahaan dan janji seorang muslim untuk mengikuti ajaran-jaran kenabian. Karena jika konotasi baiat dari hadis di atas adalah baiat khilafah sebaimana logika HT, maka sahabat Sa’ad ibn Ubadah adalah manusia yang dianggap mati dalam keadaan jahiliyyah, karena telah menolak untuk membaiat Sahabat Abu Bakar. Demikian juga yang dilakukan sahabat Farwah ibn Amr. Tentunya ini kontradiktif dengan yang dikatakan al-Nabhani bahwa sahabat adalah mereka yang adil, mempunyai kekhususan dan akan masuk syurga. Ini juga menunjukkan bahwa pemahaman HT mengenai hadis ini terlalu dipaksakan untuk hegemoni kepentingannya.

Kemudian landasan normatif HT selanjutnya adalah ijma’ sahabat. Dalam pandangan HT sebagaimana hasil kontruksi penulis (buku). Setiap ada ijma’ ulama maka hukumnya wajib, bukan sunnah atau mubah. Bahkan HT membolehkan percekcokan dalam masalah perebutan khilafah. Mendasar pada peristiwa tsaqifah (peristiwa tentang pembaiatan Abu Bakar, dimana pada saat itu ada beberapa golongan yang sebelumnya tidak setuju), walaupun Al-Quran melarangnya. Demikian juga HT membolehkan membunuh sesama, apabila mereka tidak mau membaiat pemimpin yang telah ditentukan. Hal ini mengacu pada cerita di masa sayyidina Umar.

HT juga tidak mencantumkan hadis yang bertentangan dengan sikap khilafah. Hadis tersebut adalah:

الخِلافةُ ثَلاثُونَ سنةً، وسائِرهُمْ مُلوكٌ، وَالخُلَفَاءُ وَالْمُلُوْكُ اثْناَ عَشَرَ
(Khilafah kenabian adalah 30 tahun, selebihnya adalah kerajaan. Jumlah khalifah dan raja itu ada 12).

Beberapa pengikut HT bahkan menolak menafsirkan bahwa setelah 30 tahun adalah kerajaan, karena mereka menganggap hal tersebut bertentangan dengan kalimat selanjutnya tentang khalifah dan raja yang berjumlah 12. Argumentasi ini kemudian direlevansikan dengan pendapat bahwa khalifah sudah ada secara kontinuitas sejak jaman Nabi.

Dasar selanjutnya adalah perspektif historis. HT bersikukuh bahwa khilafah telah berdiri secara continue sejak jaman kenabian hingga 1924 ketika dinasti ottoman terpecah belah. Pernyataan HT mengenai hal ini dinilai tidak begitu tepat, mengingat kontinuitas khilafah selama berabad-abad masih debatable. Dalam tatanan historis, dinasti Islam memang selalu ada. Namun apabila disesuaikan dengan konsep khilafah (dalam pemikiran mereka), sebenarnya jenis pemerintahan yang didambakan HT sudah tidak ada sejak jaman Ab-basyiyah (Bahkan apabila konsep pemikiran HT mengenai transisi kepemimpinan yang tidak membolehkan diserahkan langsung ke keturunan khalifah sebagaimana sistem kerajaan, maka sebenarnya konsep khilafah tersebut sudah tidak terpakai sejak dinasti Umayyah). HT juga menjelaskan, bahwa apabila ada 2 khalifah yang dibaiat, maka yang terakhir lah yang harus dibunuh. Berdasarkan konsep tersebut, seharusnya banyak sekali kerajaan yang mereka anggap khilafah, secara hukum tidak sah. Karena kerajaan-kerajaan tersebut (atau khilafah) dibangun melalui penaklukan khilafah sebelumnya. Sebagaimana khalifah Ab-basiyyah dan Khalifah Ottoman.

Dalam pandangan HT, saat ini tidak ada satu negara pun yang dapat dikategorikan sebagai negara Islam, termasuk Arab Saudi dan Iran. Dalam Jurnal yang diterbitkan kalangan muda HTI menyebutkan bahwa Arab Saudi, Iran dan Sudan merupakan negara sekuler. Arab Saudi dipandang masih mengadopsi hukum sekuler, sedangkan Iran dan Sudan selain karena memproklamirkan negara republik, Undang-undang kedua negara itu juga memuat pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Islam. HT menilai, negara berpenduduk muslim harus mengganti hukumnya dengan hanya memakai hukum Allah dan sistem Khilafah Islamiyyah. Ini yang membuat HT selalu menggebu-gebu untuk mendirikan khilafah.

Selain pemakaian landasan hukum yang cenderung dipaksakan. Pola sistem pemerintahan yang akan diterapkan HT juga tidak begitu logis, bahkan terlalu konservatif.  Ada banyak potensi ketimpangan, inkonsistensi dan penyelewengan. Salah satunya adalah mengenai cara dan wujud tuntutan rakyat (people power). Hal tersebut sama sekali belum diatur dalam dokumen HT. Malah mereka menganggap bahwa tuntutan rakyat tidak dibenarkan dalam Islam. Hal ini bertolak belaka dengan realitas yang mereka lakukan, pada tahun 2011 bersamaan dengan demonstrasi di Timur Tengah, kelompok massa HT melakukan longmarch, menuntut pemerintah untuk menegakkan khilafah di Mesir. Di samping itu, mereka juga beberapa kali telah melakukan kudeta, seperti pada tahun 1968 dan 1969 di Amman, di Baghdad pada 1972, di Kairo pada 1974 dan di Damaskus pada 1976, meskipun kudeta-kudeta tersebut selalu gagal. Ini menandakan bahwa antara regulasi yang akan mereka pakai dan realitas yang mereka lakukan, terjadi ketidak sesuaian.

Selanjutnya mengenai salah satu lembaga dalam pemerintahan HT, Majlis ummat. Majlis ini merupakan lembaga wakil rakyat dari seluruh warga negara khilafah yang dipilih melalui pemilihan umum dan menjabat selama 5 tahun. Majlis ini mempunyai wewenang memberi masukan terhadap khilafah mengenai permasalahan rakyat, mengoreksi khilafah, muawin, wali, amil bahkan lembaga ini berhak membatasi calon dalam pemilihan khilafah. Hal ini tentunya mengundang kontradiksi dengan argumen-argumen HT yang dengan keras mengharamkan demokrasi. Sedangkan sistem yang dianutnya sendiri merupakan nilai-nilai esensial dan implementatif dari demokrasi itu sendiri.

Beberapa pola di atas tidak lebih mengkhawatirkan dari pandangan al-Nabhani bahwa khalifah adalah negara itu sendiri dan mempunyai jabatan seumur hidup. Artinya, dalam mengelola negaranya khalifah mempunyai kekuasaan absolute yang sangat luas. Salah satu  kewenangan khalifah adalah melegislali hukum syara’ menjadi peraturan bagi rakyat. Hukum syara’ yang diadopsi akan menjadi konstitusi dan undang-undang yang tidak boleh ditentang. Seorang hakim atau qadhi pun tidak boleh menetapkan hukum yang tidak sejalan dengan khalifah. Demikian juga mujtahid yang berbeda juga harus meninggalkan hasil ijtihadnya (Adapun majlis ummat hanya sebatas memberikan koreksi dan masukan). Ini akan menjadi sistem yang berpotensi mengusung kekuasaan absolute apabila dipadukan dengan pendapat HT yang lain bahwa rakyat harus patuh dan sama sekali tidak boleh memberontak terhadap khalifah, sekalipun khalifah berbuat maksiat. Ini artinya dengan kondisi khalifah sebagai manusia biasa, mempunyai nafsu, dan penuh dengan khilaf (terlebih manusia di jaman ini), sama saja HT telah membuat suatu pola pemerintahan yang sangat berpotensi akan terjadinya banyak penyelewengan.

Banyak sekali kejanggalan-kejanggalan mengenai ilusi pembentukan sistem khilafah ini. Baik dalam tata konstitusi yang cenderung konservatif ataupun cara-cara HT dalam menggali dalil untuk mengklaim kebenarannya. Abdullah Ahmed an-Naim yang mengatakan bahwa system khilafah tidak sejalan untuk diterapkan di masa ini, karena sebagian besar negara-negara muslim sudah menganut konteks negara bangsa-bangsa (nation state). Beliau menambahkan bahwa potensi ke arah khilafah memang kecil, tapi alangkah baiknya jika hal itu tidak dianggap pepesan kosong belaka. Oleh sebab itu, pola pergerakan HT dan HTI di Indonesia harus benar-benar diawasi, dipersempit kemudian dieksekusi. Mengingat ancamannya terhadap kerukunan, kenyamanan dan keamanan bangsa dan negara sangat besar.

Share:

Touring 4 Hari dan Peristiwa Gumitir


Menjadi mahasiswa generasi awal merupakan hal terindah yang tidak pernah bisa dilupakan. Di masa-masa ini mahasiswa belum begitu disibukkan dengan beratnya tugas kuliah, apalagi tekanan untuk memikirkan masa depan. Biasanya, ini adalah masa seremoni. Sebuah perayaan karena sudah menyandang status mahasiswa. Sekaligus rasa bahagia, pergi mencari ilmu tanpa harus memakai seragam. Di masa ini juga, para senior mulai PDKT, baik karena tujuan pribadi untuk menyambung tali tresno yang sempat didapat ketika ospek, ataupun untuk menambah jumlah kader organisasinya. Dosen pun menghadapi mereka dengan sangat toleran. Mereka hanya disibukkan dengan kegiatan diklat tahunan yang dilaksanakan di daratan tinggi yang dingin.

Memasuki semester selanjutnya, mereka akan mulai akrab dengan lingkungan. Termasuk dengan teman-teman sekelas. Biasanya kebersamaan dilakukan dengan banyak hal, salah satunya adalah makan bersama: di warung, restoran sampai di rumah-rumah. Mereka juga akan membuat beberapa kegiatan untuk mengimplementasikan kebersamaannya, semisal dengan touring. Touring merupakan salah satu cara klasik untuk menghibur diri. Namun tidak semua mahasiswa suka menghibur diri dengan cara ini, di samping mempunyai resiko yang cukup tinggi, izin orang tua juga sering menjadi kendala.

Demikian kata pengantarnya. Sekarang mari kita mulai masuk ke alur ceritanya. hehe

Semester 2 merupakan semester kebersamaan. Di mana saya dan teman-teman (khususnya teman sekelas) sudah saling mengenal dan akrab dengan sesama. Bahkan saat itu, saya dan teman sekelas mempunyai agenda mingguan. Agenda tersebut adalah ngopi bersama di warkop kuning sebelah JX. Ngopi biasa diisi dengan mengerjakan tugas, ngobrol ngalur ngidul, atau hanya sekedar rasan-rasan. Waktu itu, kebetulan ada libur yang cukup panjang. 4 hari. Mulai Kamis sampai Minggu. Menyambut hari besar ini, kita merencanakan untuk membuat even yang dapat mempererat tali kebersamaan. Kemudian disepakati even tersebut adalah touring bersama. Setelah berunding dari satu warkop ke warkop yang lain mengenai destinasi touring, akhirnya kita sepakat untuk melakukan perjalanan ke arah timur, Banyuwangi. Di samping rutenya yang banyak melewati tempat wisata, daerah Tapal Kuda juga merupakan kediaman beberapa teman, setidaknya kita tidak perlu repot-repot mencari tempat menginap.

Tiba di hari pelaksanaan, ada beberapa teman mengalami masalah administrasi keluarga. Hal ini dapat dimaklumi, karena kondisi dan situasi keluarga berbeda. Bahkan sebelum berangkat, tanpa pikir panjang saya harus membuat dan menandatangani surat izin abal-abal atas nama study tour, dengan label organisasi AS-A yang bersekretariat di kamar 21 Ponpes Al-Husna, kamar saya. Karena terjadi sedikit masalah, kemudian diputuskan bahwa pemberangkatan akan dilakukan dengan 2 kloter. Kloter pertama berangkat Kamis siang. Kloter kedua berangkat Jum’at pagi. Kloter pertama sekitar 4 sepeda, masing-masing boncengan dan bermalam di rumah salah satu kawan di Lumajang. Kemudian keloter kedua sekitar 5 sepeda, satu anak sendirian. Semua peserta touring berjumlah 17 anak.

Kebetulan saya termasuk kloter pertama. Malam itu kita habiskan waktu di rumah salah satu teman di Kec. Tempe, Lumajang. Lumajang mempunyai banyak sekali tempat wisata, mulai dari daratan tinggi berhawa dingin sampai wisata air terjunnya yang menawan. Ini yang membuat saya sering menginap di rumah teman tersebut. Mungkin sudah 3 atau 4 kali. Sampai di Lumajang, awalnya kita berniat untuk berwisata ke negeri di atas awan (B-29). Tapi karena kondisi fisik yang sudah kelelahan dan waktu yang menjelang malam. Kita putuskan untuk istirahat sejenak dan menghabiskan malam dengan hanya nongkrong di alun-alun kecamatan.

Ketika perjalanan menuju ke arah terminal untuk bertemu kloter kedua, di salah satu jalan ada polisi yang sedang beroperasi. Mereka memeriksa surat-surat beberapa pengendara motor yang lewat. Termasuk saya. Ketika saya selesai diperiksa, teman di depan saya dibawa surat-suratnya ke seberang jalan. Dia juga diminta untuk mengikuti pak polisi tadi. Padahal setahu saya surat-surat teman saya tersebut lengkap semua. Merasa ada yang aneh, saya juga mengikuti polisi itu ke seberang jalan.

Di seberang jalan, polisi mengatakan bahwa dia akan ditilang karena posisi tulisa plat nomornya miring. Polisi sudah berpose seperti orang yang sedang menulis sesuatu di surat tilang. Awalnya teman saya mendebatnya dengan mengatakan seharusnya tidak langsung ditilang, tapi polisinya tetap ngotot. Kemudian saya coba berkomunikasi dengan menanyakan pasal berapa yang telah dilanggar teman saya? Polisi tersebut diam sejenak dan mengatakan pasal 365 (seingat saya). Kemudian saya segera membuka HP (pada saat itu masih blackberry) dan mencari di KUHP (Semester 2 saya tidak tau undang-undang yang lain kecuali KUHP, padahal undang-undang yang diberlakukan untuk pengendara motor adalah undang-undang LLAJ/Lalu lintas dan angkutan jalan) dan jelas pasal 365 KUHP tidak membahas mengenai plat nomor.

Karena memang benar-benar tidak tau, saya berasumsi bahwa polisi tersebut telah mengarang pasal. Saya segera memberikan kode terhadap teman saya, polisi tersebut ternyata melihat kode saya. Kemudian dia langsung bicara ngalur ngidul mengenai negara. Sampai dia berkata "jangan dikira polisi memberhentikan orang iti akan menilang, kalian memang harus kritis, tapi gimana jadinya kalo semua harus ikut undang-undang". Kira-kira seperti itu. Saya sudah mulai merasa menang dan polisi tidak akan menilang karna memang pasalnya tidak ada. Tapi teman saya tetap mendebat akhirnya, polisi tersebut tetap berceramah kira-kira sejam lamanya. Setelah itu kita dilepaskan.

Bisa jadi polisinya memang mengarang pasal tentang plat nomor miring tersebut, asalnya pasalnya tidak ada. Bodohnya saya waktu itu ternyata masih diliputi keberuntungan. Pasal tentang LLAJ dicari di KUHP ya jelas tidak ada. Setidaknya bisa menggertak polisi yang mengira saya benar-benar mencari pasalnya di LLAJ. Ternyata si bodoh dan pembohong lebih menang si bodoh.

Jumat siang setelah kloter kedua tiba. Kita melanjutkan perjalanan dari Lumajang menuju Jember. Di Jember kita langsung menuju Kec. Kalisat. Kediaman salah satu teman yang sangat baik. Beliau adalah Gus Sofwan. Anaknya selalu ceria dan tidak pernah tebang pilih kawan. Sebelumnya saya benar-benar tidak tau dan bahkan tidak percaya bahwa dia berdarah biru. Orangnya tampak sangat biasa dan seakan selalu menutupi hal itu. Saya baru sadar ketika sampai di rumahnya. Dia mempunyai cukup banyak santri yang hormat terhadapnya. Sampai di sana, ibunya memanjakan kita dengan aneka ragam masakan. Yang sangat saya sukai waktu itu adalah sambel ijonya. Kebetulan saya belum pernah mencicipi sambel jenis tersebut sebelumnya.

Perjalanan selanjutnya adalah pantai Papuma. Sebagaimana rencana awal, kita akan nge-camp di sana. Sampai saat maghrib sebenarnya membuat saya agak merinding. Sebelumnya saya banyak mendengar tentang hal-hal mistis daerah ini. Namun alhamdulillah saat itu tidak terjadi apa-apa. (Dalam touring, beberapa kali saya mengalami hal aneh. Salah satunya ketika perjalanan menuju B-29 saat semester 5. Karena kondisi jalan macet di sekitar Pasuruan-Probolinggo. Akhirnya saya terpisah dengan rombongan yang ternyata lewat jalan alternatif. Kita hanya berempat (2 sepeda). Saat itu sekitar pukul 23.00. Kebetulan saya boncengan dengan teman yang cukup latah. Saat mulai memasuki kabupaten Lumajang. Saya melewati daerah yang sangat gelap. Saking gelapnya, saya merasakan bahwa lampu utama sepeda motor yang saya tumpangi tidak dapat menjangkau jalan di depan. Saya hanya terus melaju lurus. Seketika teman saya yang latah langsung berteriak bahwa di depan ada tikungan. Beruntung saya segera sadar dan kemudian banting setir. Alhamdulillah kita masih diberikan keselamatan. Seandainya saat itu saya tidak segera sadar, mungkin kita akan terjun ke jurang. Ketika perjalanan pulang, saya berniat mencari lokasi itu, namun saya tidak menemukan tikungan sejenis, kecuali daerah kuburan di pinggir jurang, tapi pencahayaannya cukup terang, tidak gelap seperti tikungan yang saya lewati saat perjalanan berangkat).

Ketika sampai di Papuma, kita menghabiskan waktu malam hari untuk sekedar bakar api unggun, menyanyi bersama, kemudian istirahat. Karena kita hanya membawa satu tenda, maka tenda hanya dikhususkan untuk tempat tidur cewek. Sedangkan yang cowok mengampar tikar untuk tidur di luar. Saat itu saya merasa sangat lelah. Namun mata sulit terpejam. Setelah terpejam, saya kembali bangun sekitar jam 3 pagi. Mencoba memejamkan berkali-kali tetap tidak bisa. Akhirnya saya putuskan untuk ngopi di salah satu warung, sekaligus bercengkrama dengan pemiliknya. Saya termasuk beruntung, karena kopi yang disajikan merupakan salah satu kopi ternikmat yang pernah saya minum. Sampai saat ini. Makannya cerita kopi ini saya masukkan dalam narasi tulisan ini, karena sampai sekarang rasanya yang pahit legit masih terngiang. hehe

Pagi hari setelah bersenang-senang di pantai, kita bergerak menuju bukit Gumitir. Sebenarnya kita agak ragu untuk melanjutkan perjalanan ke sana. Di samping tempatnya tidak begitu bagus, makanan di sana katanya juga mahal. Kita sempat ingin berbelok saja ke air terjun, tapi karena untuk menuju ke sana harus berjalan kaki agak jauh, sedangkan rombongan terdiri dari beberapa cewek, akhirnya kita putuskan tetap ke Bukit Gumitir. Perjalanan dari Papuma ke Gumitir cukup jauh. Sebelum tiba di jalan-jalan berbukit, kita putuskan untuk istirahat sejenak. Makan di warung pinggir jalan.

Memasuki bukit Gumitir, terlihat jalan dengan tikungan yang tajam dan diapit oleh bukit dan jurang. Tikungan melenggok ke kanan dan ke kiri. Setelah melewati beberapa tikungan, salah seorang teman berkata bahwa kita hampir sampai. Hanya tinggal 3 tikungan saja. Saat itu ketika saya melihat ada tikungan ke kiri, salah seorang teman mempercepat laju kendaraannya. Kebetulan secara tiba-tiba, dari arah berlawanan ada mobil kijang putih (kendaraan seakan muncul secara tiba-tiba karena di depan terhalang oleh perbukitan di sebelah kiri jalan). Dalam kondisi tikungan, kendaraan yang melaju agak cepat biasanya akan cukup sulit diarahkan dengan tepat (biasanya posisi kendaraan tidak stabil). Akhirnya sepeda teman tersebut tabrakan pas di bemper sebelah kanan bagian belakang mobil kijang putih.

Kondisi sepedanya rusak parah. Tidak bisa dijalankan. Bahkan sekedar dituntun pun juga tidak bisa. Sedangkan bagian belakang kijang hancur. Karena kondisinya di perbukitan, hanya sedikit warga yang berdatangan. Salah satu warga menyarankan agar masalah segera diselesaikan, karena di jalan tersebut biasanya banyak patroli polisi. Kalau sudah masuk ke ranah polisi, dalam posisi benar atau salah, masalahnya akan semakin rumit.

Cidera kedua teman saya terlihat tidak begitu serius. Hanya kaki si driver yang sedikit luka, ikat pinggangnya juga melekat, tidak bisa dilepas. Sedangkan kondisi yang bonceng, sama sekali tidak apa-apa. Katanya, dengan laju cepat kendaraan, dalam keadaan menikung seperti itu, dia sudah mengantisipasi kemungkinan adanya kecelakaan. Setelah memastikan kondisi kedua teman tidak apa-apa. Kita segera bergegas menyelesaikan masalah selanjutnya, Sebagaimana saran warga desa. Kita segera menuju bapak-bapak China pemilik mobil kijang putih. Dia dari tadi hanya melihat kondisi mobilnya yang rusak. Mukanya tampak datar, mungkin karena belum percaya apa yang telah terjadi.

Setelah kita dekati, dia langsung marah dengan nada tinggi. Karena agak emosi, kita juga membalas dengan nada tinggi, tidak mau kalah. Sebenarnya saat itu saya tau bahwa teman sayalah yang melewati marka jalan, sehingga menabrak bamper belakang mobilnya. Makannya saat itu kita ingin menyelesaikan dengan baik-baik dan minta maaf. Ternyata sikapnya yang marah dengan nada tinggi itu juga merubah sikap kita. Setelah beberapa kali berkomunikasi, orang tersebut mulai agak menyingkir. Kebetulan dia bersama dengan istri dan anaknya. Istirnya selalu memaksanya untuk masuk ke mobil dan segera meninggalkan lokasi saja (Asumsi saya, dia takut karena jumlah kita yang lumayan banyak). Beberapa saat setelahnya pemilik kijang putih tadi masuk ke mobil, lalu pergi tanpa menuntut apapun. Awalnya saya hanya bengong ketika melihatnya pergi begitu saja. Gumam saya, bisa jadi memang dia adalah orang yang berbaik hati sehingga tidak meminta ganti rugi, atau mungkin karena takut, atau bisa jadi dia sedang ingin melapor polisi. Dengan kepergiannya, kita sangat bersyukur.  Seandainya dia menuntut ganti rugi, ditaksir kerugiannya lebih dari 5 juta. Kita tidak tau harus membayarnya dengan apa.

Setelah masalah kedua selesai (masalah pertama adalah kondisi cidera teman kita). Kita mulai bingung bagaimana cara menurunkan sepeda motor yang sama sekali tidak bisa dijalankan. Kondisi bannya sudah ringsek. Sedangkan kita berada di atas bukit yang cukup jauh dari pemukiman. Tiba-tiba datang supir mobil box indomaret. Dia berhenti dan bertanya perihal yang terjadi. Karena saya yakin bahwa dia orang Madura (saya tau dari logatnya), akhirnya saya jawab dengan bahasa Madura. Ternyata benar dia orang Madura. Setelah berbicara ini itu, akhirnya dia menawarkan agar sepeda yang ringsek itu dimasukkan ke dalam mobil box-nya. Dia akan mengantarkan langsung ke bengkel di kota Jember. Kita memutuskan untuk membatalkan perjalanan ke Gumitir dan mengikuti mobil box tadi ke bengkel. Teman yang cidera juga kita titipkan agar ikut mobil box itu saja.

Sampai di bengkel ternyata pengerjaan sepeda tidak bisa langsung selesai hari itu juga. Di samping itu, butuh biaya sekitar Rp. 750.000 agar bisa dibenarkan seperti kondisi baru. Sedangkan waktu itu, meskipun dikumpulkan, uang kita tidak cukup. Kemudian Gus Sofwan menggadaikan laptopnya, dia yang membayar untuk sementara uang kerusakan. Dan alhamdulillah selesailah masalah ketiga. Malam harinya, kita putuskan untuk menginap di salah satu kontrakan mahasiswa UNEJ. Saya juga mulai browsing mengenai informasi lokasi kecelakaan. Ternyata banyak disebutkan bahwa tempat tersebut memang angker. Di samping bekas pembuangan kepala di jaman kolonial, tempat itu juga dijaga makhluk yang konon berbentuk naga, demikian juga ada beberapa cerita lain mengenai  kecelakaan yang pernah terjadi. Kemudian besoknya, kita kembali ke Surabaya. Di Jember hanya tinggal Gus Sofwan yang dengan ketulusannya setia menunggu sepeda yang ringsek. Setelah selesai, dia sendiri yang membawanya ke Surabaya. 

Tulisan ini merupakan tulisan untuk mengenang kebaikan-kebaikan Gus Sofwan. Sosok baik hati yang telah meninggalkan kita semua. Semoga amalnya diterima dan segala dosanya diampuni. Al-Fatihah.

Share:

5 Hari di Kepulauan Sapeken PART II

Sebelum membaca tulisan ini pastikan anda sudah membaca episode sebelumnya.

Setelah sampai di pulau Sapeken, saya diajak berkeliling. Di sana saya mulai merasa seperti orang asing, pasalnya orang-orang di sekeliling saya berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah saya dengar. Setelah bertanya, baru kemudian saya tau bahwa mereka berbicara dengan bahasa bugis. Bahkan katanya, beberapa pulau di kepulauan Sapeken ada yang berkomunikasi dengan campuran 3 bahasa: Bugis, Mandar dan Madura. (Pada akhirnya saya tau bahwa asal muasal orang Sapeken adalah suku Bugis yang legendaris sebagai pelaut ulung itu, mereka di samping orang yang gigih berani juga pintar, bahkan raja-raja Melayu di Malaysia kebanyakan juga keturunan Bugis, mereka jugalah yang banyak menghuni pulau-pulau kecil di seantero Nusantara)

Pulau Sapeken adalah pulau kecil, saya tidak tau pasti diameternya berapa, tapi saya yakin saya bisa berlari mengelilingi pulau ini tanpa harus ngos-ngosan. Jalan-jalan di pulau Sapeken sangat sempit, hanya muat untuk dua motor roda tiga (Tossa), wajar jika saya sama sekali tidak melihat mobil. Mobilitas warga dari satu tempat ke tempat yang lain juga diantar oleh kendaraan roda tiga tersebut. Itu adalah transportasi umum bagi warga Sapeken. Kebanyakan penumpangnya adalah para pelajar dan ibu-ibu yang sepertinya sehabis belanja dari pasar. Rumah-rumah di pulau Sapeken saling berdempetan, bahkan hampir tidak mempunyai halaman sama sekali. Beberapa kali saya mendengar percakapan orang dengan bahasa Jawa, ternyata di sana memang banyak perantau Jawa yang mencari penghasilan dengan membuka toko dan warung.

Setelah berkeliling sejenak, kita memutuskan untuk istirahat. Awalnya saya bergumam kenapa saya tidak lekas diajak ke rumahnya, toh kita sudah sampai di pulau tujuan. Ternyata saya salah. Rumah teman saya tidak berada di pulau Sapeken, melainkan di pulau Saor. Artinya kita harus menunggu jam 12 siang untuk kemudian naik perahu taxi menuju pulau Saor.

Di perahu taxi, kita bersama ibu-ibu yang berwajah lelah dan ceria selepas pulang dari pasar. Jarak antara pulau Saor dan Sapeken sekitar 20 menit perjalanan laut. Di sepanjang perjalanan, perahu melewati beberapa pulau kecil tak berpenghuni, bahkan diujung sebelah barat ada pulau yang tampaknya mempunyai gedung putih nan megah. Katanya, itu dulu adalah tempat penghasil berlian milik pengusaha Jepang,  tapi saat ini sudah ditinggalkan. Sesampainya di pulau Saor ternyata saya sudah ditunggu oleh keluarga teman saya di tempat berlabuhnya perahu.

Pulau Saor merupakan pulau yang tidak begitu besar, namun lebih besar dari pulau Sapeken. Rumah kayu dengan panggung penyanggah yang tingginya sekitar sedada menandakan bahwa masyarakatnya masih memegang teguh adat budayanya. Ketika sudah sampai di rumahnya, karena baterai smartphone saya sudah lowbate, saya meminta teman saya untuk menchargenya, dia berkata bahwa di pulaunya belum ada listrik. Jlebb. Saya sangat kaget, kenapa di pulau kecil Sapeken segalanya serba ada, bahkan kehidupan warganya sudah seperti di kota, tapi di pulau yang berjarak tidak jauh darinya, listrik malah belum tersalurkan. Lebih kesalnya lagi setelah mendengar teman saya bercerita bahwa memang di seluruh kepulauan Sapeken hanya Pulau Sapeken saja yang dialiri listrik, pulau lain hanya memakai mesin diesel desa yang menyala ketika jam 17.30 sampai jam 23.30.

Saya juga semakin kesal ketika mengingat kilang-kilang minyak di pulau Pagarungan Besar. Pikir saya, mengapa mengalirkan minyak dengan jarak yang sangat jauh saja bisa tapi menyalurkan kabel listrik untuk rakyatnya malah tidak bisa, kekesalan bertambah ketika mendengar bahwa dengan listrik yang menyala tidak sampai setengah hari dan hanya dipakai untuk lampu dan televisi tersebut, satu rumah harus membayar sekitar Rp. 90.000 perbulan.

Kekesalan di atas adalah bentuk kekesalan saya yang objektif hehe. Kekesalan subjektifnya adalah bagaimana saya bisa bertahan selama masa yang tidak ditentukan di sini (karena saat itu belum melihat jadwal kapal ke sumenep) tanpa adanya aliran listrik. Terus buat apa saya berat-berat bawa laptop jika ternyata listrik diesel di rumah teman saya saat malam hari tidak akan kuat untuk mengaliri laptop. Pikir saya saat itu, hari-hari di sini akan menjadi hari yang menantang dan penuh pembelajaran.

Orang tua teman saya sangat ramah, ayahnya selalu mengajak saya bercengkrama dengan bahasa Indonesia yang baik. Kemungkinan terbesar mengapa dia bisa sangat lancar berbahasa Indonesia di tempat yang jauh seperti ini disebabkan adanya televisi, karena teman saya bilang bahwa ayahnya tidak pernah merantau kemana-mana. Setiap pagi ayahnya selalu menyuguhi saya kopi, ada saja topik yang dibicarakan. Makanan pokok yang biasa disuguhkan adalah ketan putih dengan parutan kelapa berlauk pindang. Sebelumnya saya memang agak heran dengan menu itu, karena biasanya ketan putih di Madura diposisikan sebagaimana jajanan-jajanan tradisional, tapi ternyata di sini menjadi makanan pokok.

Setelah sehari di sana, saya bertemu dengan pak Haji (namanya sampai sekarang saya tidak tau). Beliau adalah mantan Kepala Desa Sapeken-Saor selama 25 tahun setelah menggantikan orang tuanya yang memimpin selama 40 tahun. Kata masyarakat, beliau ini adalah keturunan Raja Bugis zaman dulu. Rumah beliau ialah di pulau Sapeken. Kemana-mana beliau memakai speddboat, beliau biasa berkunjung ke satu pulau dan pulau lain untuk sekedar bercengkrama dan membahas beberapa hal.

Yang sangat saya kagumi dari beliau adalah karena orangnya yang sangat ramah, agamis, baik dan supel. Itu juga yang membuat beliau sangat berkarisma, masyarakat pun sangat menghormatinya. Saya kira faktor utama mengapa masyarakat sangat menghormati beliau bukan karena beliau yang keturunan Raja atau mantan kepala desa, melainkan karena sifat-sifatnya yang terpuji itu. Pak Haji duduk bersama beberapa masyarakat,  mereka membahas rencana penyambutan Bupati yang tinggal beberapa hari lagi, sekalian saat itu hendak kerja bakti membuat gardu pinggir pantai.

Siang itu, kita duduk di pantai barat pulau Saor. Pemandangannya sangat Indah, karena saat kita duduk di gardunya, di sebelah kanan nampak pulau panjang dengan warna hijau yang apik, dan sebelah kiri ada pulau kecil yang juga tampak anggun. Bahkan di sore hari (setelah beberapa hari di pulau Sapeken) saya melihat keindahan yang luar biasa. Ikan lumba-lumba meloncat-loncat diringi sinar matahari yang mulai terbenam pas di tengah antara dua pulau yang Indah tersebut.

Setelah bercengkrama, pak Haji mengajak saya untuk berkeliling ke beberapa pulau dengan speedboatnya. Sekaligus mendatangi salah seorang tukang untuk mengerjakan proyek tambak udang di salah satu lahan kosong pulau Saor. Kita juga diajak mengunjungi pulau pasir, pulau kecil berisi hamparan pasir yang berdiameter sekitar 55 meter persegi. Di samping pulau pasir, ada bangunan rumah kayu di tengah laut, bangunannya agak besar, pak haji bercerita bahwa itu adalah salah satu bangunan miliknya yang telah diwakafkan untuk kegiatan-kegiatan kepemudaan. Pak Haji juga meminta saya agar menginap di rumahnya saja.

Hari Selasa, setelah 3 hari tinggal di pulai Saor, ternyata saya mulai tidak betah. Saya befikir seandainya teman-teman bersama saya dengan pulau seunik dan seindah ini pasti suasananya akan berbeda. Kemudian saya teringat kapada tawaran pak Haji agar saya menginap di rumahnya saja. Kesempatan menyebrang ke pulau Sapeken juga akan saya pakai untuk melihat jadwal kapal yang akan mengantarkan saya pulang. Saya berharap ada kapal yang dapat membawa saya pulang, meskipun dengan tujuan Banyuwangi tidak apa-apa, asalkan bisa segera kembali. Saya tidak enak saja jika harus menginap di rumah orang sampai 2 minggu sebagaimana tamu teman saya sebelumnya. Katanya, penyebabnya adalah karena tidak ada kapal yang berlayar disebabkan cuaca yang tidak bagus.

Sesampainya di pulau Sapeken saya segera melihat jadwal kapal, ternyata kapal baru ada di hari Sabtu dengan tujuan Madura. Ini berarti saya masih bisa menghabiskan waktu beberapa hari lagi di pulau Indah ini, saya juga masih bisa melihat banyak keunikan-keunikan yang tidak akan saya temukan di tempat lain. Setelah santai sejenak di pelabuhan, kemudian saya dan teman saya menuju rumah pak Haji, pak Haji mengeluarkan beberapa skripsi hasil penelitian mahasiswa Malang mengenai warga Sapeken, kita juga banyak membicarakan nelayan-nelaya nakal yang menangkap ikan dengan cara yang tidak wajar. Maklum pak Haji meskipun orang lemah lembut, tapi ketika melihat nelayan nakal dia akan langsung bereaksi. Bahkan saya pernah diceritakan ada seorang nelayan yang pernah ditabok oleh beliau karena menagkap ikan memakai bahan peledak. Selepas itu, pak Haji menyuruh saya untuk menginap di rumahnya, karena merasa tak enak esoknya saya dan teman saya kembali ke pulau Saor.

Beberapa hari di sana ternyata membuat saya sampai pada posisi dimana saya benar-benar tidak betah, bahkan ingin pulang waktu itu juga. Namun kebaikan masyarakat Saor-lah yang kemudian membuat saya merasa selalu nyaman. Beberapa teman-teman yang seumuran dengan saya juga kerap mengajak saya berkeliling, pernah juga berburu pohon kelapa (di pulau Saor banyak sekali kelapa). Mereka tinggal naik membawa tali, mengaitkan tali ke salah satu ranting, ranting besar diikat kemudian dipotong memakai pisau, jatuhlah segondok kelapa terkatrol ke tali tadi. Lalu, dengan lumeran susu kental manis, kita nikmati bersama di gardu pinggir laut, sepuasnya.

Sesampainya di hari pemberangkatan kapal, perasaan saya senang-senang sedih. Salah satu kesenangannya mungkin karena saya akan kembali menikmati aliran listrik siang hari ketika sampai di Surabaya hehe, sedihnya karena akan berpisah dengan orang-orang baik ini. Entah, kapan lagi saya bisa berkunjung ke sini, pikirku. Sebelum berangkat, saya diminta untuk membawa salah satu burung bagus, maklum burung-burung yang mungkin di Surabaya termasuk burung langka, di sana mudah ditemukan dimana-mana. Termasuk burung Kepodang yang ditawari ke saya. Saya agak ragu untuk menerima karena takut itu termasuk jenis burung yang dilindungi. Ketika mau browsing mengenai hal itu, sinyal tidak mendukung. Untuk mengantisipasi sesuatu yang tidaj diinginkan, saya putuskan untuk tidak membawanya pulang.

Akhirnya saya bisa pulang menaiki kapal yang berbeda dengan saat saya berangkat, namun fasilitasnya hampir sama. Teman saya memutuskan untuk tinggal di rumahnya lebih lama, ini berarti saya harus kembali sendiri. Perjalanan kapal lebih cepat dari saat berangkat karena ketika berhenti di pulai Kangean dan Sepudi bukan untuk menurunkan logistik, tapi hanya menurunkan dan menaikkan penumpang. Pada akhirnya sampailah saya di pulau Madura setelah perjalanan 24 jam dikali 2, dan selama kurang lebih 5 hari di kepulauan Sapeken.

Share:

5 Hari di Kepulauan Sapeken PART I

Seperti biasa, libur semester merupakan waktu terbaik untuk melepas penat dari tugas-tugas perkuliahan. Biasanya selalu ada rencana: naik gunung, travel, maen-maen ke rumah temen, dan lain-lain. Liburan waktu itu (semester 6) saya dan teman-teman berencana  ke Kepulauan Sapeken. Kebetulan salah satu teman yang berasal dari sana berkehendak untuk pulang kampung, sekalian saya diajak bareng.

Kepualaun Sapeken merupakan gugusan pulau di arah timur pulau Madura dan sebelah Utara pulau Bali. Kepulauan ini masih masuk wilayah administratif kabupaten Sumenep Madura, padahal jika dilihat dari peta, sepertinya posisinya lebih dekat dengan pulau Bali. Sebelumnya saya sama sekali tidak tau bahkan tidak pernah mendengar mengenai daerah ini. Saya  pernah mendengar bahwa di arah timur Sumenep memang banyak pulau, tapi hanya tau sebatas pulau Talango, Gili Labak dan pulau kecil lain yang lokasinya berdekatan dengan daratan Madura.

Setelah siap dengan rencana tersebut, saya mulai mengajak beberapa teman supaya lebih rame, karena semakin rame biasanya akan semakin seru. Ternyata hanya ada 5 teman yang berminat. Menjelang pemberangkatan, saya kembali mengonfirmasi mereka, ternyata dari ke-5 teman, 4 di antaranya mengundurkan diri, dan 1 masih tidak jelas kabarnya. Berangkat atau tidaknya saya harus segera memutuskan, mengingat waktu pemberangkatan kapal yang sudah mepet. "Ayo man Mumpung ada jadwal. Biasanya jadwal kapal tidak bisa diprediksi, bisa jadi seminggu sekali, dua minggu sekali, atau bahkan sebulan". Kata teman saya.

Setelah tiba hari pemberangkatan, sebenarnya saya masih agak ragu. Pikir saya, percuma liburan jika hanya sendirian, lagi pula perjalanan yang harus ditempuh adalah menyebrangi lautan selama sekitar 6 jam (Rumah saya memang pesisir, tapi saya tidak pernah naik perahu selama dan sejauh itu). Karena sudah terlanjur berjanji ke teman pemilik rumah, sedangkan dia tampak berharap sekali saya ikut ke rumahnya, bahkan katanya orang tuanya telah mempersiapkan kedatangan kita, akhirnya saya putuskan tetap berangkat.

Sore hari, kita berdua berangkat naik bis dari Bungurasih. Ketika isya' sampai di terminal Pamekasan, ada salah satu penumpang berbaju tentara mengaku kehilangan dompetnya yang berisi uang dan kartu berharga. Dia marah-marah, menyuruh semua penumpang turun, dan memaki-maki tidak jelas, kemudian dia memeriksa tas semua penumpang. Bahkan dia mengancam bahwa bis tidak diperbolehkan berangkat sebelum dompetnya ditemukan.

Keadaan semakin memanas karena warga mulai bergerumun. Dia juga semakin menjadi-manjadi dengan menantang siapapun duel, aparat  berdatangan, mulai dari yang berseragam polisi militer sampai yang nampak seperti preman. Aparat-aparat tersebut mencoba menenangkan tentara itu sambil menyuruh semua penumpang kembali ke bis. Di dalam bis kita diperiksa lagi, banyak penumpang yang seluruh tasnya diperiksa total. Namun tiba giliran saya, aparat hanya membuka kemudian ditutup lagi. Saya tidak tau kenapa, bisa jadi mungkin karena mereka melihat isi tas saya yang berisi buku dan laptop (Kebetulan membawa laptop untuk mengantisipasi jika di sana akan merasa bosan dan butuh hiburan, lagipula saya juga berniat menuliskan cerita perjalan saya langsung ketika berada di sana).

Setelah menggeledah semua tas penumpang dan ternyata dompet tidak ditemukan. Aparat-aparat tersebut mulai menenangkan tentara yang malang tersebut, kemudian bis pun disuruh berangkat kembali.

Karena kejadian itu, kita sampai di terminal Sumenep sangat malam, mungkin itu kedatangan bis terakhir di hari itu. Keadaan terminal sangat sepi. Kebetulan masih ada tukang becak. Karena kapal masih akan berangkat sekitar jam 09.00 besok pagi, maka dengan menaiki becak, kita putuskan untuk menginap di kontrakan milik pak Haji Salim terlebih dahulu.

Jarak antara kontrakan pak Haji Salim dan pelabuhan sebelah timur sumenep sekitar 10 KM, kita hampir saja ketinggalan kapal saat itu. Karena sampai di pelabuhan, mesin kapal sudah hidup dan sudah mulai meninggalkan daratan, tapi untung jarak kapal masih memungkinkan kita untuk meloncat. Biasanya meskipun kapal sudah berangkat, ketika ada penumpang yang tertinggal, asalkan jarak kapal tidak begitu jauh maka kapal akan kembali lagi, dengat syarat penumpang yang tertinggal tidak begitu banyak, apabila penumpangnya banyak, kapal biasanya tidak mau balik. Karena takut overload di perjalanan, begitu kata teman saya.
Kapal yang kita tumpangi bernama kapal Sabuk. Tidak begitu besar. Panjangnya hanya sekitar 30 meter dengan lebar sekitar 7 meter.
Kapal tersebut sebenarnya merupakan kapal subsidi. Untuk rute sejauh dan selama itu, kita hanya perlu membayar Rp. 31.000. Sangat murah apabila dibandingkan dengan kapal cepat jurusan pulau Kangean yang bertarif Rp. 200.000 lebih.

Salah satu alasan kenapa kapal Sabuk ini tidak mempunyai jadwal tetap karena dia mempunyai rute yang berputar, dari Madura ke Kepulauan Sapeken, dari Sapeken ke Banyuwangi, kemudian juga beberapa daerah lain. Itu juga yang membuat masyarakat ketika sudah terdesak, meskipun destinasi utama mereka ke  Probolinggo, mereka tetap harus ikut kapal jurusan Madura. Atau mereka yang bertujuan ke Madura, tetap harus ikut kapal yang ke Banyuwangi. Terrdang mereka harus ikut kapal sapi jurusan Lombok. Hal ini disebabkan karna tidak ada jadwal resmi (jadwal kapal ditempel sebulan sekali di kantor dinas perhubungan di pulau Sapeken)

Kapal sabuk terdiri dari 3 lantai. Lantai bawah berisi tempat tidur, susunannya seperti kamar di motel, tempatnya sangat panas karena ac-nya rusak, itu juga mungkin yang membuat lantai bawah ini sepi dari penumpang. Padahal kondisi kasurnya lumayan nyaman. Sedangkan lantai 2 berisi tempat duduk. Jenis tempat duduknya besar dan sangat empuk. Itu juga yang mungkin membuat orang lebih suka tidur di kursi daripada di kasur. Di lantai 2 ini juga terdapat lcd yang selalu disetel musik dangdut, juga ada etalase tempat jualan kopi, rokok dan barang-barang lain. Harga kopi sekitar 5000 pergelas dan rokok Surya 20.000. Sedangkan lantai atas adalah tempat ABK kapal dan juga kamar VIP, harga kamarnya untuk sekali perjalanan kalau tidak salah Rp. 400.000 lebih.

Sekitar jam 15.00, saya bertanya ke teman saya, kenapa kapal tak kunjung sampai, padahal perjalanan sudah lebih dari 6 jam-an, dia hanya tersenyum santai dan berkata "nantiii". Merasa mulai bosan saya keluar dan bercengkrama dengan salah seorang bapak, banyak yang kita ceritakan. Kemudian saya bertanya mengenai perkiraan kapal akan sampai, "kemungkinan nanti malam", katanya. Merasa tertipu, saya segera turun menemui teman saya, seperti biasa dia hanya tersenyum kecut.

Setelah ashar kapal merapat ke pulau kecil untuk menurunkan logistik, teman saya tersebut mengajak saya turun untuk sekedar santai. Katanya proses penurunan logistik memakan waktu sekitar 30 menit lebih, tapi saya lebih memilih santai di atas kapal, nanggung, pikirku. Ternyata pulau tersebut adalah pulau sepudi. Pulau legendaris yang dulu pernah saya dengar merupakan tempat lahirnya sapi-sapi kerap berkualitas.

Selesai menurunkan logistik, kapal kembali berangkat. Setelah dari pulau sepudi itulah pemandangan nampak semakin Indah. Pulau-pulau kecil berwarna hijau tampak berjejer, saya juga melihat gerombolan ikan lumba-lumba yang meloncat imut di samping kapal. Warna jingga di senja sore nan bersatu dengan birunya lautan menambah keanggunannya. Sangat Indah. Saat itulah saya mulai betah naik kapal lama-lama, meskipun dalam keadaan dibohongi.

Sekitar jam 21.00-an, kapal kemudian merapat ke salah satu pulau. Saya kira kita sudah sampai di kepulauan Sapeken. Ternyata saya diberi tahu bahwa itu adalah pulau Kangean. Pulau tersebut terdiri dari 3 kecamatan. Bahkan pulau itu juga punya Pengadilan Agama sendiri. Sama seperti sebelumnya, kapal berhenti untuk menurunkan logisitk. Karena katanya prosenya sampai 3 jam-an, maka saya putuskan turun dari kapal untuk sekedar mandi dan minum kopi. Ketika kapal hendak berangkat, lampu diseluruh penjuru pulau padam. Saya kira itu memang proses pemadaman bergilir sebagaimana di desa-desa, tapi ternyata tidak, listrik di seluruh pulau Kangean hanya sampai jam jam 23.00, katanya.

Kapal sampai di kepulauan Sapeken sekitar jam 08.00. Kepulauan sapeken merupakan kecamatan yang terdiri dari 52 pulau, baik yang berpenghuni ataupun tidak. Pusatnya terletak di pulau Sapeken (ibu kota kecamatan). Biasanya semua penumpang akan diturunkan di pelabuhan pulau sapeken. Mereka akan kembali ke pulaunya pada jam 12.00-an, karena saat itu perahu taxi dari segala pulau akan kembali ke pulaunya masing-masing. (Di kepulauan Sapeken, setiap pulau mempunyai perahu taxi yang bertugas mengantarkan orang dari masing-masing pulau menuju pulai Sapeken. Perahu taxi berangkat dari pulaunya sekitar jam 08.00 dan kembali jam 12.00. Kebanyakan peumpangnya adalah ibu-ibu yang hendak berbelanja di pasar pulau Sapeken).

Meskipun sudah sampai, tapi kapal masih terus melaju ke arah timur untuk mengantar penumpang tujuan pulau Pagarungan Besar. Pulau ini terletak cukup jauh dari pusat kepulauan di pulau Sapeken (Tidak adanya perahu taxi karena letaknya yang jauh menjadi alasan mengapa kapal Sabuk harus mengantarkan penumpang dengan tujuan pulau ini langsung ke lokasi). Di sekitar, saya melihat banyak berdiri kilang minyak, meskipun ukurannya tidak begitu besar. Katanya kilang minyak tersebut masih beroperasi dan hasilnya disalurkan langsung lewat pipa bawah laut menuju Gresik.

Setelah dari pulau Pagarungan Besar, kemudian kapal kembali ke arah barat untuk merapat ke Pulau Sapeken. Sekitar jam 9 pagi lebih kapal tiba di pelabuhan Sapeken, penumpang dipersilahkan turun karena jam 12 kapal akan kembali berlayar menuju Banyuwangi. Perjalanan yang katanya hanya 6 jam, ternyata memakan waktu 24 lebih. Meskipun awalnya sempat kesal karena dibohongi, tapi karena keindahan alamnya yang anggun, saya sama sekali tidak menyesal. Lagipula saya yakin, dia membohongi saya juga suapaya saya bisa melihat dan merasakan sendiri tempat kelahirannya nan Indah menawan ini.

Share:

5 identitas yang harus dimiliki versi Buya Yahya

KH. Yahya Zainul Maarif atau biasa dikenal dengan Buya Yahya merupakan salah satu tokoh ulama muda masa kini yang terkenal dengan kealimannya. Dalam berdakwah, beliau mashur sebagai da'i yang lugas, tegas dan santun ketika berceramah. Saat ini beliau mengasuh pondok pesantren Al-Bahjah di kabupaten Cirebon.

Dalam salah satu keterangannya ketika menghadiri undangan berceramah pada haul KH. Abdul Hamid Pasuruan, beliau menyampaikan bahwa ada identitas yang harus benar-benar terwujud di dalam diri seseorang untuk menghadapi akhir zaman yang penuh dengan fitnah ini. Identitas tersebut bersifat imperatif. Artinya salah satu saja tidak ada, maka akan sangat berbahaya menghadapi tantangan zaman. Sebagaimana yang disebutkan beliau, bahwa identitas tersebut ada 5. Yakni: Islam, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, berakidah Asy-Ariyyah atau Maturidiyyah, bermadzhab, yang terakhir adalah bertasawwuf.

Kelima komponen ini merupakan identitas wajib yang harus dimiliki oleh semua kalangan, khususnya yang menyebut dirinya sebagai Nahdliyin. Mengingat banyak sekali aliran-aliran baru atau aliran pembaharuan dalam Islam yang mulai mengingkari keabsahan ilmu yang diturunkan melalui sanad ilmu yang sahih, dan mengajak untuk langsung menggali ilmu dari Al-Quran dan Al-Hadist secara langsung.

Dalam tulisan ini penulis akan coba menguraikan masing-masing komponen berdasarkan pengetahuan penulis. Di sini penulis ingin mengatakan bahwa apa yang tertera dalam detail komponen bukan merupakan keterangan resmi yang dituturkan oleh Buya Yahya, melainkan syarah yang ditulis oleh penulis.

Identitas yang pertama dikatakan oleh Buya Yahya adalah Muslim. Satu-satunya cara untuk menjadi seorang muslim adalah dengan membaca kalimat sahadat dan meyakini kebenarannya. Muslim artinya orang yang beragama Islam, untuk mendapatkan kesempurnaan menjadi seorang muslim yang baik, seseorang yang mengaku Islam harus bisa mengimplementasikan dirinya agar bisa melakukan 5 rukun Islam, yakni: membaca Syahadat, melakukan sholat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji apabila mampu.

Surga adalah jaminan bagi seorang muslim yang melaksanakan rukun-rukun tersebut dengan sempurna.  Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam suatu Hadis, ketika ada sahabat bertanya mengenai apakah ketika dia melaksanakan semua rukun Islam dia akan masuk surga, Nabi menjawab bahwa iya dia akan mendapatkan surga. Masing-masing rukun tersebut mempunyai rahasia dan manfaat yang besar, baik jika dikaji dari aspek spiritual, sosiologis, psikologis dan lain-lain. Semisal mengenai sholat, sebagaimana sabda Nabi:

الصلاة عماد الدين فمن اقامها فقد اقام الدين فمن تركها فقد هدم الدين
(sholat adalah tiang agama,  barang siapa yang melakukannya maka dia sama dengan membangun agamanya. Namun barang siapa yang meninggalkannya maka dia sama dengan merobohkan agama)

Di hadis yang lain, Nabi bersabda bahwa kelak hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat adalah sholat. Di dalam riwayat lain Nabi juga bersabda bahwa apabila seseorang sholatnya baik, maka kehidupannya di dunia juga akan baik, namun apabila sholatnya tidak baik, kehidupannya juga tidak akan baik. Dari hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa posisi sholat sangat urgen bagi orang Islam.

Di samping itu juga ada zakat. Setiap harta orang Islam yang cukup, di dalamnya terkandung harta orang lain yang di dalam Al-Quran disebut dengan 8 asnaf. Konsep zakat merupakan solusi untuk meminimalisir atau bahkan menetralisir kesenjangan sosial di bidang sosial ekonomi masyarakat. Kiranya konsep ini lebih unggul apabila dibandingkan dengan konsep sosialisme yang pernah digulirkan oleh Karl Max. Karena dalam zakat seseorang tidak harus menyerahkan kepemilikannya terhadap negara, dia hanya harus menyisihkan hartanya untuk beberapa golongan yang telah ditentukan. Ini artinya, zakat adalah menjadi solusi yang sangat baik untuk menengahi konsep kapitalisme dan sosialisme.

Setelah itu di rukun ke-tiga, ada puasa. Puasa  dapat bermanfaat untuk menjadi rem dalam menahan nafsu, sekaligus pengingat bagaimana pedihnya kehidupan saudara kita yang kurang beruntung secara ekonomi. Rukun yang kelima adalah haji. Melaksanakan haji bukan hanya mampu menjadikan seorang muslim saling mengenal dengan muslim yang lain dari seluruh dunia, melainkan juga dapat mengambil ibroh dari perjalanan dan perjuangan Nabi dan utusan terdahulu.

Demikianlah uraian mengenai muslim. Identitas pertama ini, di akhir zaman implementasinya sudah sangat berkurang, bahkan banyak di antara orang Islam yang mungkin hanya melaksanakannya hanya di rukun pertama saja.

Kemudian identitas yang kedua adalah Aslus Sunnah Wal Jama'ah. Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi bersabda:
قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْــهِ وَسَلَّمَ وَاِنَّ هَذِهِ الْمِلََّةَ ستَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ تِثْنَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارٍ وَوَاحِدَةُ فِى الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Artinya: Sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 diantaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)

Dari hadis inilah kemudian masing-masing manhaj dan golongan umat Islam sama-sama mengklaim bahwa golongannyalah yang dimaksud oleh Nabi sebagai al-Jamaah. Mengenai perbedaan ini, apabila posisi kita sudah tau mengenai dasar ilmu dari manhaj yang kita anut dan yakini, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Kiyai Mustofa Bisri ada baiknya kita menempatkan diri sebagai orang yang merasa paling salah. Ini yang kemudian akan menjadi dorongan bagi kita agar selalu beristighfar, muhasabah dan tidak merasa paling benar sendiri.

Sementara menurut Syeh Ali Jumah pada saat muktamar Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Chechnya 25 Agustus 2016 dalam ceramahnya sebagaimana dikutip oleh NU online mengatakan bahwa aswaja merupakan golongan mayoritas umat Islam sepanjang zaman, karena lebih dari 90 persen umat Islam adalah Aswaja. Aswaja ialah mereka yang mentransmisikan nash dengan begitu baik, lalu menafsirkan dan memberi penjabaran dengan mujmal (global). Aswaja mempunyai 3 pilar agama: Iman, Islam dan Ihsan. Dan juga membagi ilmu menjadi 3 macam ilmu utama, yakni: akidah, fiqih dan suluk.

Dalam memahami nash, aswaja tidak hanya berpacu pada teks, melainkan juga konteks dan realitas kehidupan. Kemudian setelah itu dimanifestasikan dengan menerapkan teks nash yang absolut terhadap realitas kejadian yang sifatnya relatif. Kurang lebih demikian yang dijabarkan oleh Syeh Ali Jumah.
Tentunya sengan identifikasi aswaja yang seperti ini dapat disimpulkan bahwa aswaja ialah sebuah golongan yang fitrahnya tidak mudah mengkafir-kafirkan golongan lain dan tidak membunuh sesama hanya karena perbedaan.

Kemudian identitas yang harus dijaga oleh seorang muslim selanjutnya adalah berakidah Asy-ariyyah dan Maturidiyyah. Asy-ariyyah merupakan salah satu manhaj akidah yang disusun oleh Abu al-Hasan Al-Asyary sedangkan Maturidyyah disusun oleh Abu Mansur Al-Maturidy. Salah satu alasan mengapa seorang disarankan berpacu pada beliau dikarenakan sanad keilmuan beliau yang sangat baik dan menyambung terhadap Rosul Saw.

Alasan kedua adalah dikarenakan manhaj ini merupakan manhaj yang sangat banyak diikuti oleh ulama-ulama yang terkenal dengan kealimannya dan karya-karyanya yang Agung, seperti Al-Gazali, Ibnu Hajar Al-Asqalany, Imam Nawawi, kalangan madzhab dan banyak kalangan maupun ulama yang lain.

Salah satu bentuk keterangan Imam Al-Asy’ari dalam masalah akidah ialah tidak ada sesuatu yang dapat menyerupai Allah Swt. (مخالفة للحوادث). Hujah dalam hal ini terdapat dalam Al-Quran surah Al-Syura ayat 11 dan Al-Ikhlas ayat 4 yang kemudian dilanjutkan dengan pemahaman bidang ilmu yang lain. Sedangkan dalam sekte akidah yang berbeda mengatakan bahwa Allah Swt. mempunyai jasad, hal ini didapatkan dari penafsiran nash secara tekstual versi mereka. Hal yang pastinya sangat rumit dan terlalu panjang untuk dijabarkan. Dalam hal ini Buya Yahya kemudian menyampaikan bahwa cara yang mudah untuk memahami akidah Asy-ariyyah atau Maturidiyyah adalah dengan membaca nadzoman Akidatul Awam.

Identitas yang ke empat adalah bermadzhab. Bermadzhab mempunyai arti bahwa dalam masalah ahkam agam. islam kita dianjurkan agar mengacu pada madzahibul arba'ah (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ibnu Hanbal). Sebagaimana diketahui bahwa sumber agama Islam ialah Al-Qur'an dan Al-Hadis. Beberapa kalangan akhir-akhir ini dengan slogannya bertajuk pemurnian Islam kemudian mengatakan bahwa tidak perlu lagi bermadzhab atau mengacu terhadap siapapun, cukup mengacu pada Al-Qur'an dan Al-Hadis.

Pernyataan tersebut tentunya harus dipertanyakan kebenarannya. Mengingat untuk memahami nash (Al-Qur'an dan Hadis) diperlukan banyak cabang ilmu. Mulai dari asbabun Nuzul, asbabul wurud, ilmu tafsir, Ilmu nahwu, Ilmu Shorof, ilmu balagah, ilmu maani, ilmu bayan, dan lain-lain. Macam-macam ilmu tersebut diperlukan agar dalam pemahaman teks daripada nash tidak memakai pemahaman pribadi yang peluang kekeliruannya sangat besar. Padahal konsekuensi dari kekeliruan tersebut dapat berimplikasi pada kesalahan dalam membuat hukum.  Nabi bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasai:
من فسر القران برأيه فليتبوأ مقعده من النار
(Barang siapa yang menafisirkan Al-Quran dengan dirinya sendiri, maka lebih baik dia duduk di neraka)

Sedangkan 4 Imam madzhab merupkan Ahli hadis dan ahli ilmu yang hidup lebih dekat dengan zaman dan tempat Rosul. Beliau-beliau adalah ahli di bidangnya. Maka cara paling aman dalam menggali nilai-nilai keilmuan dalam hukum Islam adalah dengan bermadzhab. Apabila tidak bermandzhab, lalu kita menyimpulkan masalah agama, agaknya sangat sulit, mengingat dalam menafsirkan nash Al-Qur'an, butuh banyak hadis dan asbabun nuzul yang harus dihafal, demikian dalam memahami hadis banyak asbabul wurud yang harus diketahui, kita Juga harus paham cabang ilmu pendukung dengan penalaran yang matang supaya tidak termasuk dalam klasifikasi manusia yang lebih baik berada di neraka sebagaimana sabda Nabi.

Kemudian identitas yang terkahir adalah bertasawwuf. Tasawwuf merupakan salah satu jalan seorang hamba agar bisa menyucikan dirinya dan lebih mengenal tuhannya. Salah satu bagian dari ilmu tasawwuf adalah bagaimana seorang hamba dapat membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dan melaksanakan kehidupan dengan mengedepankan akhirat.

Tasawwuf merupakan cara terbaik untuk muhasabah diri. Jawaban mudah dari mengapa ilmu tasawwuf harus dipelajari dan diterapkan adalah karena banyaknya ahli sufi yang ma'rifat dan wusul terhadap Allah. Nilai-nilai ilahiyyah telah benar-benar disemayamkan dalam dirinya, sehingga dunia dan segala kenikmatannya diangap tidak ada artinya. Salah satu cara bertasawwuf dengan banyak belajar terhadap seorang guru yang bersanad. Salah satu jalannya adalah dengan tirakat, torekot, memahami penyakit hati, dan banyak yang lain. Karena dengan tasawwuflah yang kemudian membuat manusia banyak berfikir dan sibuk dengan kesalahannya yang besar daripada sibuk mengurus kesalahan orang lain yang sangat kecil.

Seorang sufi yang wusul dan ma'rifat kepada Allah atas izin Allah dapat memiliki keajaiban-keajaiban yang sulit dinalar orang biasa. Itulah yang kemudian disebut dengan karomah. Sebagaimana karomah Yai Muhammad Usman yang mengganti bensin dengan air teh ketika supirnya lupa mengisi bensin. Demikian juga banyak cerita yang lain.

Apabila coba dijadikan sebuah perdebatan retorika. Maka kenyataan mengapa karomah dan cerita keajaiban tokoh sufi tidak bisa dinalar adalah, karena memang logika kita yang tidak sampai atau belum disampaikan oleh Allah. Sama dengan kita menceritakan panjang lebar mengenai besi terbang dan menusia yang dapat saling berbicara jarak jauh terhadap seorang suku amazon pedalaman yang terisolasi dan sama sekali tidak tau perkembangan zaman. Mereka tidak akan percaya karena memang logika mereka tidak sampai.

Di samping lima identitas tersebut, Buya Yahya juga mewanti-wanti agar kita bisa menjaga manhaj talaqqy. Manhaj talaqqy mengharuskan kita mencari ilmu dengan bertatap muka secara langsung dengan guru (bukan lewat medsos atau yang lain). Karena hal tersebut dapat menjadikan seorang guru tau terhadap muridnya dan nur ilmu bisa tertransformasi dengan baik.

Hal di atas merupakan identitas yang harus dijaga oleh kita, dan juga diimplementasikan terhadap anak dan keluarga. Salah satu caranya adalah dengan cara menyekolahkan, memondokkan atau memilihkan tempat pengajian bagi mereka dengan klasifikasi bahwa 5 identitas tersebut harus benar-benar terpenuhi. Hal ini untuk menjaga agar nilai-nilai keilmuan kita dan keluarga menjadi baik karena sanad kelimuan dan panutan yang baik.

Share:

Nge-backpacker Malaysia-Singapore

Setelah beberapa bulan menjadi volunteer di Thailand, akhirnya kita memutuskan untuk berlibur terlebih dahulu sebelum pulang ke tanah air. Tujuan yang kita pilih adalah Singapore. Kebetulan yang berminat pada saat itu ada 10 anak, 5 dari UINSA, 1 berasal dari Kalimantan dan 4 berasal dari Aceh.  Setelah kita tiba di Kuala Lumpur Airport Terminal 2 (KL 2) sekitar jam 9 pagi, semua para volunteer pergi dengan tujuan masing-masing. Ada yang langsung pulang ke Tangerang dengan pesawat tujuan Soekarno-Hatta, ada yang langsung ke Aceh, ada yang masih jalan-jalan di Malaysia, dan lain-lain. Sedangkan kita memutuskan untuk nge-backpacker dari Malaysia ke Singapore. Sebenanrnya kita bisa menaiki penerbangan ke Surabaya yang transit di Canghi Airport Singapore dengan masa transit lebih dari 1 hari, untuk kemudian menghabiskan masa transit dengan berlibur, lalu melanjutkan flight pulang ke tanah air. Namun karena kita ingin merasakan sensasi nge-backpacker, akhirnya kita membatalkan rencana penerbangan tersebut. Padahal itu akan lebih irit biaya, tenaga dan waktu.

Sebelum berpisah dengan semua teman volunteer di bandara, kita menyempatkan untuk menukarkan uang Bath Thailand ke Ringgit Malaysia dan Dolar Singapore. Kurs Singapore sekitar Rp. 10.000 per 1 dolarnya. Setelah semua urusan selesai, kita menyewa mobil van yang akan mengantarkan kita dari KL 2 menuju tempat tinggal orang tua salah satu teman yang berasal dari Aceh, kebetulan orang tuanya bekerja di Putra Jaya. Perjalanan dari KL 2 menuju Putra Jaya sekitar 1 jam-an lebih, dengan biaya per-anak sekitar 15/20 ringgit. Sebenarnya kita bisa naik kereta bandara yang bisa mengantarkan kita ke stasiun Putra Jaya, tapi karena barang bawaan kita lumayan berat, akhirnya kita putuskan untuk naik van saja, toh dengan naik van, kita bisa turun langsung di lokasi tujuan. Berbeda dengan naik kereta, karena masih harus berjalan agak jauh dari stasiun.

Sampai di rumah teman tersebut, kita istirahat sambil menikmati jamuan yang telah disiapkan. Beberapa teman ada yang menjadi sukarelawan dengan pergi ke terminal untuk membeli tiket bus menuju Singapore, sebenanrnya bisa beli via online, tapi karena pada saat itu kita tidak tau, akhirnya mereka terlanjur berangkat. Kebetulan pada hari itu hanya ada pemberangkatan bis menuju Singapore pada jam 23.00.

Sebelum berangkat menuju Singapore kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari kemungkinan yang akan terjadi di border sampai rute-rute dan tempat hiburan yang akan kita datangi.  Sebenarnya orang dengan passport kuno seperti punya saya (ingin tau penyebab passport saya jenis lama? Baca di sini) sangat beresiko dan peluang untuk ditolak masuk ke Singapore sangat besar. Mengingat system border di Singapore yang sudah sangat canggih. Saat masih di Thailand, ada salah satu petugas konsulat mengatakan bahwa passport dengan jenis seperti yang saya miliki itu tidak bisa masuk ke Singapore, karena system di Singapore sudah sangat canggih, hampir sama dengan di Amerika dan Eropa, katanya. Namun setelah saya bertanya ke Diplomat senior Konsulat, beliau malah berkata bahwa passport saya bisa masuk, meskipun dengan proses yang agak rumit. Pernyataan beliaulah yang membuat saya yakin bahwa dengan passport jenis tersebut, saya tetap bisa masuk Singapore.

Di samping masalah passport, berdasarkan hasil browsing kita juga harus menyiapkan kartu identitas, baik SIM ataupun KTP, kemudian uang Singapore minimal 150 Dollar, alamat dan tujuan jelas mengapa kita mau masuk ke Singapore. Maklum saja, dengan negara sekecil itu, pastinya pemerintah Singapore tidak mau ada pendatang ilegal yang tidak jelas tujuannya, lebih kasarnya mungkin, pemerintah Singapore tidak mau ada gembel masuk ke  negaranya. Mungkin. Sebenarnya syarat-syarat di atas tidak wajib jika pemeriksaan border aman, tapi kita hanya mengantisipasi apabila terkena random check. (berdasarkan hasil browsing, border di Singapore katanya selalu menerapkan random check, artinya system akan memilih salah satu orang secara acak untuk diperiksa secara khusus di ruang pemeriksaan khusus. Ini banyak terjadi pada orang yang pertama kali mau masuk Singapore. Sebenarnya ini bukan pertama kali saya menginjakkan kaki Singapore, sebelumnya pernah via Canghi Airport, tapi hanya transit wkwk).

Setelah sholat isya’ kita bergegas menuju terminal Putra Jaya dengan menaiki mobil grab. Sampai di terminal, saya cukup terpukau dengan megahnya terminal bis Putra Jaya, kebersihan dan kemegahannya melebihi bandara Juanda terminal 2. Ditambah lagi manajemen systemnya yang sangat tertata. Saya baru tau bahwa system pemberangkatan bis di Malaysia diatur sebagaimana system pemberangkatan pesawat di bandara. (Setelah tertarik menjadi bus mania saya mulai tau bahwa ada salah satu terminal bis yang juga menerapkan hal demikian di Indonesia, yakni terminal di Pekan Baru, Riau. Di Surabaya katanya juga akan diterapkan di awal tahun 2019 untuk desnitasi sekitar Jawa Timur Saja). dengan system tersebut, kita diharuskan boarding setengah jam sebelum pemberangkatan bis, kemudian tepat seperti waktu yang tertera di tiket, bis datang, lalu petugas melakukan pemanggilan terhadap penumpang agar segera menaiki bis terkait.

Kebetulan saat itu kita menumpangi salah satu bis travel (nama travelnya lupa), bus tersebut adalah bus tingkat. Tempat duduknya besar, nyaman dan masing-masing ada tempar carger HP. Termasuk murah dengan perjalanan 300 KM menuju Singaporedengan harga tiket 50 Ringgit atau sekitar 150 Rupiah. Sekitar jam 23.00 bis tiba dan penumpang dengan tujuan Beach Road Singapore dipanggil dan dipersilahkan masuk ke bis.

Pukul 4 subuh bis sampai di border Johor Bahru, Malaysia, untuk melakukan pemeriksaan imigrasi. Seluruh penumpang bis diharuskan turun. Setelah pemeriksaan imigrasi inilah biasanya yang cukup memakan waktu lama, karena di jam-jam pagi tersebut banyak sekali kendaraan pribadi dan bis yang juga ingin menyebrang ke Singapore. Ini mengharuskan kita mencari bis yang kita tumpangi. Setelah ketemu, ternyata bisnya terjebak macet karena banyaknya kendaraan. Katanya, jam-jam segitu merupakan jamnya orang-orang Malaysia yang bekerja di Singapore berangkat kerja. Sehingga gedung imigrasi juga penuh.

Setelah bis bisa berjalan kembali, semua penumpang dipersilahkan masuk. Supir mulai memeriksa jumlah penumpang dan memastikan bahwa jumlahnya sama dengan saat pertama kali berangkat. Perjalanan dilanjutkan menyebrangi jembatan penghubung Malaysia dan Singapore sebelum kemudian kita tiba di border Singapore yang bernama Woodlands.  Seperti biasa, bis menurunkan semua penumpang, namun kali ini beda, supir bis mengatakan bahwa jika ada penumpang yang ada problem di border, maka penumpang tersebut tidak akan ditunggu.

Di sana saya mulai agak sedikit khawatir, mengingat jenis passport saya berjneis kuno, sedangkan pemeriksaan di sana sangat mutakhir. Di samping saya takut ditolak masuk, saya juga takut menjadi penghambat liburan teman-teman. Saya katakan ke mereka bahwa jika ternyata saya tertahan di border, maka saya persilahkan kalian melanjutkan liburan masuk ke Singapore, saya akan kembali ke Putra Jaya Malaysia sendiri.

Antrian di pemeriksaan passport Singapore sangat panjang. Saya mengambil urutan di tengah di antara teman-teman. Ketika petugas imigrasi mulai memeriksa teman saya di depan, petugas tersebut mengisyaratkan bahwa terjadi masalah. Kemudian petugas tersebut memanggil petugas lain, lalu petugas tersebut bergegas mengantarkan teman saya menaiki lift khusus. Ternyata saya juga terkena random check. Dari 10 orang, 8 di antara kita digiring ke pemeriksaan khusus. Yang tidak terkena hanya 2 teman cewek.

Kita dibawa menaiki lift dengan kode password seperti di film-film holliwood, ditemani petugas imigrasi berpistol. Setelah itu kita dimasukkan ke suatu tempat (seperti ruang tunggu) dan dipersilahlan duduk. Kemudian petugas tersebut keluar ruangan dan mengunci kita dari luar, demikian juga ketika ada orang yang terkena random check selanjutnya. Tempatnya lumayan besar dan nyaman, tapi kita tidak dapat kemana-mana karena sudah dikunci dari luar. Di hadapan kita hanya ada seperti meja resepsionis hotel, di kursinya duduk petugas yang mulai memanggil kita satu persatu. Kita yang dipanggil diminta untuk masuk lagi ke ruang kecil khusus yang di dalamnya sudah ada petugas imigrasi yang siap menginterview.

Ketika tiba giliran nama saya dipanggil, saya agak kaget karena ternyata petugas yang menginterview sangat ramah dan lancar berbahasa Indonesia. Pertanyaannya hampir sama dengan hasil browsing. Dia menanyakan apa tujuan saya ke Singapore, hendak menginap dimana,  dan bawa uang berapa Dollar. Masalah muncul ketika dia meminta saya menunjukkan KTP dan SIM, karena tanggal lahir di passport dan KTP maupun SIM saya beda (karena ada faktor). Saya sebenanrnya sudah mengantisipasi itu, sehingga saya sisipkan SIM dan KTP saya di ruang tas paling dalam, yang sekiranya apabila diperiksa tidak akan ditemukan. Ketika ditanya KTP dan SIM saya hanya mengeluarkan kartu pers Arrisalah dan Kartu perpus. Ternyata dia tidak memperosalkan dan kemudian saya dipersilahkan keluar ke tempat menunggu. Akhirnya setelah proses pemeriksaan sekitar 2,5 jam, kita diberikan setempel masuk Singapore, dan 2 temen cewek kita yang lolos random check sudah menunggu harap-harap cemas di luar. Keluar dari border Woodlands kita sudah kehilangan bis travel tadi, akhirnya kita memutuskan untuk mencari bis lain dan membayar masing-masing 5 Dollar menuju Beach Road.

Agaknya proses pemeriksaan kita terbilang cukup lancar. Mengingat ada beberapa perempuan dengan penampilan modis (kalau tidak salah dia berasal dari Thailand, saya tau dari cara dia berbicara), saat interview mereka dimarahi habis-habisan, setelah di ruang tunggu petugas mengatakan bahwa dia ditolak masuk ke Singapore dan menyuruhnya kembali ke Malaysia. Saya mendengar petugas imigrasi mengatakan kepada mereka “comeback to Malaysia”, kemudian saya melihat dua orang perempuan menangis terisak-isam. Kemungkinan kasus seperti itu terjadi karena bawaan mereka yang sangat banyak (mereka membawa koper besar) tapi mereka tidak dapat menunjukkan dengan benar dimana mereka akan tinggal dan sampai kapan mereka di Singapore. Tapi jelasnya saya tidak tau.

Yang cukup saya segani dari Singapore adalah dimana-mana terdapat petunjuk arah dan di setiap stasiun kereta bawah tanah kita bisa mengambil kertas kecil yang berisi peta Singapore sekaligus rute perjalanan kereta bawah tanahnya, sehingga orang-orang yang baru berkunjung seperti kita, tanpa bertanya pun tidak akan tersesat.

Karena sampai di sana pagi hari, destinasi pertama yang kita tuju adalah merlion park, di merlion park kita sempat berkeliling. Setelah agak siang baru kita memutuskan untuk menuju Bugis Street. Bugis Street adalah surganya para backpacker di Singapore. Di samping banyak motel murah, di sana juga banyak tempat makan yang manyajikan makanan Melayu (dan beberapa makanan Jawa) dengan harga yang cukup terjangkau. Harga motel perhari hanya sekitar 10 Dollar (atau sekitar Rp. 100.000) sementara nasi yang paling murah di salah satu warung Melayu di bugis street seharga 3 Dollar (tergantung lauk, karena systemnya seperti warung tegal) dan es teh sekitar 1-2 dollar. Artinya sekali makan di tempat termurah tersebut kita harus mengeluarkan gocek Rp. 50.000. Sebenarnya juga ada beberapa warung murah, seperti restoran penyetan dengan harga nasi 7-10 Dollar, namun tetap yang paling murah adalah warung Melayu tersebut.

Di motel kebetulan kita sekamar dengan beberapa backpacker asing, ada yang dari Belanda, Jepang dan Itali. Menurut saya, merekalah The Real Bacpacker. Karena mereka berasal dari negara jauh, bawa barang bawaan yang tidak sedikit dan hidup di tempat yang murah agar sisa uangnya bisa dipakai untuk melanjutkan perjalanan ke negara selanjutnya. Di atas loteng, kita sempat berbincang dengan salah satu backpacker perempuan, agak tua, berkulit putih seperti orang eropa, tapi dia mengaku berkebangsaan Srilangka. Dia banyak bercerita mengenai pengalamannya mengunjungi beberapa negara dengan nge-backpacker.

Setelah beristirahat cukup, kita meletakkan tas-tas kita di motel dan melanjutkan petualangan mengelilingi negara kecil tersebut. Kemana-mana kita memakai kereta bawah tanah, cukup praktis dan cepat. Kita sempat berkeliling ke Chinatown, Little India, Sentosa Island kemudian di malam hari menuju Marina bay sands. Sepenuh hari itu kita hanya gunakan untuk berkeliling di sekitar Singapore. Karena besoknya kita sudah harus kembali ke Malaysia, mengingat kita sudah memesan tiket flight kembali ke tanah air.

Malam hari ketika hendak kembali dengan berjalan kaki menuju ke tempat travel yang menyediakan bis ke Malaysia. Awalnya saya berfikir, karena ini adalah Singapore, negara dengan biaya hidup yang sangat mahal dan segalanya serba mewah, terminal bisnya adalah terminal yang lebih mewah dari Malaysia. Ternyata setelah sampai, kondisi daripada tempat bis menaikkan penumpang sangat memprihatinkan, bahkan sama sekali tidak ada kursi tunggu. Sampai sekarang saya tidak tau apakah memang di Singapore tidak ada terminal bis antar provinsi sebagaimana negara lain karena negaranya yang kecil, sehingga penumpang bis tujuan Malaysia harus terlantar di tempat yang tidak begitu layak ketika menunggu bis, atau memang sebenarnya ada, tapi saya yang tidak tau.

Ketika dalam perjalanan, sebelum tiba di tempat travel bis. Dua teman saya baru menyadari bahwa ternyata passport mereka hilang. Kita sudah membolak balik isi tasnya, ternyata memang tidak ada. sementara sebentar lagi (sekitar jam 22.00), bis akan berangkat. Kita harus segera tiba di Malaysia besok di pagi hari, karena tiket pesawat ke Indonesia ialah Jam 18.00. Jadi mau tidak mau kita harus naik bis dari Singapore ke Malaysia di jam tersebut. Telat sedikit saja, tidak ada jaminan bahwa akan ada pemberangkatan bis pagi dari Singapore, maka otomatis tiket flight menuju Indonesia akan hangus dan harus beli lagi.

Mau tidak mau mereka berdua harus mencari passportnya, sebenanrnya kita ingin membantu mencari tapi mereka menolak, katanya daripada banyak yang terkena problem mending mereka berdua saja.  Merekapun berlari sambil mengingat-ingat dimana passport mereka jatuh atau tertinggal dimana. Sementara sisanya terlantar di tempat travel bus dengan harap-harap cemas dan saling berdoa. Kemudian menjelang bis berangkat akhirnya mereka tiba dengan badan penuh keringat, ternyata passport mereka jatuh di salah satu stasiun kereta bawah tanah ketika menukarkan kembali kartu kereta menjadi uang. Kemudian kita bisa kembali lagi ke Malaysia, dan sampai di sana subuh. Untuk menghindari macet, sekitar jam 14.00 lebih kita bergegas ke bandara, dan alhamdulillah bisa tiba di tanah air dengan selamat.

Share:

Akibat Passport Rusak


Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi guys. Baca sampai selesai biar tau klimaksnya.. hehe

Alkisah pada saat itu kebetulan saya mendapatkan keberuntungan sebagai perwakilan kampus UINSA bersama 4 teman lain dari berbagai Fakultas untuk menjadi volunteer di Thailand. Program tersebut merupakan salah satu kerja sama antara pihak kampus, Abroad Alumni Association of Southern Provinces Thailand (Badan Alumni),  SBPAC Thailand (Southern Border Province Administration Center Thailand) dan juga Konsulat Republik Indonesia di Songhka.

Salah satu bentuk kerja sama ini bertujuan untuk memberikan manfaat pendidikan terhadap beberapa daerah tertinggal di Thailand, khususnya di bagian selatan yang mayoritas ditempati oleh Bangsa Melayu (di Thailand kurang lebih ada 3 etnis: etnis Siam, Melayu dan China. Etnis Siam adalah etnis mayoritas dan beragama budha, wajahnya seperti di film-film Thailand. Sedangkan etnis Melayu wajahnya sebagaimana orang Melayu pada umumnya, kebanyakan beragama Islam dan bertempat di bagian selatan Thailand, khusunya 3 daerah: Naratiwat, Pattani dan Yala, sebagian juga banyak berada di sekitar Bangkok. Bahasa mereka berbeda dengan bahasa Melayu Malaysia seperti di film kartun Upin Ipin, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Utara yang sangat susah dimengerti. Mungkin kalau di Jawa mereka disebut dengan “ngapak”, sebagaimana orang Brebes, Tegal, Cirebon dan lain-lain. Sedangkan etnis China tidak begitu banyak dan cukup susah membedakannya dengan etnis Siam).

Badan Alumni adalah alumni luar negeri Thailand Selatan. Seluruh pengurusnya merupakan orang Melayu yang merasa memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan mempertahankan budaya dan etnis kemelayuannya, mengingat mereka merasa bahwa kebudayaan Siam dan Budha telah banyak merasuk melalui kurikulum dan beberapa pola lain, di samping karena pendidikan di Thailand bagian selatan juga termasuk yang tertinggal. Oleh sebab itu mereka melakukan MoU dengan beberapa kampus di Indonesia dengan tujuan agar mahasiswa Indonesia dapat menyebarkan nilai-nilai keilmuan dan juga nilai-nilai ras melayu yang menurut mereka mulai ditinggalkan. Dengan mengirimkan mahasiswanya, kampus di Indonesia berharap bisa menaikkan kelas kampusnya agar dapat bertaraf Internasional, mengingat ini merupakan program yang melibatkan 2 negara, kemudian nantinya mereka juga akan mendapat jatah mahasiswa asal Thailand yang akan dikuliahkan di sana. Sedangkan pihak badan alumni juga mendapatkan timbal balik, mereka dapat mengirimkan siswa-siswi berbangsa Melayu untuk dikuliahkan di Indonesia secara gratis (menurut yang telah disampaikan oleh Kepala Konsulat Songhkla Bpk. Triyogo Jatmiko, setiap tahun, hampir 6000 muda-mudi asal Thailand Selatan yang berniat untuk belajar di Indonesia setiap tahunnya, baik di pondok-pondok pesantren atau di kampus-kampus).

Saya dipercaya bersama sekitar 84 mahasiswa lain dari seluruh Indonesia untuk menyebarkan ilmu di sana (Dari seluruh mahasiswa, kita disebar ke beberapa sekolah di penjuru Thailand Selatan, mulai dari Provinsi Naratiwat sampai Provinsi Krabi. Masing-masing sekolah dijatah 1 anak atau maksimal 2 anak. Tahun ini memang hanya diprioritaskan di sekolah yang berada di bagian Selatan Thailand saja, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang katanya ada juga yang ditempatkan di sekitar Bangkok, atau sampai di Thailand bagian tengah). Dikarenakan pengumuman kelulusan seleksi dan proses pemberangkatan yang cukup mepet, malam itu juga saya berangkat ke rumah di Madura untuk melengkapi syarat-syarat pemberangkatan. Kemudian setelah semuanya beres, saya langsung menyerahkannya ke pihak International Office (IO) UINSA.

Saya baru sadar bahwa ada yang janggal ketika melihat di pasport saya ada sedikit sobekan (hanya seujung jempol) di halaman tempat kolom tanda tangan, tepatnya di pojok atas sebelah kanan, cukup jauh dari kolom tanda tangan pihak yang mengeluarkan passport. Sayangnya, saya baru sadar ketika proses penyerah terimaan berkas ke pihak IO, mau diperbaiki terlebih dahulu rasanya waktunya tidak akan cukup. Saya anggap ini bukan dan tidak akan jadi masalah. (Kebetulan saat itu saya belum sadar bahwa passport robek akan menjadi masalah. Seingat saya terakhir kali bepergian, passport tersebut masih dalam kondisi baik. Kemudian passport saya lama dipegang salah satu pihak travel. Namun sampai saat ini saya tidak tau apa penyebab robeknya).

Singkat cerita tibalah pagi itu, pagi dimana saya akan meninggalkan tanah air selama 4,5 bulan. Saya benar-benar tidak merasa cemas mengenai passport, karena saya anggap posisi robeknya tidak berada di tempat yang vital. Ketika mulai melewati imigrasi Juanda, sebelum memberikan setempel tanda keluar, petugas tersebut memberikan saran, agar kalau ada waktu sebaiknya passport saya segera diperbaiki, karena untuk desnitasi negara-negara maju, passport seperti itu tidak akan diperbolehkan masuk. Saya anggap itu hanya anjuran biasa, saat itu saya hanya mangguk-mangguk.

Kemudian setelah tiba di Kuala Lumpur Airport terminal 2 (KL 2), ketika pemeriksaan imigrasi, saya bersama iring-iringan teman lainnya memilih berada di posisi paling belakang untuk mengantisipasi bahwa semua teman saya lolos (karena yang saya dengar, meskipun antar negara Asean bebas visa masuk dan tinggal selama 1 bulan, namun untuk rakyat Indonesia, imigrasi Malaysia agak memperketat, karena banyak kasus masyarakat Indonesia yang overstay di Malaysia dan bekerja secara ilegal. Artinya sebelum memberikan setempel masuk, pihak imigrasi akan melihat terebih dahulu penampilan atau barang bawaan bagi orang yang di passportnya tidak ada setempel visa, jika penampilan dan barang bawaannya meyakinkan berarti dia terindikasi hanya akan liburan atau keperluan lain dan tidak akan menjadi TKI ilegal). Kebetulan 2 teman di depan saya digiring ke tempat pemeriksaan khusus, giliran saya, dengan nada agak tinggi petugas tersebut bertanya kenapa passport saya robek, saya jawab bahwa itu sudah lama sekali, ternyata dia tidak mempermasalahkan. Kemudian dia bertanya hendak kemana saya? “saya hendak ke Thailand”,. “kenapa tidak langsung flight yang Thailand?” terinsipasri dari film India saya jawab“saya nak menghabiskan beberapa ringgit dulu untuk liburan di Malaysia”. Kemudian saya diberikan setempel masuk Malaysia. Mengenai 2 teman saya yang digiring ke temapt khsusus tadi, kemudian mereka juga diberikan setempel masuk seteleh menunjukkan surat tugas dari Badan Alumni dan pihak kampus.

Setelah berkiling sebentar di daerah Kuala lumpur dan Putra Jaya, kemudian kita melanjutkan perjalanan via bus ke perbatasan Malaysia dan Thailand di Kedah dan Songhka. Berangkat dari Putra Jaya sebelum maghrib kita baru bisa masuk ke border pagi hari. Guidenya mengatakan bahwa kita agak beruntung saat itu, terkadang di perbatasan tersebut kita harus antri berjam-jam karena banyaknya turis yang ingin menyebrang dari Malaysia ke Thailand. Sewaktu pemeriksaan imigrasi Malaysia untuk memperoleh setempel keluar, saya masih merasa biasa, ketika tiba giliran saya, petugasnya ternyata bapak-bapak berumur sekitar 50 tahun ke-atas. Dia membolak balik passport saya dan sama sekali tidak bertanya mengenai passport saya yang robek, dia hanya bertanya apakah saya pernah belajar di Arab? kenapa di passport saya banyak visa bertuliskan Arab, saya hanya menggelengkan kepala. Kemudian setempel keluar diberikan.

Selesai pemeriksaan imigrasi Malaysia, beberapa kilo meter setelahnya kita sampai sampai di imigrasi Sadao, Songhkla, Thailand, untuk mendapat setempel masuk. Antara kedah dan Sadao sebenanrya sama-sama etnis Melayu, namun ketika sudah sampai di Sadao, hawanya sudah beda, mungkin karena bahasa dan tulisan-tulisan di segala penjuru sudah memakai bahasa dan tulisan Thailand. Ketika giliran saya untuk diperiksa petugas imigrasi, kebetulan petugasnya perempuan, dia menunjuk pas di tempat passport saya yang robek, sebelum sempat menjawab isyaratnya saya diarahkan ke ruang pemeriksaan khusus yang berada di sebelahnya. Di dalamnya ada seorang laki-laki etnis Siam, di situ saya mulai sedikit bertanya-tanya, saya bukan takut bahwa saya tidak akan diperbolehkan masuk ke Thailand, saya hanya takut proses pemeriksaan akan memakan waktu lama, yang akan membuat rombongan lain harus menunggu, tidak enak hati rasanya jika karena saya mereka harus tertahan di imigrasi. Tenryata perkiraan saya salah, petugas imigrasi tersebut hanya membolak-balik passport kemudian menyuruh saya tegak untuk difoto, lalu setempel masuk diberikan.

Setelah opening ceremony di salah satu resort di Pattani, kita dijemput oleh kepala sekolah masing-masing dan di sanalah kita harus berpisah dengan teman-teman. Karena saya dan teman-teman UINSA tidak sempat mengurus visa ijin tinggal di Thailand di Konsulat Thailand Surabaya (sebenanrya kita sudah mengurus, tapi ternyata belum clear. Akhirnya saya masuk ke Thailand tanpa visa, kemudian sebelum satu bulan tinggal di sana saya harus menyeberang ke Malaysia, tepatnya ke Konsulat Thailand di Kelantan, untuk memeproleh visa tinggal sebagai selama 2 bulan lagi).

Ketika harus mengurus perpanjangan visa saya kembali harus menyeberang ke Malaysia, namun via border Naratiwat-Kelantan. Pada saat melewati proses imigrasi Naratiwat di Thailand untuk mendapatkan setempel keluar saya merasa aman-aman saja, demikian juga ketika mau masuk ke Malaysia. Perkiraan saya benar, petugas imigrasi tidak mempermasalahkan passport saya yang rusak. Setelah proses pengurusan visa di Malaysia selesai, kita kembali lagi ke Thaland via border yang sama, namun masalah ada ketika saya akan melewati imirgrasi Malaysi untuk mendapatkan setempel keluar. Petugas imigrasi perempuan berjilbab bertanya ke saya mengenai passport saya yang rusak, saya menjawab sama dengan jawaban saya di bandara KL 2, bahwa itu sudah rusak sejak lama, tetapi dia tetap mempermasalhakan dan membawa saya ruang pemeriksaan khusus, di sana ada bapak-bapak berkepala botak.

Ketika saya masuk, dia langsung marah-marah ke saya, bahwa passport saya tidak sah dan dia tidak akan memberikan setempel keluar, kebetulan karena dia langsung bernada tinggi saya juga agak emosi, saya katakan bahwa jika bandara KL 2 Malaysia yang merupakan border highclass-nya mau memberikan setempel terhadap passport saya ini, kenapa boder sini tidak mau? (saya belum merasa bersalah karena belum browsing mengenai regulasi passport rusak) Kebetulan saya juga dibantu pihak Badan Alumni. Kemudian setelah sekitar 20 menit kita sama-sama bernada agak tinggi, barulah si petugas botak tersebut mengatakan “oke karena ini setempel keluar tidak apa-apa saya beri setempel, tapi kalo setempel masuk tidak akan sama sekali”, kurang lebih seperti itu dengan logat Melayunya.

Setelah selesai pemeriksaan, pada saat berjalan keki ke border Thailand, petugas Badan Alumni tersebut mengatakan kepada saya bahwa memang terkadang petugas imigrasi di Kelantan itu sering menyulitkan orang-orang yang mau menyeberang, tapi ujung-unjungnya dia ingin dikasih uang jaminan. Saya tidak tau itu benar apa tidak, yang jelas petugas badan Alumni tersebut juga menceritakan bahwa ada temennya yang pernah mengalami hal serupa, dari gaya bicaranya dia terlihat sangat tidak suka dengan petugas imigrasi di Kelantan itu. Konsekuensi apabila saya tidak diberikan setempel masuk, maka saya harus mengunjungi Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur untuk membuat passport baru (padahal jarak Kelantan dan Kuala Lumpur sangat jauh), baru kemudian bisa kembali lagi ke Thailand. Kemudian setelah kejadian itu saya mulai brwosing mengenai regulasi passport yang rusak, saya sadar bahwa memang yang saya lakukan salah, dan yang saya ngototkan ketika berdebat dengan petugas imigrasi Malaysia itu adalah hal yang salah.

Kebetulan tempat saya bertugas berada di Yala, Banang Sata. Banang Sata merupakan daerah pegunungan yang banyak pohon duriannya, makan durian gratis di sana sudah bagaikan saling berbagi rokok ketika berkumpul dengan teman-teman di tanah air. Banang sata merupakan salah satu red zone, dikatakan red zone karena di sana banyak para pejuang Melayu yang merasa tertindas oleh pemerintahan Thailand (mereka menyebutnya dengan Budha Siam). Mereka sering melakukan teror terhadap pemerintah atau ke etnis Siam yang berada di sana (hal ini disebabkan karena mereka dulunya adalah bangsa berdaulat dengan kerajaan yang sejahtera, sebelum akhirnya kerajaan Thailand datang menyerbu). Daerahnya sekitar 100 KM dengan perbatasan Betong, tempat wisata daerah atas awan Thailand dan Pangkalan Hulu, sebelah utara Malaysia. Tidak heran jika 80% masyarakat Yala adalah etnis Melayu, sisanya etnis Siam dan China. Banang Sata masih sangat kampung tapi cukup sejahtera, dikatakan sejahtera karena hampir di setiap rumah mempunyai mobil pribadi.

Ketika itu, ada undangan untuk berbuka bersama di Konsulat Songhkla. Perjalanan saya dari Banang Sata menuju kota Songhka berjarak sekitar 170 KM atau sekitar Surabaya-Madiun. Namun bisa ditempuh dengan perjalanan transporatsi umum (sejenis van) sekitar 2,5-3 jam, maklum di sana jalan cukup luas dan kendaraan tidak sepadat di Indonesia, atau bisa ditempuh dengan 3 jam versi kereta api gratisan. Kebetulan di sana naik kereta api untuk kelas ekonomi adalah gratis untuk penduduk asli, dan bayar (murah) untuk pendatang. Namun terkadang saya dikasih pinjam KTP oleh kepala sekolah saat memesan tiket, sehingga naik keretanya juga gratis.

Saat sampai di Konsulat untuk berbuka bersama, saya segera menghampiri ibu Wenny, salah satu diplomat Konsulat, untuk menanyakan perihal pembuatan passport. Ibu Wenny menjawab bahwa passport bisa langsung diproses tapi kalau mau menunggu nanti sekitar tanggal 26 Agustus pembuatan passport di Konsulat akan dimutaakhirkan, yakni memakai cip elektronik, sedangkan yang sekarang adalah passport jenis lama, yang tidak ada scan mata atau sidik jari, hanya foto tempelan biasa. Akhirnya saya memutuskan akan membuat passport saat bulan Agustus saja, ketika passport cip di konsluat sudah rampung. Meskipun saya sudah tau bahwa ijin tinggal saya akan habis di awal agustus.

Setelah ijin tinggal mau habis, otomatis saya hatus pergi ke Malaysia lagi dan keluar masuk border lagi dalam keadaan passport saya masih rusak. Saya sadar akan resiko yang akan saya tanggung, namun tetap yakin bisa lolos. Kebetulan kita juga diantar oleh petugas Badan Alumni, tapi bukan yang mengantar saya di periode perpanjangan visa yang pertama. Saat keluar Thailand seperti biasa, sebagaimana yang saya yakini border Thailand itu ramah dan tidak begitu mempersulit, ternyata prosesnya memang lancar.

Masuk malaysia saya mulai berfikir takut terjadi apa-apa dan menghambat perjalanan teman-teman, ternyata border masuk ke Malaysia juga aman. Setelah urus visa, hendak keluar malaysia saya sudah mempersiapkan argumen dan alasan ketika akan bertemu petugas imigrasi botak yang marah-marah dan sempat tidak memberikan setempel keluar dulu. Ternyata semuanya lancar. Saya bisa keluar dari Malaysia dengan tangan melenggang. Ketika itu saya sudah merasa bahwa saya lolos, karena imigrasi Naratiwat untuk masuk ke Thailand biasanya sangat ramah.
Ternyata masalah ada di sana, sampai di imigrasi Thailand ketika maghrib, kita mulai mengantri. Ketika tiba giliran saya, petugas imigrasi Thailand yang saya lihat berasal dari etnis Siam, marah-marah ke saya dengan bahasa Siam sambil menunjuk passport saya yang rusak. Kemudian dia memanggil petugas yang berdiri di luar, petugas itu pun juga marah-marah ke saya dengan bahasa Siam. Ini menjadikan kita pusat perhatian, saya tidak paham apa yang dikatakannya, saya hanya mencoba tenang dan menjawab bahwa saya akan memperbaiki passport saya di Konsulat Indonesia ketika tanggal 26 Agustus dalam bahasa inggris, dia tetap ngoceh dan mengembalikan passport saya. Ini menunjukkan bahwa saya tidak diberikan setempel masuk. Kemudian saya mencoba mencari cara lain, kebetulan melihat salah seorang petugas yang sepertinya beretnis Melayu, dia duduk di dalam ruang tempat petugas-petugas imigrasi tersebut bertugas, entah posisinya sebagai apa, saya menghampiri dia kemudian mencoba berkomunikasi dan menjelaskan, tapi dia malah menyuruh saya balik ke Malaysia untuk membuat passport. Petugas imigrasi yang lain fokus ke tugasnya dan acuh tak acuh.

Petugas Badan Alumni yang mengantar kita saat itu ternyata juga marah ke saya, mungkin dianggap saya adalah hambatan. Di sana saya mulai merasa sedih. Konsekuensinya saya tidak tau pasti, tapi yang jelas saya harus kembali ke Malaysia, jika tetap masuk atau berdiam diri di Thailand saya bisa di penjara dan dideportasi. Namun salah satu petugas badan alumni mengatakan salah satu solusinya kita harus menghubungi Konsulat Indonesia dan berdiam diri menunggu di border agar Konsulat Indonesia yang mengurus nasib saya. Saya tetap berusaha untuk tenang, saya ingin semua selesai sekarang dan tidak ingin menunggu sampai besok.

Kekawatiran saya bahwa saya akan jadi penghampat perjalanan teman-teman ternyata tidak terjadi, salah satu petugas badan alumni langsung mengarahkan peserta volunteer agar cepat-cepat masuk ke mobil untuk segera menuju ke penginapan di Naratiwat, mengingat waktu sudah malam, mereka pergi setelah menghampiri dan memberikan semangat terhadap saya. Tinggal beberapa teman-teman lelaki saya yang memilih bertahan sampai urusan saya selesai. Ketika itu ada salah satu teman dari Jember yang memberikan nomor petugas imigrasi Sadao, Songhkla, dia mendapatkan nomornya dari staf konsultat ketika dia mengurus visa pergi ke Malaysia saat lebaran. Saya mencoba menghubunginya, ternyata dia lancar berbahasa Indonesia, dari logatnya dia dari etnis Siam. Saya tidak tau tapi memang katanya petugas imigrasi Sadao Songhkla mempunyai hubungan erat dengan konsulat Indonesia (mungkin ini salah satu hasil dari diplomasi orang-orang konsulat agar imigrasi Sadao selalu membantu orang Indonesia). Setelah berbicara dengannya beberapa saat dia mengarahkan saya agar menemui langsung Kepala Imigrasi Naratiwat di ruangannya, lalu katakan bahwa saya orangnya dia (kira-kira seperti itu). Saya mencoba masuk sendiri ke ruangannya yang berada di antara petugas imigrasi yang lain, ternyata dia sedang makan tomyam, parahnya dia hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Siam. Saya serahkan telpon yang masih menyambung ke Kepala imigrasi tadi, ternyata setelah saya serahkan panggilannya mati, kemungkinan kehabisan pulsa. Setelah itu saya keluar dari ruangan dan mencari petugas Badan Alumni yang marah-marah tadi, karena hanya dia yang bisa berkomunikasi dengan bahwa Siam.

Seingat saya, saya juga meminjam hp anak Jember untuk menelpon kembali petugas imigrasi Sadao yang sebelumnya mencarikan jalan terhadap saya. Setelah panggilan tersambung, saya kasih ke petugas Badan Alumni, mereka berkomunikasi agak lama, lalu saya ajak petugas badan alumni masuk ke ruang Kepala Imigrasi. Di dalam dia masih sibuk makan tomyam, akhirnya petugas badan alumni menjelaskan apa yang disampaikan petugas imigrasi Sadao ke Kepala Imigrasi Naratiwat tersebut. Kemudian passport saya diminta dan dicoret-coret memakai bahasa Thailand (setelah saya tanya ke petugas badan Alumni, ternyata artinya adalah bahwa passport saya sudah tidak bisa digunakan lagi di Thailand, kecuali ada surat keterangan dari pihak Konsulat atau kedutaan) dan kemudian kepala imigrasi sendiri yang memberikan setempel.

Akhirnyaa.....Keluar dari ruang kepala imigrasi dengan perasaan penuh kemenangan dengan berjalan lenggak lenggok melewati beberapa petugas imigrasi yang tadinya marah-marah ke saya. Hehe tapi pada akhirnya saya sadar juga dan sebelum meninggalkan gedung imigrasi saya bersalaman ke mereka.
Setelah kejadian dengan konsekuensi yang besar tersebut saya langsung sadar dan insaf diri. Ketika kebetulan tanggal 17 Agustus saya ditugaskan untuk menjadi salah satu petugas upacara bagian paduan suara, kemudian memutuskan untuk mengurus pembuatan passport baru meskipun bukan passport cip (hal ini karena jarak dari domisili saya dan Konsulat Indonesia cukup jauh dan saya males untuk bolak balik, jadi sekalian saya buat pas ada tugas di sana). Saya langsung menghampiri pak Arif (diplomat senior Konsulat) beliau menunjuk saya agar datang ke bagian pembuatan passport dan visa. Tanggal 18 Agustus, saya menghampiri bagian pembuatan passport dan visa dan diterima staff lokal, dia mengatakan bahwa minimal passport akan jadi dalam waktu 3 hari. Nanti akan dikirimkan via pos ke alamat tertera secara gratis. Saya agak risau sebenarnya, karena nanti proses pulang dari Konsulat ke domisili saya di Yala, passport tersebut akan digunakan untuk pesan tiket kereta api, atau meskipun saya memutuskan untuk naik van (sejenis mini bus) yang tidak perlu memakai passport, tetap saja khawatir karena terkadang ada pemeriksaan identitas oleh tentara. Toh saya tidak mungkin menunggu tiga hari ke depan di konsulat karena harus cepat-cepat kembali ke Yala.

Saya menanyakan apakah prosesnya tidak bisa dipercepat? ternyata staff lokal tersebut mengatakan tidak bisa. Oke akhirnya saya terima dan saya tinggalkan untuk menghadiri undangan Kepala Konsulat kepada para petugas Upacara untuk bakar-bakar dan makan bersama di Wisma Republik Indoensia, kediaman bapak Kepala Konsulat.
Malam hari ketika pulang dari acara, kita menuju konsulat untuk beristirahat, ternyata passport dan surat pergantian passport sudah berada di atas kasur salah satu kamar cowok di Konsulat. Saya heran dan menanyakan ke pak Arif, pak Arif kemudian tidak berkata apa-apa dan mengecek passport saya, kemudian menyarankan agar saya datang ke staff lokal bagian visa dan passport lagi karena ada kolom yang belum disetempel. Setelah saya datang, petugas tersebut langsung mengeluh kurang lebihnya begini,“ya gini ini mas jadi bawahan, harus rela ngelembur malam-malam demi tugas, kalo tidak, nanti bisa dimaraihn atasan”.

Saya merasa tersindir dan merasa bersalah, karen mungkin dia harus ngelembur sampai malam demi mengurus passport saya, namun saya cukup bersyukur karena saya sudah punya passport baru meskipun hanya passport jenis lama. Kemudian saya baru bisa menuturkan terima kasih secara resmi lewat utusan Konsulat yang kebetulan diberikan tugas untuk menjenguk kita-kita yang berada di Provinsi Yala. Akhirnya semuanya berjalan lancar. Saya bisa pulang dengan lancar tanpa halangan apapun.

Share:

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh