cerpen ini adalah tulisan pribadi, tapi pernah diterbitkan di Majalah dengan nama orang lain
Sang rembulan menyabit keujung sendu, awan kelabu bergerombol menggebu-gebu. membawa kabar bahwa sang langit sedang bermuram. potret malam nan gelap tutupi keindahan alam, layaknya dinding kotor tebal yang mengitari ruangku, menjadi pagar betis dari serbuan dingin malam. Aku duduk terperongoh di atas kursi yang hampir rapuh di makan rayap-rayap lapar itu. hanya bertemankan senyuman jendela bertabir besi, yang senantiasa menjadi pemijak mataku dalam keheningan. Sendu, sepi, sunyi sudah seperti makanan sehari-hari. gelap bak kawan sejati. Mereka yang bernyawa di sekitarku hanyalah barisan semut-semut dan para nyamuk berterbangan itu. Terima kasih wahai kawanan semut, hilir mudik tiada bosan bertebar sapa menggerayangi. Hai nyamuk, apakah gerangan yang kau santap dimalam ini? Mengapa tak makan bersamaku bersama segumpal darah kering dalam tubuh ini.
Sekarang, kemarin dan mungkin besok pagi, dunia akan tetap berputar seperti ini. Waktu akan tetap berjalan membawa kepedihan. jarum jam yang tak lagi berputar itu, sudah tak bisa lagi di percaya untuk menjadi penghantar masa, sudah tak bisa di andalkan untuk menentukan waktuku mengitari alam lamunan. mentari akan muncul, bersinar lalu meredup. Dari timur, keatas, lalu hinggap dibarat. Apakah sang mentari tiada bosan tak pernah berujar lidah. Datang, diam dan pergi dengan hanya menyisakan seberkas kehangatan dikursi tua ini. Wahai mentari, gelap, gelap dan gelap!!! kemana gerangan dirimu pergi? Apakah Karna sapa sang bulan? Jangan kau menjadi seperti bintang-bintang-bintang, bertebaran dimana-mana, banyak sekali. tapi tak ada gunanya. Jangan kau seperti mereka, yang pergi begitu saja ketika sang awan hitam datang menyapa. wahai mentari, kemana dirimu pergi?
Disana mungkin mata mereka akan senantiasa melihat sejauh apa yang nampak. lampu mereka bergelantungan menerangi dengan sialaun warna-warni. meja mereka pasti sudah terisi oleh bermacam hidangan, dengan terhias oleh lilin-lilin dan api kecil menari-nari. kaki mereka tak akan tersandung oleh mayat-mayat tikus yang berantakan di lantai kusut. Mereka bebas berjalan leluasa kesana kemari tanpa sanggahan tongkat kayu. Setiap hari bertabur sapa dengan sahabat-sahabat mereka, melambai-lambai dengan kedua tangannya tersenyum dengan bibir lesung manis tanpa cacat. Indahnya hidup mereka. Sedangkan aku? Hanya seorang berkaki satu, yang hanya bisa berjalan dengan bantuan tongkat kayu. Hanya bertangan utuh di sisi kanan. disebelah kiri hanya bergantung seputung pundak. Mereka mungkin bisa bermain bersama kakak-kakaknya, adik-adiknya, sahabat-sahabatnya. Sedangkan aku? Hanya orang penyakitan yang berjalan sendirian, mendekat kepada kambingpun mungkin dia akan lari terbirit-birit takut tertular. Mereka mungkin bisa bersimpuh di bawah kaki orang tuanya, mencium tangannya, memeluknya, sedangkan aku? Hanya anak terlantar sebatang kara yang tinggal dibangunan tua yang entah milik siapa. Aku hanya setitik nyawa, yang tak tau apakah aku punya keluarga, apakah aku punya orang tua, apakah aku lahir dari rahim seorang ibu, bahkan aku tak tau, apakah aku juga seorang manusia seperti mereka.
Kapan siang tiba? kapan cahaya akan kembali mengusir para kelelawar-kelelawar di atas atap bangunan tua ini, telingaku sakit oleh siulan fals mereka. Untung saja, dibalik sawah-sawah kering yang gelap itu, masih ada alunan jangkrik dan nyanyian kodok yang beradu merdu. Ah...tetap saja siulan para kelelawar gila ini menggangguku. Lekaslah siang! datanglah mentari! Tolong usir kelelawar-kelelawar tak berbadab ini.
Angin liur halus melembur. terdengar setitik bunyi, kecil, lembut, lirih sekali. Apakah itu? apakah suara sebutir debu yang menangis kesepian karna ditinggal kawanannya pergi bersama angin. Melayang bersayap sepoi bersama dedaunan kering. Apakah itu suara rintihan angin yang beratap rindu pada belayan hujan. Entah, mungkin saja hanya teguran tembok kotor itu agar mataku cepat terpejam.
Mataku mulai terkatup-katup, kulit lembut dan bulu mata seakan sudah tak tahan lagi berujar rindu, bertarik ulur dari tadi tiada henti. Huh...Mungkin mereka ingin bercinta menikmati malam yang yang panjang ini, atau mereka sudah tak tahan lagi oleh koaran hati dengan katup mulut berteriak lantang, berkoar-koar bersama urat di leher. Tak terima oleh lalapan api kebosanan, atau karna dinginnya embun kepedihan. Terus bergejolak dan bergejolak, meski hanya dalam dimensi hati. Aku ingin tidur tenang seperti burung cendet itu. biarlah aku menikmati tidurku bersama nyanyian fals para kelelawar itu, bersama sang semut yang menggerayangi, bersama pijatan nyamuk yang tiada henti silih berganti.
Sudah saatnya sang tikar tipis bekerja, meski kusut dengan berjuta noda. Sudah saatnya serakan debu yang berjejer di lantai kotor itu siap tersingkir. untuk menyambut gejolak mata yang sudah tak tahan oleh gemerlap alam. terus berkoar untuk terpejam. Berusaha aku berjalan dengan bantuan teman setiaku sang tongkat kayu, meski lusuh termakan waktu, namun tetap kuat mengantarkan kemana kehendak hati ini pergi. entah kemana kakiku yang sebelah, mengapa tak pernah nampak seperti kaki orang lain pada umumnya, hingga berjalanpun terkatung-katung seperti perahu kecil yang terombang-ambing oleh buaian ombak di lautan.
Kumulai langkahkan tongkat kayu dan kakiku secara bergantian, menuju satu-satunya cara memperoleh ketenangan. ke arah dimana saya bisa menghilangkan kebosanan. ke alam hitam tanpa kesadaran. Perlahan mulai ku rebahkan badan. Sang tikar sigap sambut tanpa bosan. Meski kepala hanya bersandar pada gumpulan sabut kelapa dalam balutan kain hitam. Dalam rebahan badan sang mata masih terkatup melihat hilir mudik tikus-tikus kecil yang menyongsong pekat malam. Mencari santapan di ruangan kotor ini, selayaknya saya yang mencari sisa makanan di pasar-pasar.
Ah....Putih, semuanya putih, tak ada hias warna walau setitikpun. Kemana alam, kemana warna sang alam. kemana dinding kotor pemijak mata seperti biasa. kemana jendela kecil bertepi besi itu. kemana pohon-pohon dan tariannya. Sunyi, semuanya sunyi, tiada serintih bunyipun, yang ada hanya alunan halusinasi sepi. tak ada suara bising gerombolan kelelawar hitam yang biasanya pelikkan kupingku setiap malam. tak ada siulan petir yang membawa ketakutan seperti biasanya di musim hujan. Semua putih, tak ada yang bisa ku sentuh, tak ada secuil bendapun, tak ada setitik warnapun. Tak ada gerombolan semut yang biasa menggerayangi, tak ada nyamuk-nyamuk yang biasa bersantap malam dengan darah keringku.
Hmm, hmm, akhirnya..hehe, semua menjadi nyata. Haha haha haha, inilah kehidupan yang sebenarnya. Tidak ada penderitaan, tak ada suntikan nyamuk-nyamuk gila itu, tak ada suara-suara bising itu. akhirnya, akhiranya, sudah saatnya aku bersorak ria kesana kemari, berteriak dengan lantang luapkan kegembiraan. meloncat loncat tiada henti. Ahh aku meloncat, kaki..kaki..dua kaki..horee akhirnya saya punya dua kaki. Seketika pandangan menuju kesepuluh jemari yang sedang mengepal. Hah sepuluh jari ? tangan, yah tangan hore akhirnya saya juga punya tangan. Dua tangan. Hahahaha terus dan terus saya tergelimang dalam balutan tawa kegembiraan, meloncat loncat kegirangan dan bergulung-gulung di alas dan atap 3 dimensi yang serba bersih yang putih itu.
Betapa girang rasanya, kepedihan yang selama ini saya rasakan telah sirna. Kaki satu, tangan satu, tongkat kayu telah berlalu. Berhenti saya tertawa, saya mulai merasa harus menemukan sesuatu. apakah itu setitik temu, selirih suara, atau bahkan segumpal benda-benda yang biasa mewarnai mata. Berjalan dan terus berjalan, pelan ku langkahkan kaki ini, sejengkal demi sejengkal. Namun yang kutemukan hanyalah buritan warna putih ini yang seakan terus mengikuti di belakangku, semakin menjauh di depanku, dan tetap berdiam diri di kanan kiriku. Terus ku langkahkan kakiku menuju arah yang sama, tetap saja hanya warna putih di sekelilingku. Semuanya masih sama, hanya sepi, sunyi tetap pada halusinasi kosong tanpa arti. Mungkin kurang jauh kaki ini melangkah, Hingga terus dan terus aku melangkah, seakan tidak lelah tetap bersemangat kaki melangkah. Entah sudah berapa lama saya berjalan di ruang putih ini, tak ada pacuan pengukur waktu seperti putaran matahari di siang hari. Tak ada penanda arah seperti gugusan bintang di malam hari.
Mungkin saya sudah salah arah seperti gerombolan semut yang menuju kapur putih hingga membuatnya mati perlahan. Akhirnya ku putuskan untuk mencoba berbelok arah kesamping kiriku. Terus ku lanjutkan melangkah dan tetap melangkah. Ah sama saja, tidak ada setitik apapun itu, baik suara, warna, hingga benda. Tak ada apapun yang menghiasi pandangan ini. Lesu, seakan tak kuat lagi kaki baruku ini untuk melangkah. tapi tetap ku berusaha torehkan pandangan kesana kemari. Masih saja yang terlihat hanya ruang kosong tak terisi. hanya ada suaraku, warnaku, tubuhku. tak apalah. mungkin harus lebih jauh lagi ku berjalan untuk menemukan kehidupan seperti biasanya. Rasanya seakan sudah tak sabar untuk menikmati indahnya, menikmati seperti terlahir kembali dan hidup normal dengan kaki dan tangan baruku ini.
Ku rebahkan badanku di atas alas putih, sangat bersih tanpa debu sedikitpun. Tak ada tikar kotor. tak ada buntalan sabut kelapa terbungkus kain busuk. tak ada tikus berkeliaran hinggapi pandangan. semua tampak putih dan bersih. Dalam hati ku berkata, akhirnya aku mendapatkannya. mendapatkan hidup dalam kebersihan. hidup sama seperti orang-orang itu. beberapa saat ketika lelah melalang buana, mungkin sudah saatnya aku harus kembali melanjutkan perjalananku ini, mencari ruang kesempurnaan selayaknya mereka.
Tak jauh dari pandangan, seakan tersulut setitik hitam di ujung putih disana. Kelap kelip berkilauan hiasi mata. Satu-satunya warna yang ku temukan di ruang kosong ini. Entah apakah gerangan. Seberapa jauh saya harus melangkah untuk menggapainya. Setitik kecil berwarna hitam. Mengkilap bak silauan mentari ke arah pecahan kaca di bawah jendela bangunan tuaku. Seakan lambaikan tangan berikan harapan. Akhirnya harapan itu datang, kucuran keringat yang berjatuhan telah terbalaskan oleh setitik harapan. Setitik warna hitam di alam yang serba putih, nampak indah. sudah bagaikan sang kunang yang terbang sendirian di pekat malam. seperti telah menghapus segala kerisauan dan kegelisahan yang ku rasakan, dan merubahnya menjadi segenggam jawaban dari sebuah harapan. dan bersihkan semua keringat yang bercucuran, menjadi kucuran air hujan yang menyegarkan.
Hahaha..haahaha. sambil tertawa ria ku berlari ke arahnya, kencang ku berlari dan terus berlari tiada henti. sampai mulai terasa jantung berdetak lebih kencang kembali, keringatpun berkucur deras basahi alas putih ini. Namun tetap saja, sepanjang jalan ku berlari, tak terdengar suara sayup selirih anginpun. Hingga sampailah pada lelahku. ku berjalan dengan jantug yang tetap berdetup kencang sambil pandangi titik hitam itu, tapi tetap saja tak ada perubahan sekecil kerikilpun. Ukurannya tak berubah sedikitpun. Semuanya tetap sama seperti pertama kali aku melihatnya. Entah telah berapa jauh aku berlari. sudah berapa lama kaki ini melangkah. Tapi mengapa setitik hitam itu masih tetap seperti itu. Mungkin memang tempatnya yang sangat jauh. saya tetap harus berlari dan berlari. Karna saya yakin dengan kaki dan tangan baruku ini, saya bisa melakukan segalanya. saya bisa mendapatkan segalanya.
Ku berhenti sejenak, telungkupkan kepala ke bawah, lesu. Seketika pandangan kembali menoreh ke titik hitam. Respect langsung kaki ini berlari kencang, bahkan sebelum otak belum berikan perintah. Seperti lupa bahwa lelah sedari tadi bertamu. seakan sang kaki tak perduli pada kucuran keringat dan bunyi jantung yang berdetup sangat kencang. Pandangan menuntun kaki untuk terus berlari dan berlari. Sampai sangat terdengar jelas di telinga. Entah, Apakah itu adalah kombinasi bunyi dari tubuh yang lelah. Jantung yang berdetap kencang. Atau bunyi laju kaki yang berketapak, dan suara lirih oleh badanku lewati sang ruang.
Tergeletak badan ini tertindih oleh sang lelah, sudah tak ada harapan lagi dalam hati. Lantai alas putih telah basah oleh keringat. Pikiranku kosong, hanya bintang-bintang kecil berwarna kuning yang berputar-putar di atas kepala, sudah seperti adegan kartun tikus dan kucing yang pernah ku tonton di warung di pasar-pasar. Ahh aku tersenyum dengan kerutan putus asa. Ahh mungkin itu hanya halusinasi. Ya halusinasi. Tak pasti. lantas sebenarnya apa ruang putih ini? kemana arah kembali? dimana rintihan tikus-tikus kecil. Kemana sapa kawanan nyamuk yang silih berganti bersantap malam.‘haiii” teriakku lantang. “kemana arah kembaliiiii, Kemana arah pergi?, oiiii..
Terus dan terus ku berteriak sekencang-kencangnya, ku berkoar mencari ruang, mencari masa, mencari warna, mencari waktu, selayaknya yang ku temukan di duniaku. Duniau yang dulu. Ku terus berteriak dalam geletak lelahku, sampai keluar dengan sendirinya dari mulut ini, hinaan, cacian, ejekan, semuanya, meski aku sendiri tak tau itu untuk siapa. Sambil mata terpejam ku terus berkoar-koar sendirian.
Seketika terdengar sedikit suara, “Sngg” menggeletar di telingaku. Hingga seketika langsung ku buka mata. Terdengar suara yang lebih keras lagi “SnggG”, hah,, apa itu, ku menoleh kekanan dan kiriku, namun tak tampak secuil warnapun dalam pandangan. hingga Kembali terdengar “SNGGGGGGG” kali ini sangat keras, begitu kerasnya sampai terasa sakit rasanya pendengaranku. Apa itu? hingga aku kembali teringat oleh titik hitam di sebelah sana. Ya titik hitam itu. Aku bergegas berusaha berbalik untuk melihat. “ SSNGGGGGGGGGGGGGGGG” sangat sangat keras sekali. respek tanganku menutup telinga, seraya mata tetap pandangi sang titik hitam.
Ahhh ternyata bunyi titik hitam itu, semakin lama semakin keras. Hingga mataku terperongoh oleh titiknya yang semakin membesar. Semakin keras suara yang ku dengarkan, dan juga semakin besar bulatan titik hitam. Suara bisingnya sugguh sangat menyiksa, namun aku tetap terperongoh. Semakin membesar dan membesar. Hingga aku sadar bahwa sang titik hitam menuju ke arahku. Entah apa yang harus saya lakukan. Aku mencoba berdiri dengan tangan tetap lindungi kuping dari bisingnya. Sungguh aku dipenuhi rasa takut, aku takut sesuatu terjadi padaku, aku takut itu adalah malaikat maut yang siap menjemputku. Belum sempurna kakiku berdiri, setitik hitam dan suara bising telah berada sejengkal dari mataku.
Seketika “ JLEEPPP.”
Tak ada warna. tak ada ruang putih. semuanya hitam. Gelap. Sunyi. tak ada apapun disini. Aku hanya berdiam diri disuatu tempat yang bahkan saya bertanya-tanya apakah ini memang sebuah tempat. Saya merasakan angin melambai-lambai di atasku. Angin itu semakin kencang ku rasakan. Aku sadar sedang terjatuh. Aku berteriak dengan lantang, terus berteriak dengan beribu tanda tanya dalam hati, kemana aku akan terjatuh. Hati sudah kacau tak karuan. Semakin yakin bahwa sang titik hitam adalah malaikat sang maut pencabut nyawa. Aku terus terjatuh, dan DEPP..Badanku mulai merasakan sesuatu. Sepertinya sudah mencapai dasar. Sedikit terpental. Dimana saya jatuh? Mengapa tak terasa sakit sedikitpun? Gumam hatiku. Belum mata coba kubuka, hidung sudah disambut oleh bau yang sangat busuk, sangat sangat busuk. bahkan baunya tak pernah ku cium sebelumnya di tempat sekotor bangunan tuaku. ku coba perlahan membuka mataku. Ahh aku terjatuh di gelimpangan mayat yang menggunung, ya diantara mayat-mayat yang sebagian sudah tinggal belulang. Mayat tanpa tangan dan tanpa kaki. aku jatuh tepat di atas bukitnya. Dimana aku? Mencoba ku bangkit, namun sejengkal kaki melangkah, ku terpeleset hingga jatuh menggelinding, aku terus jatuh menggelinding di antara banyak mayat yang bergelimpangan. Entah, apakah ratusan, ribuan atau mungkin jutaan. sungguh baunya busuk sekali. Aku Terus menggelinding, kembali aku berteriak dalam ketakutan. Dalam hati ku berkata, sebenarnya dimana aku? aku hanya bisa terpejam. Dalam fikiranku aku bertanya, apakah ini pintu-pintu menuju kematian. Hingga ku rasakan tempat ku menggelinding mulai datar. Sampai badanku tergeletak di akhir gelindingan. Tampaknya memang sudah berhenti. Ya ternyata memang sudah berhenti. Namun tetap tak terasa sakit sedikitpun, sungguh aneh. yang ada hanya pusing oleh putaran di antara bau-bau busuk itu. mataku masih terkatup dalam pejam. masih terasa putaran-putaran itu, kepalaku masih terasa pusing, di tambah gundukan bau busuk seperti melayang-layang di atas kepala.
Perlahan, sedikit demi sedikit ku mulai buka mataku. Ahh baunya masih ada, meski tak sebusuk yang tadi. Dalam geletak, tepat di depan mataku, sepenggap badan, badan yang berdiri tanpa kaki. Hingga ku mulai bangkit membuka mata. Berdiri Tampak miring, sesosok yang tampak coklat dalam samar. Belum sempurna dalam bangkitku, aku terjatuh kembali. Sungguh kaget. Hatiku berkecamuk dengan heran penuh ketakutan. Fikiranku sudah kemana-mana. Takut. Aku takut. Apakah ini yang dinamakan neraka? Apakah ini balasan dari ketidak ihklasanku akan yang diberikan kepadaku di dunia? seketika tepat didepan mataku, sejengkal di hadapanku, telah berdiri beberapa sosok, entah makhluk apakah ini. Sesosok yang tampak seperti manusia, baunya busuk meski tak sebusuk tumpukan mayat di sebelah sana. Matanya lusung, rambutnya panjang dan acak sekali. badannya penuh dengan tumpukan bisul dan nanah yang berkucur melumuri. Darah menetes-netes dari sikut dan sebagian keluar dari puluhan bisulnya. tak ada tangan. tak ada kaki. Satupun.
Mereka semua melotot padaku dengan matanya yang hitam. Sudah tak jernih selayaknya manusia biasa. Perlahan ku mencoba mundur dengan perlahan. Fikiranku berkecamuk oleh pertanyaan. Dimanakah aku, siapa mereka? Belum aku sempat kembali berasumsi, mereka mengesot ke arahku. fikiranku sudah buntu. Ku pejamkan mata. Pasrah. Aku berteriak meski tak tau apa yang akan mereka lakukan, “ jangan, jangan, jangan. Seketika, terasa bulu-bulu kasar seperti helai sapu, mendorong ke atas lengan kiriku, begitupun di lengan kananku. Dan bulu-bulu itu juga terasa ingin membangkitkanku dari leherku. Ku buka mataku, ternyata benar, mereka berusaha membangkitkanku. Hingga aku bangkit dan berdiri tegak. Tampak bibir dibawah kering gumpalan ingus mereka agak melebar, menandakan mereka sedang tersenyum. Haha haha haha, terdengar suara tawa mereka bersama-sama. Rasanya sungguh bingung. ada apa ini? Hingga terlihat beberapa dari mereka mengeluarkan suara-suara kecil. Aku sadar tampaknya mereka ingin berkomunikasi. Aku tak tau apa yang mereka bicarakan, bahasanya terdengar seperti orang bisu, dia mulai mendekat kesebelah kakiku. Ku lihat sorotan matanya seperti berbinar. Memandang fokus ke arah kakiku. Yang lain juga mengesot ke sebelahku, hingga tampak tanah bekas langkahnya penuh dengan warna kuning dan merah bekas nanah dan darah. dia juga mengeluarkan suara yang sama. Suara tampak seperti orang bisu. Tak lama, wajahnya yang lusuh penuh dengan kotoran, mencoba meraih jari jemariku. Bibirnya kembali melebar, mata kecoklatannya berbinar, seakan tertegun melihat jari jemari dan tanganku.
Aku mulai mengerti, aku baru sadar. Nampaknya mereka ingin mengajak berteman. aku tersenyum lunglai. ku berikan senyum paksa. Mereka membalasnya dengan lengkungan bibir garingnya. Dalam balutan yang entah berapa kombinasi bau, pandangan saya mulai bekerja. Memandangi alam sekitar, Sungguh betapa mereka hidup dalam kesengsaraan, tanpa tangan, tanpa kaki. Tanah-tanah penuh dengan nanah dan darah. Tak ada pepohonan seperti di dunia yang aku tinggali. Sepanjang mata saya melihat, yang ada hanya gundukan mayat yang berserakan dan tanah lapang yang entah dimana sudutnya. Tanah itu tampak dengan garis garis kuning bercampur merah. mungkin memang warnanya, ataupun karna gesekan badan-badan mereka yang mengesot melewatinya. Tapi mereka tampak sangat ramah tamah, tersenyum dan tertawa. bersuka ria. Mereka mengeliliku, Sambil yang lain terus menjungkal-jungkal tangan dan kakiku dengan kepalanya.
Aku mulai merasa senang, kekhawatiranku seakan hilang, senyuman mereka telah merennggut senyuman paksaku, mennggantinya dengan senyuman tulus dengan kasih ikhlas. Aku turut bergembia ria bersama mereka, aku meloncat-loncat dalam tawa, ku terus meloncat dan meloncat. Hingga aku sadar suasana telah sepi. Aku diam pandangi mereka. Ternyata mereka tak berkedip melihatku, entah kenapa. Apakah karna mereka tak pernah melihat orang meloncat seperti itu. aku kebingungan. Suasana tetap dalam diam. Apa ini yang harus aku lakukan. Hingga salah satu dari mereka mulai tertawa, dan yang lainpun turut tertawa. suasana kembali dalam tawa. Akupun kembali memasang jurus muka paksa dengan ikut tertawa. Hingga suana berbalik menjadi ramai oleh tawa.
Dari jauh daratan tanah kuning merah yang datar itu, ku melihat setitik hitam kecil, hingga nampak titik-titik hitam yang lain. Titik hitam itu terlihat sangat banyak. Bergerumel. banyak sekali. Entah ribuan atau jutaan. seakan barisan tentara yang telah siap berperang. Mereka tampak mendekat, ku coba beri menunjuk kepada mereka, memberi tahukan apa yang ada disebelah sana. Namun mata mereka seakan tertegun melihat jari telunjukku. Seperti mereka sedang mengira, aku sedang memberikan sebuah pertunjukan. Ribuan atau jutaan titik hitam itu tampak mulai mendekat, mereka tetap tertegun dengan mata berbinar. Sebagian dari mereka tertawa ria.
Titik hitam itu telah mengubah warna tanah yang kuning merah, menjadi titik-titik hitam yang bergelimang. sungguh sangat banyak. Sampai cukup jelas di depan mataku. Seperti sejenis hewan melata kecil empat kaki, bermata merah, berjangggut panjang seperti belalang. Sebesar jempol pada kaki. Mendekat, hingga sangat dekat. Aku tetap terperongoh melihatnya. Sampai salah satu dari manusia busuk tanpa kaki berdiri di ujung sebelah sana di gerayangi, hewan melata itu menggerayangi seluruh tubuhnya, hingga tak tampak tetesan darah dan nanah di badannya. Manusia busuk yang lain seperti sangat kaget melihat rekannya, mereka mencoba kabur dengan mengesot, mengesot dan mengesot. Aku masih terheran. Mataku tak percaya ini terjadi. Hingga salah satu Manusia busuk tanpa kaki itu menabrakku, aku baru sadar bahwa aku juga harus cepat melarikan diri. Mencari keselamatan dari serangan hewan hitam itu.
Aku berlari dan berlari, tak kenal arah ku terus berlari. Sambil seskali menoleh kebelakang, tampak sudah tak ada sisa dari Manusia busuk itu. Semuanya penuh dengan lautan hitam, lautan hewan melata yang entah apa itu namanya. Terus ku langkahkan kaki ini, aku tak peduli, ku tetap harus terus berlari, menjauh dengan penuh perasaan takut yang mencekam. Hingga lelah kembali menindihku dalam geletak, aku terjatuh, dan memang tampaknya aku sudah jauh. Jauh dari hewan melata itu. ku rebahkan badan di antara nanah dan darah kering di tanah. Sejenak tampak terasa geli di balik lututku, tampaknya ada sesuatu. Apa itu? ketika ku mulai duduk dari rebahan, tampak hewan melata hitam itu di lututku, dengan mata merah bersinar, menganga, keluarkan dua gigi hitam yang besar. tampak tajam, seperti taring harimau, meski lebih kecil ukurannya. Akupun langsung berteriak lantang. AHHHHHHH..JLEEPP. suasana telah berbeda. aku kembali berada di ruangan tuaku. jendela besiku berikan ruang bagi cahaya rembulan yang tampak indah berikan pancaran. aku terpaku dengan mata melotot, terfokus pada tikus kecil yang sedang menggigit lututku. Aku baru sadar, telah terbangun dari mimpiku. Ahh si tikus sialan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar