Dialog Tanpa Emosi

Dialog adalah proses penting dalam hubungan antar manusia. Hubungan antar manusia, bahkan antar negara sekalipun, bisa dibangun dan runtuh karena dialog. 

Manusia yang lebih cakap dalam berdialog akan lebih mudah bahagia dan sukses di masa depan. 

Networking sebagai salah satu media untuk menggapai kesuksesan sangat sulit tercapai tanpa teknik dialog yang baik. Perjodohan, bisnis, bahkan hubungan buruk atau tidaknya suatu negara bisa tergantung dari bagaimana mereka berdialog. 

Dialog akan menjadi kunci hidup manusia ke depannya. Sukses atau tidak. Bahagia atau tidak. Kaya atau miskin. Sangat tergantung dari bagaimana caranya berdialog. Sedangkan emosi adalah ruang dalam hidup berupa perasaan yang muncul karena suatu kejadian. 

Emosi dalam diri manusia bisa berbentuk senang, marah, takut dan lain sebagainya. Emosi dalam hubungan antar manusia seperti ketika seseorang berkata kasar pada orang lain maka dia akan marah.

Salah satu rupa dialog yang tidak baik adalah dialog yang tidak fokus pada subtansi permasalahan. Mereka terlalu melibatkan emosi dalam dialog. Seperti contoh, Ratna adalah teman dekat Rika untuk mengerjakan tugas bersama. Tatkala Ratna sedang nugas, Rika membuat kopi untuknya. Ternyata kopinya terlalu pahit. Dengan emosi Ratna protes. "Rik, kopinya kok agak pahit ya", dengan sedikit bercanda. 

Rika menimbali Ratna dengan emosi, “Rat, kalo kamu gak suka kopi yang saya buat, kamu buat aja sendiri. Aku udah susah-susah buatin kamu kopi. Tapi malah kayak gitu.“ akhirnya permasalahan semakin panjang, Rika ngambek dan agenda nugas bersama gagal. Dalam percakapan tersebut, ada pergeseran pokok topik antara si Ratna dan si Rika, yang awalnya protes mengenai kopi yang pahit menuju subjek pembuat kopi yakni Rika. Subtansinya dalah kopi yang pahit. Sering kali topik dialog manusia, tidak fokus pada subtansi melainkan subjek. 

Inilah yang kemudian banyak menimbulkan konflik di antara manusia dan menghambat peluang networking. Seandainya Rika sadar bahwa memang kopinya terlalu pahit, kemudian tanpa melibatkan emosi dia mencari tau kenapa kopinya pahit, itu akan menyelesaikan permasalahan saat itu juga. Bahkan si Ratna akan lebih menghargai Rika karena ketulusannya. 

Atau jika Rika memang merasa tidak setuju dengan sikap Ratna, maka dia bisa berdialog dengan baik yang tidak menunjukkan ekspresi emosi marahnya, semisal dia minta maaf dan Ratna bisa mengambil gulanya sendiri atau dengan kalimat lain yang tidak menunjukkan emosinya. 

Atau seandainya Ratna mengekspresikan emosi ketika tau bahwa kopinya pahit, bisa jadi Rika tidak akan marah. Semisal Ratna mengatakan pada Rika bahwa seleranya adalah kopi manis dan dia akan mengambil sendiri gulanya. Maka konflik tidak akan terjadi.

Melibatkan emosi dalam dialog seperti inilah yang kemudian meruntuhkan jejaring dan menghambat peluang-peluang antar manusia. Bisa jadi kelak Ratna atau Rika menjadi HRD di perusahaan yang diimpikan salah satu di antara mereka, atau sebelumnya mereka berdua adalah sosok yang saling membantu ketika yang lain ada masalah, karena emosi dalam dialog kopi, hal-hal tersebut hilang dengan seketika.

Contoh lain seperti pada saat perjalannya ke tempat kerja, mobil A tidak sengaja menyenggol mobil si B. Dari peristiwa itu, kemudian si B turun dari mobil, dia emosi dan memaki-maki si A, bahkan si B sampai memukul si A beberapa kali. 

Padahal, si A sudah mengakui kesalahannya dan bersedia mengganti rugi. Atas ulahnya itu si A akhirnya tidak terima kemudian melaporkan apa yang dilakukan si B ke pihak yang berwajib. Tingkah si B ini tentu sangat disayangkan, padahal seandainya si B mau berdialog dengan damai tanpa emosi, dia akan mendapatkan ganti rugi, bahkan bisa jadi dia juga akan mendapatkan laba dari asuransi. Tapi karena terlalu melibatkan dan mengekspresikan emosi marahnya, dia yang seharusnya beruntung malah merugi. Bahkan harus mendekam di penjara selama beberapa tahun.

Contoh-contoh di atas adalah contoh bagaimana dialog yang terlalu melibatkan emosi marah itu tidak baik. Kemudian bagaimana dengan emosi senang dan takut? Sejatinya sama saja. Terlau melibatkan emosi senang dalam dialog akan menjadikan pergeseran pokok topik dari subtansi dialog, apalagi emosi takut. Perasaab takut akan menyebabkan banyak problem tidak selesai. 

Masalah yang secara efisien teratasi dengan sangat mudah dengan dialog, karena ada perasaan takut akhirnya tak kunjung selesai. Padahal emosi takut dalam diri manusia tidak datang dari apapun kecuali pikirannya. Takut dan berani berada dalam posisi berdampingan yang dipisahkan oleh garis lurus. Garis lurus itu akan hilang dengan sendirinya dalam kondisi emergency. 

Contoh kecil bagaimana mahasiswa yang takut bersuara untuk menyuarakan pendapat ketika dosen bertanya kepada seluruh mahasiswa di kelas, tapi suara itu otomatis keluar ketika dosen menunjuknya, meskipun dengan gemetar. Artinya emosi takut memang datang dari diri sendiri yang tanpa bantuan siapapun manusia bisa mengatasinya sendiri. Emosi ini banyak menghambat kesuksesan sebagaimana mahasiswa yang takut menghadap seorang dekan karena suatu probelm. Padahal seandainya dia datang kemudian berdialog tanpa melibatkan emosi takut selayaknya dengan teman biasa, problem itu bisa jadi selesai seketika itu juga.

Hendaknya dalam dialog manusia tidak terlalu mengedepankan emosi. Fokus pada subtansi dan pokok permasalahan yang dituju. Jika kemudian pokok topiknya adalah kopi yang pahit, maka fokusnya adalah bagaimana menjadikan kopi itu tidak pahit, apakah dengan menambahkan gula atau menggantinya dengan kopi baru. Atau jika topiknya adalah mobil yang rusak dan harus ada uang ganti rugi karena kerusakan, seharusnya fokus dialog harus tertuju ke sana, dengan tanpa terlalu melibatkan emosi marah yang kerap kali hanya akan menjadikan permasalahan semakin runyam. Atau jika pokok masalahnya adalah dia punya problem di perkualiahan dan solusinya harus menemui dekan, maka dia harus berdialog dan menyingkirkan rasa takutnya, maka problem akan selesai.

Dengan contoh-contoh di atas bukan berarti emosi itu dilarang dalam dialog. Emosi dibutuhkan karena tanpa emosi manusia akan kaku. Emosi tidak akan pernah luput dalam diri manusia, namun yang terpenting bagaimana manusia bisa menakar dan mengekspresikan emosi itu di waktu dan tempat yang tepat. Seperti meluapkan emosi kesedihan dengan curhat dan menangis kepada teman dekat ketika sedang menghadapi masalah, karena hal itu akan membuang sampah-sampah emosi di alam bawah sadar yang jika dibiarkan akan meledak. Atau emosi rasa takut ketika manusia tau bahwa harus berhadapan dengan hal yang sudah terjadi secara ril. Karena emosi itu akan menjadi bahan pertimbangan objektif dalam membuat keputusan.
 
Fokus pada subtansi dan pokok topik permasalahan bukan berarti manusia harus berfikir sangat panjang. Ada suatu cerita, ada seorang anak muda yang kebetulan tempat duduknya berdampingan di kereta. Karena tidak punya jam tangan kahirnya dia bertanya kepada seorang bapak-bapak di sebelahnya. “Bapak sekarang jam berapa?” si bapak tersebut hanya diam. Pemuda itu bertanya lagi. “Bapak sekarang jam berapa?” sampai beberapa kali pertanyaan, si bapak masih diam hanya fokus pada korannya. Akhirnya si anak muda itu memukul korannya dan menegur si bapak. “Bapak ini sombong sekali ya. Saya cuman tanya jam malah gak dijawab.” 

Dengan emosi bapak itu menjawab, kalo saya menjawab pertanyaanmu sekarang jam berapa, kamu pasti akan melanjutkan dengan pertanyaan, saya mau kemana, dan itu terpaksa harus saya jawab. Kemudian kamu akan bertanya lagi saya namanya siapa, tepaksa harus saya jawab. Kamu tanya lagi saya rumahnya dimana, terpaksa harus saya jawab. Sampai kemudian kita akan mengobrol mengenai keluarga, kamu bercerita tentang keluargamu dan saya terpaksa harus bercerita mengenai keluargaku. Kemudian kamu akan tau jika aku punya anak perempuan yang cantik, kamu akan tertarik, lalu pacaran dengannya. Padahal saya tidak akan pernah memberikan puteri saya kepada pemuda yang bahkan jam pun tidak punya.

Dialog adalah media yang sangat penting untuk memperoleh kebahagiaan hidup, yang bisa jadi bentuknya adalah kesuksesan, kaya raya, jabatan dan yang lainnya. Dialog dapat menjadi kunci dalam menggapai hal tersebut. Oleh sebab itu diperlukan kiat-kiat yang baik dalam berdialog, salah satu caranya adalah dengan tidak begitu melibatkan emosi. Biarkan dialog mengalir begitu saja sebagai kedudukannya media yang menghubungkan antar manusia. Bukan sebagai media mengekspresikan emosi yang ada di dalam diri. Emosi punya tempat dan waktu sendiri untuk diekspresikan.

correct me if I have some mistakes!

Share:

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh