Equating The Perception: Solusi Semua Lini Pertembakauan di Indonesia

Tulisan ini dihasilkan dari Research online.

Tembakau merupakan bahan non pokok utama yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. Tercacat pertama masuk ke Nusantara pada sekitar abad ke 16 yang dibawa oleh bangsa Portugis. Sampai saat ini apabila mendengar kata “tembakau”, maka biasanya yang akan muncul adalah rokok. Tidak heran karena selama ini tembakau memang selalu dikaitkan dengan industri rokok. Padahal tidak semua hasil pertanian tembakau masuk pada industri rokok, melainkan juga masuk pada industri farmasi dan pupuk. Karena memang salah satu manfaat terbesar tembakau adalah sebagai obat-obatan dan pupuk. Dalam industri farmasi, tembakau biasa digunakan sebagai bahan dasar membuat obat seperti: obat nyamuk; obat kutu; sakit pilek; sakit gigi; untuk obat kanker; dan lain-lain. Di bidang pertanian, tembakau juga biasa digunakan sebagai pengusir ulat pada tanaman; mengatasi lipan; pengusir laba-laba; mengurangi bisa gigitan; dan lain-lain.

Dengan manfaat dan minat masyarakat untuk mengonsumsi hasil olahan tembakau yang cukup besar ini, tentu juga harus dibarengi dengan produksi yang cukup. Kenyataannya, sebagian besar hasil pertanian tembakau lebih banyak masuk pada industri rokok, sehingga industri farmasi dan pupuk selalu merasa kekurangan jatah produksi. Hal ini menyebabkan industri farmasi melakukan upaya-upaya agar problematika tersebut dapat teratasi. Salah satunya adalah selalu getol mengampanyekan bahaya rokok. Kampanye yang dilakukan adalah menyatakan bahwa rokok mengandung bahaya yang sangat besar dan sedikitpun tidak boleh didekati. Bahkan digambarkan bahwa siapapun juga harus menjauh dari para penikmat rokok.

Tujuan dari kampanye itu tentunya baik, untuk menggencarkan hidup sehat tanpa efek nikotin, tar dan bahan bahaya lain yang terkandung dalam rokok. Namun dibalik itu semua ada makna tersebumnyi, yang salah satunya adalah upaya agar para penikmat rokok bisa mengurangi konsumsi rokok sehingga industri rokok akan mengurangi produksi. Pada akhirnya industri farmasi akan mendapat lebih banyak suplai tembakau.

Perang kampanye yang dilakukan oleh industri farmasi yang cenderung berlebihan ini menyebabkan citra tembakau semakin buruk dalam pandangan masyarakat, khususnya yang anti terhadap rokok. Hal ini berimbas pada banyaknya tekanan- baik dari internal dalam negeri maupun internasional- terhadap para eksekutif pemerintahan untuk memperketat regulasi mengenai pertanian tembakau dalam negeri. Seperti program pengendalian produksi tembakau melalui aksesi FTCT (Framework Convention on Tobacco Control), yang mengatur produksi tembakau harus sejalan dengan pengendalian produksi rokok, diikuti penyeimbangan penawaran dan permintaan.

Tekanan terhadap pemerintah tersebut tentunya membuat pemerintah semakin dilematis untuk mensupport pengembangan pertanian tembakau. Di satu sisi pemerintah terlanjur menikmati pemasukan dari cukai rokok yang pertahun bisa mencapai para angka 140 Triliun Rupiah. Di sisi yang lain pemerintah tidak ingin mendapat stempel sebagai pemerintah yang menjerumuskan masyarakatnya sendiri dengan tidak merealisasiakn regulasi yang ketat terhadap pengendalian insdrusri rokok. Hal ini tentunya sangat merugikan para petani tembakau. Imbas dari citra buruk tersebut, sampai saat ini sebagian besar petani tetap memakai cara konservatif dalam menggarap tanahnya. Tidak adanya bantuan penyuluhan dan fasilitas dari pemerintah juga menjadikan produksi tembakau stagnan bahkan cenderung menurun di tengah permintaan yang semakin melonjak.

Dampak lainnya adalah diharuskannya impor tembakau oleh para industri pabrikan rokok. Dengan adanya impor, petani tembakau akan semakin merugi, mengingat harganya yang akan semakin menurun. Dalam jangka panjang, fenomena tersebut akan menimbulkan estafet effect yang jika dibiarkan akan berimbas pada semakin berkurangnya minat petani untuk menanam tembakau.
Menurut Muhaimin Moeftie, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dalam wawancara oleh salah satu media nasionala mengatakan bahwa satu tahun itu membutuhkan produksi rokok sekitar 340 miliar batang, atau sama dengan 340.000 ton tembakau. Sedangkan produksi tembakau dalam negeri hanya mencapai kisaran 200.000 lebih. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, semester satu 2017 impor mencapai 256,6 juta dollar dengan volume 50.700 ton. Mengalamai kenaikan di periode sama di tahun sebelumnya yakni hanya 241,6 juta dollar dengan volume 37.600. Import terbesar Berasal dari 5 negara, Cina, Brasil, Amerika Serikat, Turki dan India. Namun apabila impor dilarang dengan seketika, industri rokok akan mengalami kekurangan pasokan yang akan berimbas pada pemberhentian buruh pabrik dan kerugian petani cengkeh yang selama ini menjadi backing daripada industri rokok di Indonesia.

Dengan naiknya tuntutan produksi tembakau tersebut, seharusnya pemerintah juga melakukan upaya-upaya yang dapat membuat petani tembakau semakin produktif. Bukan malah membuat regulasi-regulasi yang merugikan para petani. Adapun mengenai problematika program meminimalisir efek samping nikotin dalam rokok sebagaimana yang selalu dikampanyekan oleh industri farmasi, seharusnya dilakukan dengan sosialisasi-sosialisasi yang obyektif. Apabila masyarakat bisa mengerti mengenai dampak nikotin rokok, maka secara tidak langsung produksi industri rokok akan menurun secara perlahan, dan dampak yang ditimbulkan tidak begitu terasa. Sehingga citra tembakau tidak terlalu buruk dan hasil produksi tembakau juga bisa lebih menyentuh terhadap industri farmasi dan pupuk.

Solusi terbaik agar produksi tembakau semakin produktif tanpa merugikan petani tembakau dan masyarakat umum adalah melaksanakan program kemitraan antar berbagai pihak, meliputi petani, pemerintah dan pelaku industri. Program kemitraan ini tentunya akan membantu terhadap kualitas produksi tembakau. Penyuluhan-penyuluhan dan bantuan fasilitas harus dilakukan oleh pemerintah terhadap para petani tembakau. Disamping itu, harus dibentuk kemitraan produksi antara petani tembakau dan pelaku industri dengan pemerintah sebagai fasilitator. Dengan demikian, kualitas dan produksi tembakau lokal akan maksimal. Sehingga pelaku industri tidak akan ragu untuk menjadi tujuan utama suplai tembakau lokal. Pada akhirnya semua problem akan dapat teratasi, meskipun secara perlahan.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh