Menjadi mahasiswa generasi awal merupakan hal terindah yang tidak pernah bisa dilupakan. Di masa-masa ini mahasiswa belum begitu disibukkan dengan beratnya tugas kuliah, apalagi tekanan untuk memikirkan masa depan. Biasanya, ini adalah masa seremoni. Sebuah perayaan karena sudah menyandang status mahasiswa. Sekaligus rasa bahagia, pergi mencari ilmu tanpa harus memakai seragam. Di masa ini juga, para senior mulai PDKT, baik karena tujuan pribadi untuk menyambung tali tresno yang sempat didapat ketika ospek, ataupun untuk menambah jumlah kader organisasinya. Dosen pun menghadapi mereka dengan sangat toleran. Mereka hanya disibukkan dengan kegiatan diklat tahunan yang dilaksanakan di daratan tinggi yang dingin.
Memasuki semester selanjutnya, mereka akan mulai akrab dengan lingkungan. Termasuk dengan teman-teman sekelas. Biasanya kebersamaan dilakukan dengan banyak hal, salah satunya adalah makan bersama: di warung, restoran sampai di rumah-rumah. Mereka juga akan membuat beberapa kegiatan untuk mengimplementasikan kebersamaannya, semisal dengan touring. Touring merupakan salah satu cara klasik untuk menghibur diri. Namun tidak semua mahasiswa suka menghibur diri dengan cara ini, di samping mempunyai resiko yang cukup tinggi, izin orang tua juga sering menjadi kendala.
Demikian kata pengantarnya. Sekarang mari kita mulai masuk ke alur ceritanya. hehe
Semester 2 merupakan semester kebersamaan. Di mana saya dan teman-teman (khususnya teman sekelas) sudah saling mengenal dan akrab dengan sesama. Bahkan saat itu, saya dan teman sekelas mempunyai agenda mingguan. Agenda tersebut adalah ngopi bersama di warkop kuning sebelah JX. Ngopi biasa diisi dengan mengerjakan tugas, ngobrol ngalur ngidul, atau hanya sekedar rasan-rasan. Waktu itu, kebetulan ada libur yang cukup panjang. 4 hari. Mulai Kamis sampai Minggu. Menyambut hari besar ini, kita merencanakan untuk membuat even yang dapat mempererat tali kebersamaan. Kemudian disepakati even tersebut adalah touring bersama. Setelah berunding dari satu warkop ke warkop yang lain mengenai destinasi touring, akhirnya kita sepakat untuk melakukan perjalanan ke arah timur, Banyuwangi. Di samping rutenya yang banyak melewati tempat wisata, daerah Tapal Kuda juga merupakan kediaman beberapa teman, setidaknya kita tidak perlu repot-repot mencari tempat menginap.
Tiba di hari pelaksanaan, ada beberapa teman mengalami masalah administrasi keluarga. Hal ini dapat dimaklumi, karena kondisi dan situasi keluarga berbeda. Bahkan sebelum berangkat, tanpa pikir panjang saya harus membuat dan menandatangani surat izin abal-abal atas nama study tour, dengan label organisasi AS-A yang bersekretariat di kamar 21 Ponpes Al-Husna, kamar saya. Karena terjadi sedikit masalah, kemudian diputuskan bahwa pemberangkatan akan dilakukan dengan 2 kloter. Kloter pertama berangkat Kamis siang. Kloter kedua berangkat Jum’at pagi. Kloter pertama sekitar 4 sepeda, masing-masing boncengan dan bermalam di rumah salah satu kawan di Lumajang. Kemudian keloter kedua sekitar 5 sepeda, satu anak sendirian. Semua peserta touring berjumlah 17 anak.
Kebetulan saya termasuk kloter pertama. Malam itu kita habiskan waktu di rumah salah satu teman di Kec. Tempe, Lumajang. Lumajang mempunyai banyak sekali tempat wisata, mulai dari daratan tinggi berhawa dingin sampai wisata air terjunnya yang menawan. Ini yang membuat saya sering menginap di rumah teman tersebut. Mungkin sudah 3 atau 4 kali. Sampai di Lumajang, awalnya kita berniat untuk berwisata ke negeri di atas awan (B-29). Tapi karena kondisi fisik yang sudah kelelahan dan waktu yang menjelang malam. Kita putuskan untuk istirahat sejenak dan menghabiskan malam dengan hanya nongkrong di alun-alun kecamatan.
Ketika perjalanan menuju ke arah terminal untuk bertemu kloter kedua, di salah satu jalan ada polisi yang sedang beroperasi. Mereka memeriksa surat-surat beberapa pengendara motor yang lewat. Termasuk saya. Ketika saya selesai diperiksa, teman di depan saya dibawa surat-suratnya ke seberang jalan. Dia juga diminta untuk mengikuti pak polisi tadi. Padahal setahu saya surat-surat teman saya tersebut lengkap semua. Merasa ada yang aneh, saya juga mengikuti polisi itu ke seberang jalan.
Di seberang jalan, polisi mengatakan bahwa dia akan ditilang karena posisi tulisa plat nomornya miring. Polisi sudah berpose seperti orang yang sedang menulis sesuatu di surat tilang. Awalnya teman saya mendebatnya dengan mengatakan seharusnya tidak langsung ditilang, tapi polisinya tetap ngotot. Kemudian saya coba berkomunikasi dengan menanyakan pasal berapa yang telah dilanggar teman saya? Polisi tersebut diam sejenak dan mengatakan pasal 365 (seingat saya). Kemudian saya segera membuka HP (pada saat itu masih blackberry) dan mencari di KUHP (Semester 2 saya tidak tau undang-undang yang lain kecuali KUHP, padahal undang-undang yang diberlakukan untuk pengendara motor adalah undang-undang LLAJ/Lalu lintas dan angkutan jalan) dan jelas pasal 365 KUHP tidak membahas mengenai plat nomor.
Karena memang benar-benar tidak tau, saya berasumsi bahwa polisi tersebut telah mengarang pasal. Saya segera memberikan kode terhadap teman saya, polisi tersebut ternyata melihat kode saya. Kemudian dia langsung bicara ngalur ngidul mengenai negara. Sampai dia berkata "jangan dikira polisi memberhentikan orang iti akan menilang, kalian memang harus kritis, tapi gimana jadinya kalo semua harus ikut undang-undang". Kira-kira seperti itu. Saya sudah mulai merasa menang dan polisi tidak akan menilang karna memang pasalnya tidak ada. Tapi teman saya tetap mendebat akhirnya, polisi tersebut tetap berceramah kira-kira sejam lamanya. Setelah itu kita dilepaskan.
Bisa jadi polisinya memang mengarang pasal tentang plat nomor miring tersebut, asalnya pasalnya tidak ada. Bodohnya saya waktu itu ternyata masih diliputi keberuntungan. Pasal tentang LLAJ dicari di KUHP ya jelas tidak ada. Setidaknya bisa menggertak polisi yang mengira saya benar-benar mencari pasalnya di LLAJ. Ternyata si bodoh dan pembohong lebih menang si bodoh.
Jumat siang setelah kloter kedua tiba. Kita melanjutkan perjalanan dari Lumajang menuju Jember. Di Jember kita langsung menuju Kec. Kalisat. Kediaman salah satu teman yang sangat baik. Beliau adalah Gus Sofwan. Anaknya selalu ceria dan tidak pernah tebang pilih kawan. Sebelumnya saya benar-benar tidak tau dan bahkan tidak percaya bahwa dia berdarah biru. Orangnya tampak sangat biasa dan seakan selalu menutupi hal itu. Saya baru sadar ketika sampai di rumahnya. Dia mempunyai cukup banyak santri yang hormat terhadapnya. Sampai di sana, ibunya memanjakan kita dengan aneka ragam masakan. Yang sangat saya sukai waktu itu adalah sambel ijonya. Kebetulan saya belum pernah mencicipi sambel jenis tersebut sebelumnya.
Perjalanan selanjutnya adalah pantai Papuma. Sebagaimana rencana awal, kita akan nge-camp di sana. Sampai saat maghrib sebenarnya membuat saya agak merinding. Sebelumnya saya banyak mendengar tentang hal-hal mistis daerah ini. Namun alhamdulillah saat itu tidak terjadi apa-apa. (Dalam touring, beberapa kali saya mengalami hal aneh. Salah satunya ketika perjalanan menuju B-29 saat semester 5. Karena kondisi jalan macet di sekitar Pasuruan-Probolinggo. Akhirnya saya terpisah dengan rombongan yang ternyata lewat jalan alternatif. Kita hanya berempat (2 sepeda). Saat itu sekitar pukul 23.00. Kebetulan saya boncengan dengan teman yang cukup latah. Saat mulai memasuki kabupaten Lumajang. Saya melewati daerah yang sangat gelap. Saking gelapnya, saya merasakan bahwa lampu utama sepeda motor yang saya tumpangi tidak dapat menjangkau jalan di depan. Saya hanya terus melaju lurus. Seketika teman saya yang latah langsung berteriak bahwa di depan ada tikungan. Beruntung saya segera sadar dan kemudian banting setir. Alhamdulillah kita masih diberikan keselamatan. Seandainya saat itu saya tidak segera sadar, mungkin kita akan terjun ke jurang. Ketika perjalanan pulang, saya berniat mencari lokasi itu, namun saya tidak menemukan tikungan sejenis, kecuali daerah kuburan di pinggir jurang, tapi pencahayaannya cukup terang, tidak gelap seperti tikungan yang saya lewati saat perjalanan berangkat).
Ketika sampai di Papuma, kita menghabiskan waktu malam hari untuk sekedar bakar api unggun, menyanyi bersama, kemudian istirahat. Karena kita hanya membawa satu tenda, maka tenda hanya dikhususkan untuk tempat tidur cewek. Sedangkan yang cowok mengampar tikar untuk tidur di luar. Saat itu saya merasa sangat lelah. Namun mata sulit terpejam. Setelah terpejam, saya kembali bangun sekitar jam 3 pagi. Mencoba memejamkan berkali-kali tetap tidak bisa. Akhirnya saya putuskan untuk ngopi di salah satu warung, sekaligus bercengkrama dengan pemiliknya. Saya termasuk beruntung, karena kopi yang disajikan merupakan salah satu kopi ternikmat yang pernah saya minum. Sampai saat ini. Makannya cerita kopi ini saya masukkan dalam narasi tulisan ini, karena sampai sekarang rasanya yang pahit legit masih terngiang. hehe
Pagi hari setelah bersenang-senang di pantai, kita bergerak menuju bukit Gumitir. Sebenarnya kita agak ragu untuk melanjutkan perjalanan ke sana. Di samping tempatnya tidak begitu bagus, makanan di sana katanya juga mahal. Kita sempat ingin berbelok saja ke air terjun, tapi karena untuk menuju ke sana harus berjalan kaki agak jauh, sedangkan rombongan terdiri dari beberapa cewek, akhirnya kita putuskan tetap ke Bukit Gumitir. Perjalanan dari Papuma ke Gumitir cukup jauh. Sebelum tiba di jalan-jalan berbukit, kita putuskan untuk istirahat sejenak. Makan di warung pinggir jalan.
Memasuki bukit Gumitir, terlihat jalan dengan tikungan yang tajam dan diapit oleh bukit dan jurang. Tikungan melenggok ke kanan dan ke kiri. Setelah melewati beberapa tikungan, salah seorang teman berkata bahwa kita hampir sampai. Hanya tinggal 3 tikungan saja. Saat itu ketika saya melihat ada tikungan ke kiri, salah seorang teman mempercepat laju kendaraannya. Kebetulan secara tiba-tiba, dari arah berlawanan ada mobil kijang putih (kendaraan seakan muncul secara tiba-tiba karena di depan terhalang oleh perbukitan di sebelah kiri jalan). Dalam kondisi tikungan, kendaraan yang melaju agak cepat biasanya akan cukup sulit diarahkan dengan tepat (biasanya posisi kendaraan tidak stabil). Akhirnya sepeda teman tersebut tabrakan pas di bemper sebelah kanan bagian belakang mobil kijang putih.
Kondisi sepedanya rusak parah. Tidak bisa dijalankan. Bahkan sekedar dituntun pun juga tidak bisa. Sedangkan bagian belakang kijang hancur. Karena kondisinya di perbukitan, hanya sedikit warga yang berdatangan. Salah satu warga menyarankan agar masalah segera diselesaikan, karena di jalan tersebut biasanya banyak patroli polisi. Kalau sudah masuk ke ranah polisi, dalam posisi benar atau salah, masalahnya akan semakin rumit.
Cidera kedua teman saya terlihat tidak begitu serius. Hanya kaki si driver yang sedikit luka, ikat pinggangnya juga melekat, tidak bisa dilepas. Sedangkan kondisi yang bonceng, sama sekali tidak apa-apa. Katanya, dengan laju cepat kendaraan, dalam keadaan menikung seperti itu, dia sudah mengantisipasi kemungkinan adanya kecelakaan. Setelah memastikan kondisi kedua teman tidak apa-apa. Kita segera bergegas menyelesaikan masalah selanjutnya, Sebagaimana saran warga desa. Kita segera menuju bapak-bapak China pemilik mobil kijang putih. Dia dari tadi hanya melihat kondisi mobilnya yang rusak. Mukanya tampak datar, mungkin karena belum percaya apa yang telah terjadi.
Setelah kita dekati, dia langsung marah dengan nada tinggi. Karena agak emosi, kita juga membalas dengan nada tinggi, tidak mau kalah. Sebenarnya saat itu saya tau bahwa teman sayalah yang melewati marka jalan, sehingga menabrak bamper belakang mobilnya. Makannya saat itu kita ingin menyelesaikan dengan baik-baik dan minta maaf. Ternyata sikapnya yang marah dengan nada tinggi itu juga merubah sikap kita. Setelah beberapa kali berkomunikasi, orang tersebut mulai agak menyingkir. Kebetulan dia bersama dengan istri dan anaknya. Istirnya selalu memaksanya untuk masuk ke mobil dan segera meninggalkan lokasi saja (Asumsi saya, dia takut karena jumlah kita yang lumayan banyak). Beberapa saat setelahnya pemilik kijang putih tadi masuk ke mobil, lalu pergi tanpa menuntut apapun. Awalnya saya hanya bengong ketika melihatnya pergi begitu saja. Gumam saya, bisa jadi memang dia adalah orang yang berbaik hati sehingga tidak meminta ganti rugi, atau mungkin karena takut, atau bisa jadi dia sedang ingin melapor polisi. Dengan kepergiannya, kita sangat bersyukur. Seandainya dia menuntut ganti rugi, ditaksir kerugiannya lebih dari 5 juta. Kita tidak tau harus membayarnya dengan apa.
Setelah masalah kedua selesai (masalah pertama adalah kondisi cidera teman kita). Kita mulai bingung bagaimana cara menurunkan sepeda motor yang sama sekali tidak bisa dijalankan. Kondisi bannya sudah ringsek. Sedangkan kita berada di atas bukit yang cukup jauh dari pemukiman. Tiba-tiba datang supir mobil box indomaret. Dia berhenti dan bertanya perihal yang terjadi. Karena saya yakin bahwa dia orang Madura (saya tau dari logatnya), akhirnya saya jawab dengan bahasa Madura. Ternyata benar dia orang Madura. Setelah berbicara ini itu, akhirnya dia menawarkan agar sepeda yang ringsek itu dimasukkan ke dalam mobil box-nya. Dia akan mengantarkan langsung ke bengkel di kota Jember. Kita memutuskan untuk membatalkan perjalanan ke Gumitir dan mengikuti mobil box tadi ke bengkel. Teman yang cidera juga kita titipkan agar ikut mobil box itu saja.
Sampai di bengkel ternyata pengerjaan sepeda tidak bisa langsung selesai hari itu juga. Di samping itu, butuh biaya sekitar Rp. 750.000 agar bisa dibenarkan seperti kondisi baru. Sedangkan waktu itu, meskipun dikumpulkan, uang kita tidak cukup. Kemudian Gus Sofwan menggadaikan laptopnya, dia yang membayar untuk sementara uang kerusakan. Dan alhamdulillah selesailah masalah ketiga. Malam harinya, kita putuskan untuk menginap di salah satu kontrakan mahasiswa UNEJ. Saya juga mulai browsing mengenai informasi lokasi kecelakaan. Ternyata banyak disebutkan bahwa tempat tersebut memang angker. Di samping bekas pembuangan kepala di jaman kolonial, tempat itu juga dijaga makhluk yang konon berbentuk naga, demikian juga ada beberapa cerita lain mengenai kecelakaan yang pernah terjadi. Kemudian besoknya, kita kembali ke Surabaya. Di Jember hanya tinggal Gus Sofwan yang dengan ketulusannya setia menunggu sepeda yang ringsek. Setelah selesai, dia sendiri yang membawanya ke Surabaya.
Tulisan ini merupakan tulisan untuk mengenang kebaikan-kebaikan Gus Sofwan. Sosok baik hati yang telah meninggalkan kita semua. Semoga amalnya diterima dan segala dosanya diampuni. Al-Fatihah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar