Pengalaman menjadi Volunteer di Negeri Gajah Putih (PART 2)

Lanjutan....

Sehabis isya' kita baru sampai di sekolah. Saat itu saya agak capek, jadi cuma melihat sekolah dengan sekilas saja. Yang jelas, sekolahnya agak besar, tapi di kampung. Saya dibawa ke suatu tempat dimana di sana ada bangunan yang tidak begitu besar. Saya baru tau kalo itu bangunan khusus untuk guru. Di bangunan itu dibagi dua sekat. Satu bangunan untuk guru asli sana. Dan di sebelahnya khusus untuk saya, atau guru luar, katanya. 

Saat itu saya disambut banyak sekali murid. Mereka masih memakai jubah, sebagian memakai sarung dan berkopyah. Nampaknya baru selesai sholat isya'. Mereka melihat saya. Saya turun dari mobil sambil menurunkan barang-barang.

Kesan saya ketika melihat sekitar adalah sekolahnya luas sekali. Ada lapangan sepak bola. Gedung sekolahnya juga lumayan besar. Tapi ada beberapa gedung yang hanya berupa bangunan yang berjejer layaknya sekolah-sekolah di Indonesia.

Ada masjid yang cukup besar. Lebih besar dari masjid kampung tempat saya sholat barusan. Kebetulan bangunan tempat saya tinggal itu pas di samping masjid. Di belakang masjid dan belakang bangunan yang akan saya tinggali itu nampaknya seperti hutan, atau jurang. Entah, saya tidak tau pastinya saat itu. Yang jelas, banyak sekali pohon, juga gelap.

Turun dari mobil,saya diantar ke tempat saya. Awalnya saya agak ngeri jika harus tinggal sendiri di bangunan itu. Karena belakangnya itu hutan. Setelah masuk, ternyata di dalam ada cowok agak tinggi, berpenampilan rapi, anggap saja namanya mas A. Dia nampak sibuk di depan laptop. 

Tahu saya datang, dia langsung berdiri menyambut. Mas A nampaknya sosok yang baik hati. Saya kira dia juga murid di sana. Ternyata tiba-tiba dia berbicara dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Saya agak lupa apa dikatakan pertama kali. Tapi yang jelas dari sana saya tau bahwa dia berasal dari Pamulang. Dia lulusan salah satu kampus besar di Jogjakarta. Berada di sana sebagai guru internasional.

Saat itu saya bersyukur sekali. Ternyata saya tidak sendiri. Alhamdulillah. Ada orang Indonesia lagi di sekolah itu. Dan dari dia juga saya tahu bahwa ada orang Indonesia lagi bersama dia. Seorang cewek, mbak L, asli Jogja dengan program dan kampus yang sama dengan mas A. 

Mas A juga cerita kalo di sekolah itu juga ada orang Filipina yang juga mengajar di sana. Guru-guru juga banyak yang alumni Universitas di Indonesia. Jadi banyak yang sudah mengerti bahasa Indo. Dari situ saya sangat bersyukur karena bayangan bahwa saya akan sulit berkomunikasi dan hanya hidup sebagai orang Indonesia sendiri ternyata salah. Ada banyak orang Indonesia atau setidaknya yang bisa bahasa Indonesia.

Tiba di sana, ada seorang murid yang langsung mengantarkan kasur untuk saya tidur. Alhamdulilah. Badan saya yang capek pada saat itu rasanya memang sangat butuh sekali kasur. Tapi karena sudah melalui perjalanan yang agak panjang barusan, saya mandi dulu sebelum tidur.

Karena di kampung, nampak jelas air yang digunakan untuk mandi itu bukan kayak yang PDAM di Surabaya. Bukan pula seperti air sumur di Madura. Itu semacam air bor yang langsung ngambil dari tanah. Jadi semacam masih ada keruh-keruhnya. Tapi no problem yang penting air alami dan bisa diambil bersih-bersihnya.

Sekolah tempat saya ini adalah sekolah asrama. Para muridnya disediakan kamar khusus untuk menginap. Hampir semuanya memang wajib menginap, kecuali hari libur. Hari liburnya pun hari Jumat dan Sabtu. Karena memang sekolah itu sekolah swasta yang cenderung ke agama. Kalo di Indonesia mungkin mirip pondok pesantren. 

Muridnya cukup banyak. Jika berkumpul semua, isi masjid full. Jika negara, sekolah itu layakanya negara yang berkembang seperti Indonesia, Korea dll, bukan taraf negara maju sepeti Amerika, Jerman, dll.

*sekolah khampee dari arah timur. Di sebelah masjid itu adalah bangunan tempat saya menginap. Belakangnya hutan dan jurang.

*Sekolah khampee dari arah selatan.

*sekolah khampee tingkat Annuban (TK)

*Di belakang itu adalah bangunan tempat saya tinggal selama 4,5 bulan di sana

Sekolah khampe ini terdiri dari beberapa tingkatan. Mulai dari Annuban (TK), PRATHOM (SD) sampai MATAYUM (SMP-SMA). Hanya murid di tingkat MATAYUM saja yang diharuskan menginap. Sedangkan di tingkat di bawahnya biasanya mereka pulang pergi. Bahkan tingkat Annuban dan prathom ini makan siang juga disiapkan pihak sekolah. Sedangkan tingkat MATAYUM biasanya murid-murid beli. Jam sekolah ialah dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Kebetulan saya diberikan kesempatan mengajar di MATAYUM. Jadi Alhamdulillah. Karena saya tidak begitu telaten mengajar anak kecil. Di Atthohiriyah saja dulu, saya memang lebih nyaman ngajar bagian dewasa. Ya orang tentunya beda-beda.

Besok harinya saya tidak langsung mengajar. Kholi memberikan waktu saya untuk istirahat terlebih dahulu. Lumayan, meskipun sudah istirahat di resort sebelumnya, tapi badan masih agak capek naik bis setelah melalui perjalanan yang agak panjang. Saya gunakan waktu itu untuk bersosialisasi, berkenalan dengan orang-orang terdekat. Khususnya para guru.

Dari sana saya kenal Abah. Abah ini adalah pemilik sekolah yang besar ini. Beliau  pewaris dari Haji Romli. Haji Romli adalah pendiri awal sekolah. Awal mula bersalaman dengan Abah di masjid saya kira beliau adalah orang kampung biasa yang sedang sholat di majsid sekolah. Saya belum sadar kalo beliau adalah pemilik sekolah. Tapi lama-lama, saya baru tau, karena yang menjalankan roda kepemimpinan sekolah semuanya adalah putra-putri beliau.

Beliau sangat ramah dan sering main ke tempat saya. Beliau juga adalah lulusan Bandung. Saya lupa universitasnya. Istri beliau juga keturunan Minangkabau. Yang jelas, kebetulan Abah agak klop dengan saya. Sebab beliau sangat suka berbicara mengenai politik, khususnya politik Indonesia. 

Kebetulan pada saat itu sedang ramai masalah Ahok di Jakarta. Jika datang ke kamar, beliau biasanya langsung memancing saya berbicara mengenai politik. Berbeda dengan teman sekamar saya, mas A, yang tidak begitu tertarik dengan politik. Awalnya, saya agak bingung darimana Abah dapet informasi mengenai politik Indonesia. Apa dari medsos atau apa. Tapi lama-lama, setelah saya beberapa kali masuk ke rumahnya, ternyata beliau memang punya tv khusus yang memang selalu menonton channel Indonesia. 
*Abah berkoko putih yang berjenggot

Saya dikasih gaji dan dikasih beras setiap bulan. Itu memang jatah wajib sesuai MoU. Mas A ini mendapat gaji yang cukup besar. Karena statusnya guru profesional. Sedangkan saya hanya volunteer. Tapi tetap saya kasih join dia beras. 

Sayangnya, WiFi sekolah jaraknya tidak Sampai ke tempat saya. Tapi Alhamdulillah fasilitas yang saya dapat di sana cukup baik. Meskipun jika dibandingkan dengan teman-teman saya yang lain, pasti ada kekurangan. Khususnya masalah WiFi itu. 

Kebetulan, saat itu, kita 74 volunteer, hanya bisa komunikasi via wa grup. Kita sering sharing mengenai keseharian dan fasilitas yang kita dapat. Dari sana saya tahu bahwa ada teman yang ditempatkan di sekolah yang letaknya di kota, dimana mobilitas dan fasilitas oke. Ada yang ditempatkan di suatu pulau terpencil daerah Krabi. Ya Krabi, surga wisata Thailand yang mashur karena keindahan alamnya. Ada teman yang diletakkan di rumah khusus di suatu kompleks. Ada yang tinggal di kamarnya para muridnya sendiri. Macam-macam. 

Dari sana kadang saya merasa iri. Dalam hati saya, kenapa saya harus ditempatkan di desa seperti ini. Hampir semua dari mereka menikmati fasilitas wifi. Bagi yang cowok dapat fasilitas motor. Tapi saya tidak. Karena tidak ada motor, saya agak susah untuk mobilisasi. Jadinya setiap mau keluar harus pinjam sepeda motor salah seorang guru. Tapi entah kenapa, padahal saya tidak pernah mengeluh atau bebicara mengenai ini, beberapa lama kamudian saya diberikan fasilitas motor khusus.

Seiring berjalannya waktu, saya jadi sadar bahwa bisa jadi mereka yang menurut saya nyaman, sebenarnya ada punya satu sisi ketidak-nyamanan yang tidak saya ketahui. Ternyata asumsi saya benar. Ada mereka yang ditempatkan sendiri di sekolah yang lokasinya agak ke utara Thailand. Hampir semua orang lokal berbahasa Thai. Tidak pakai bahasa Melayu. Biasanya mereka yang berlokasi ke provinsi yang agak ke Utara ini memang populasi orang Melayu tidak begitu banyak. Jadi sehari-hari dia memakai google translate yang pakai voice. Sampai mengajar pun harus pakai google translate. Jadi benar-benar terasingkan. 

Ada juga yang hanya tinggal sendiri. Tinggal di sekolah yang bukan sekolah asrama. Tidak ada murid yang menginap. Jadi dia layaknya penjaga sekolah. Untung saja dia pemberani orangnya. 

Ada juga seorang teman yang tinggal serumah dengan orang Budha. Dia tinggal layaknya anak angkat dari orang Budha tersebut. Untungnya, orang Budha ini sangat baik. Tetapi di suatu saat teman saya ini pernah sangat panik karena merasa telah memakan daging babi. Eh ternyata bukan. Cuma salah sangka. 

Pada akhirnya, dia dipindahkan ke salah satu asrama pondok yang ditempatinya hanya untuk menginap. Adapun mengajarnya, tetap di sekolah Budha. Pokoknya macam-macam lah keadaan kita waktu itu. Positif dan negatif. Dengan berkiblat ke sana, setidaknya saya jadi agak bersyukur.

Sampai tiba waktunya saya sudah dikasih jadwal mengajar di sekolah. Saya sampai di sekolah jam 07:40. Kebetulan setiap hari, pada jam 07:45, dilaksanakan upacara. Upacara layaknya di Indonesia. Berbaris sambil bernyanyi lagu khas sekolah. Lagu khas sekolah hampir mirip dengan lagu aktivis mahasiswa, buruh tani. Tapi beda lirik saja. 

Kemudian diteruskan dengan langsung kebangsaan Thailand sambil menaikkan bendera. Itu dilakukan setiap hari. Nampaknya itu memang kebijakan pemerintah Thailand. Setelah ada pengumuman dari pihak sekolah. Saat waktu pengumuman itu saya diberikan kesempatan untuk memperkenalkan diri. Ketika berkenalan saya pakai bahasa Indonesia biasa dengan sedikit logat Melayu. Saya tidak tau mereka paham atau tidak. Yang jelas saya tidak begitu banyak bicara karena takut mereka tidak paham. 

Setelah saya selesai, seperti biasanya, para murid berjalan berbaris sambil bersalaman ke para guru. Murid perempuan salaman ke guru perempuan, yang laki-laki ke guru laki-laki. Itu dilakukan setiap hari. Bagi murid yang telat, ada hukuman yang biasanya diberikan oleh OSIS atau guru. Biasanya hukumannya adalah push up.
*Suasana upacara yang dilakukan setiap pagi

*ketika pertama kali memperkenalkan diri

*murid dihukum push up karena telat

Di waktu itu saya banyak berkenalan dengan orang-orang, khususnya para guru. Dari sana memang ada beberapa guru lulusan Indonesia. Yang saya tahu ada 3. Kemudian ada juga lulusan negara lain seperti Mesir, dan sebagainya. Saya punya jam mengajar hampir setiap hari. Tapi tidak full seharian. Disela-sela senggang itu biasanya saya gunakan untuk ke kantor bagian atas. Tempat saya dan guru-guru nongkrong. Atau jika malas, saya kembali ke bangunan tempat saya tinggal.
Share:

Pengalaman Menjadi Volunteer di Negeri Gajah Putih (Part 1)

Entah kenapa akhir-akhir ini saya ingin menceritakan kisah-kisah masa lalu. Meskipun saya sadar bahwa dalam bercerita mengenai kisah yang dialami sendiri, seharusnya saya bisa menuliskan waktu itu juga. Ini agar pembaca bisa merasakan euforianya secara langsung. Karena akan ada banyak tragedi dan feeling-feeling yang akan masuk dalam tulisan, yang apabila ditunda, bisa jadi tragedi dan feeling tersebut akan terlupakan. 

Tapi seenggaknya tujuan saya menulis agar saya bisa mengingat kisah-kisah yang saya alami 3 tahun yang lalu. Walaupun mungkin tidak akan begitu detail layaknya ketika saya langsung menuliskannya.

Kali ini saya tertarik untuk bercerita pengalaman saya ketika menjadi volunteer di salah satu daerah yang belum saya tahu sebelumnya, bahkan saya tidak pernah mendengar kalo ada komunitas dan daerah seperti ini.

Kisah berawak ketika saya masih di program sarjana. Saat itu masih semester 5,  ada pengumuman bahwa kampus sedang melaksanakan program KKN Internasional. 

Dalam program ini mahasiswa akan ditugaskan ke dua negara, Thailand dan Malaysia. Saya yang memang sangat senang berpetualang tentu tertaik dengan program ini. Sejujurnya, saya bukan tertarik untuk mengabdi dan lain-lain, saya hanya ingin mencari pengalaman baru dan berpetualang.

Pihak kampus nampaknya cukup serius dalam menjaring mahasiswa yang akan dinyatakan lolos ke program ini. Karena cukup banyak proses dan langkah yang harus dilalui. Mulai dari tes pemberkasan dan motivation letter, tes praktek dan wawancara, kemudian tes psikologi. Peminatnya pun cukup banyak. 

Saya  lupa berapa peminat awal yang mendaftar. Yang jelas, saat tes wawancara, saya melihat cukup banyak peserta yang menjalani tes, pengujinya pun cukup banyak.

Pada saat itu, saya tidak terlalu menggebu-gebu bagaimana caranya saya bisa lolos. Sebenarnya ikut itu pun saya cuman penasaran, walaupun dalam hati saya ingin berpetualang. 

Itulah yang membuat saya nampaknya tidak percaya saat saya benar-benar sampai di Thailand nantinya. Agak kaget pada saat saya harus tinggal selama 4,5 bulan lebih sendirian. 

Ketika tes administrasi dan motivation letter, saya mengirim berkas seadanya. Di motivation letter saya juga hanya bercerita mengenai pengalaman saya sebagai pengajar dulu di Ath-thohiriyyah. Selebihnya, hanya keinginan biasa. 

Namun ternyata saya lulus pemberkasan, sampai akhirnya tes wawancara. Di tes wawancara, penguji saya waktu itu adalah seorang Dosen yang saya tidak kenal tapi familiar. Karena beliau biasa sholat di masjid kampus. 

Di tes, saya ditanya banyak hal tentang agama, disuruh menulis kalimat dalam Al-Qur'an yang beliau bacakan. Agak banyak pertanyaannya. Yang terakhir yang saya ingat sampai sekarang adalah pertanyaan mengenai politik. Lebih tepatnya bagaimana pandangan kita tentang situasi politik di negara tujuan. Saya jawab dengan simpel pada saat itu bahwa kita sebagai WNA tidak berhak untuk ikut campur dalam kemelut politik negara manapun, sambil saya sebutkan pasalnya.

Singkat cerita, ternyata saya dinyatakan lolos ke tahap selanjutnya. Tahap tersebut adalah assasement, tes psikologi. Tes tersebut kita hanya perlu menjawab pertanyaan sederhana, berkaitan kegiatan kita sehari-hari. Tapi pertanyaannya cukup banyak dengan waktu yang singkat. 

Tujuan tes itu adalah untuk mengetahui karakter kita. Di tes tersebut sebenarnya cukup mudah. Kita hanya perlu menyesuaikan visi misi kita terlebih dahulu sebagaimana visi misi organisasi penyelenggara. Kemudian tinggal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Tes itu tidak lebih hanya ingin mengetahui apakah karakter kita sesuai dengan sosok yang ingin direkrut di program tersebut. 

Karena memang pihak penyelenggara menginginkan sosok yang nantinya akan berangkat adalah mereka yang sesuai dengan visi misinya. Untungnya, tes psikologinya cuman itu. Bukan tes psikologi yang harus mengisi angka dengan cepat, tes menggambar, dll. Pada akhirnya, di kampus saya, dipilihlah 5 Orang untuk  berangkat ke Thailand.

Akhirnya Alhamdulillah saya dinyatakan lolos. Saya tidak tau ada pengaruhnya apa tidak dengan nilai, tapi saat itu nama saya ada di urutan teratas. 

Kemudian secara mendadak pihak kampus (internasional office) meminta saya untuk sesegera mungkin melengkapi dokumen. Pada saat itu saya langsung mengajak Khoirul menuju Madura. Untung saja saya sudah punya passport, jadi saya tidak begitu repot mengenai dokumen pribadi.

Masalah dokumen pemberangkatan ternyata yang agak rumit.  Sebenarnya jika tinggal di Thailand kurang dari sebulan, kita tidak perlu repot-repot urus visa, karena sesama negara ASEAN tidak perlu mengurus visa jika kunjungan hanya kurang dari sebulan. 

Karena kita 4 bulan lebih di Thailand, maka kita harus urus visa. Pengurusan visa itu butuh kesabaran. Karena tujuannnya harus jelas.  Jika kita bekerja di sana, maka ada visa khusus. 

Sedangkan kita di sana adalah pengabdian. Ada beberapa pihak penyelenggara yang bertanggung jawab, termasuk kementerian pendidikan Thailand, pihak perbatasan selatan Thailand, pihak konsulat Thailand dan Indonesia, pihak kampus, dll. Maka pihak konsulat Thailand yang di Surabaya harus menunggu terlebih dahulu surat keterangan dari beberapa pihak tersebut. Sementara itu, sesuai schedule, sebentar lagi kita harus berangkat. 

Akhirnya, kita putuskan untuk berangkat terlebih dahulu meskipun belum mengantongi visa yang resmi. Hanya berbekal passport 

Tibalah hari dimana saya harus berangkat ke bandara. Saya berangkat bersama keluarga. Ternyata di bandara ada beberapa teman Arrisalah yang rela meluangkan waktunya ikut mengantar saya. Padahal pada saat itu jadwal berangkat adalah subuh. Di bandara, saya bertemu dengan calon volunteer teman-teman sekampus dan calon volunteer lain dari beberapa kampus di Jawa timur yang kebetulan satu flight. 

Flight kita langsung menuju ke bandara Kuala Lumpur di Malaysia. Dipilihnya Malaysia karena memang sangat cocok, sebab kita volunteer dari seluruh Indonesia dijadwalkan bertemu di sana.

*saya dan teman-teman sekampus saya saat pemberangkatan di bandara

Ketika di bandara, sempat ada masalah di imigrasi (engkapnya baca di sini).
Tapi kita bisa mengatasi. Tiba di sana sekitar pukul 9 pagi dan kita harus menunggu kawan-kawan dari seluruh Indonesia sampai sore. Sore baru kita berangkat untuk menjelajahi sebelah selatan semenanjujg Malaysia dari Kuala lumpur sampai ke perbatasan sebelah Utara Malaysia. Tapi sebelumnya, kita sempat berhenti di masjid Putrajaya. Sekedar untuk foto-foto.

*di masjid Putrajaya, Malaysia.

Kita baru sampai di perbatasan antara Malaysia dan Thailand besok harinya, sekitar jam 12 siang. Saat itu beruntung tidak begitu ramai pelancong, sehingga proses di imigrasi agak lancar. Selepas dari imigrasi,  kita langsung berhenti di warung dan menikmati masakan Thailand untuk pertama kalinya. Tepatnya di daerah Sadao.

*berhenti makan di salah satu warung di Sadao, Thailand

Sadao ini masih mayoritas Melayu, tapi semua tulisan dan bahasa yang dipakai sudah berbahasa Thailand. 

Makannya saya sudah merasakan situasi yang berbeda ketika melangkah melewati imigrasi. Sebab, meskipun wajahnya Melayu dan wanitanya kebanyakan memaki hijab, tapi tulisan yang tertempel di dinding semuanya berbahasa Thailand. Di sana saya juga melihat ada banyak anak kecil Sadao yang sekolah di Malaysia. Menarik, sejak SD sudah sekolah di luar negeri. Hehe

*Pada ladies berfoto ria di perbatasan

Di sana kita cuma sebentar, setelah makan dan sebagian dari kita membeli SIM-card, bis kembali bergegas. 

Kali ini saya tidak tau akan menuju kemana. Sepanjang jalan saya hanya mengamati sekitar. Nampak wajah-wajah masih dipenuhi wajah Melayu layaknya orang Malaysia. Tapi banyak bangunan-bangunan Budha berupa patung, dll. 

Saat itu kita masih berada di wilayah provinsi songkhla. Bis terus melaju, agak lama, saya sudah jarang melihat bangunan ibadah orang Budha. Saya malah banyak melihat orang berjilbab dan laki-laki berjubah dan berkopyah putih, sebagian memakai sarung. 

Agak heran, serasa bukan di Thailand. Karena Thailand pikir saya kayak yang di film-film itu. Muka agak kecina-cinaan, putih, dll. Sampai akhirnya bis berhenti di salah satu minimarket untuk sekedar istirahat. Saat itulah saya baru melihat dengan jelas memang orang-orang di daerah ini banyak sekali memakai pakaian islami. Yang cowok bersarung atau berjubah, yang cewek berjilbab dengan rapi.

Cuaca di sana agak panas. Bis kembali melanjutkan perjalan. Agak lama kamudian bis berhenti di suatu resort. Saya baru tau kalo wilayah itu bernama provinsi Patani. Orang Melayu menyebutnya Fathoni. Orang Thai menyebutnya Pattani.

Di resort, kita menginap sekitar semalam. Hari pertama kita sekedar berkenalan dengan teman seluruh Indonesia yang jumlahnya sekitar 74. Kebetulan saya sekamar dengan teman-teman sekampus yang cowok, dan ketambahan satu anak Aceh. 

Saya sudah merasa klop dengan teman saya ini karena kebetulan sama-sama perokok dan suka kopi. Kita ngobrol di celah samping kamar. Keluar lewat jendela. Kebetulan resort itu hanya satu lantai. Teman saya ini juga memberi saya satu sachet besar kopi Gayo, kopi khas Aceh.

Malam harinya hanya cara seremonial biasa, sekaligus sebenarnya itu adalah malam perpisahan kita sebelum kita akan berangkat ke wilayah masing-masing. Kami berlima yang dari UINSA banyak menghabiskan waktu bersama. 

Kita adalah 3 cowok dan 2 cewek.  Kebetulan kita ditempatkan di provinsi yang berbeda, kecuali yang cewek, mereka satu provinsi. Saya di provinsi Yala, teman saya yang cowok di provinsi Naratiwat, cowok yang satunya agak jauh di Pattalung. Kemudian yang cewek sama-sama di Songkhla, tapi beda sekolah.

Singkat cerita, besoknya adalah acara seremonial di mana kita akan dipertemukan dengan perwakilan pihak sekolah yang akan membawa kita ke sekolahnya masing-masing.

Saya tidak tau sekolah saya itu akan seperti apa. Karena ketika saya seacrh di internet sekolah di wilayah Yala, keluarnya adalah sekolah dengan bangunan bambu yang sangat tradisional. Tapi saya sudah siap akan ditempatkan di mana pun. Karena semakin dipelosok, akan semakin memberikan pelajaran berarti bagi saya. Pikir say seperti itu. 

Tapi yang saya tau, nama sekolahan adalah Khampee Wityha School. Salah seorang pihak penyelenggara memberitahu saya bahwa arti dari Khampee itu Al-Qur'an. Dari sana saya berasumsi bahwa sekolah tempat saya adalah sekolah yang islami.

*acara seremonial di resort pattani

Pada saat acara seremonial. Saya  dipertemukan dengan perwakilan sekolah tempat saya. Orangnya ramah, berkopyah putih, muka Melayu. Belakangan saya tahu bahwa beliau adalah mudir di sekolah tersebut. 

Awalnya saya menyebutnya dengan Buya. Dia lancar berbahasa Melayu Malaysia. Sebab dia lulusan Pakistan dan punya banyak teman Melayu di sana. Saya tidak tau tempat sekolah saya ini di mana, saya hanya ikut saja. Selesai acara, Buya ini nampak agak terburu-buru, dia ingin langsung beranjak pulang. Sehingga saya langsung memasukkan koper saya ke mobil dan tidak sempat bersalaman ke teman-teman.

Sepanjang perjalanan, kita banyak mengobrol. Buya ini membawa salah seorang pelajar. Untungnya pelajar ini juga fasih berbahasa Melayu Malaysia. Katanya, dia pernah tinggal di Malaysia sebelumnya. 

Oh iya bahasa Thailand selatan itu sebenarnya juga bahasa Melayu. Tapi bahasa Melayu Utara. Agak berbeda dengan Melayu Malaysia. Ibarat bahasa Jawa mereka itu ngapak. Logatnya juga berbeda. Jadi agak sulit dimengerti.

Jalanan di Thailand cukup bagus. Jalanannya besar dengan sedikit kendaraan. Maklum populasi Indonesia dan Thailand agak jauh. Menyadari perjalanan sudah agak panjang dan tidak kunjung sampai. Saya coba bertanya ke Buya ini. Saya penasaran apakah sekolah tempat saya ini nantinya di desa atau di kota. Saya berbasa-basi hingga saya sudah tau bahwa sekolah ini letaknya di desa dan perjalanan masih agak jauh.

Mobil berhenti di suatu tempat. Saya kira bangunan itu tidak berbentuk sekolah. Tidak mungkin kalo sudah sampai. Ternyata iya. Kita berhenti di supermarket yang cukup besar. Saya diajak masuk. Di dalam, agak berbeda dengan Indonesia. Jika di Indonesia tempat sebagus ini biasanya dipenuhi orang-orang necis dan berpenampilan menarik. Ternyata di sana saya melihat orang berjubah dan bersarung. Saya jadi teringat di Madura. Dimana jika ke mall di Madura, pasti akan banyak orang bersarung seperti ini.

Buya ini ternyata membelikan saya beberapa  barang. Sembari menunggu di Buya ini selesai belanja, saya keluar mengajak si murid. Saat itu saya langsung memesan kopi. Kesan saya, kopi di sana cukup enak. Ketika Buya sudah selesai belanja. Baru kita melanjutkan perjalanan. Setelah itu saya baru tau kalo kita baru sampai di ibu kota provinsi. Kita masih harus melanjutkan perjalanan ke desanya.

Mobil terus melaju. Ketika Maghrib kita berhenti sholat di masjid pinggir jalan. Saya agak heran ketika melihat tempat wudhu-nya yang serupa dengan tempat wudhu di pondok saya. Tempatnya seperti bak mandi terbuka. Tempat wudhu seperti ini mungkin sudah tidak ada di masjid-masjid Indonesia. Adanya mungkin di pondok-pondok salaf yang masih konservatif. Di sana saya sadar kalo saya memang akan ditempatkan di kampung.

Setelah isya' kita baru sampai di sekolah. Saat itu saya agak capek, jadi cuma melihat sekolah dengan sekilas saja. Yang jelas, sekolahnya agak besar. Tapi di kampung. Saya dibawa ke suatu tempat di mana di sana ada bangunan. Saya baru tau kalo itu bangunan khusus guru. Di sana ada dua bangunan. Satu bangunan untuk guru di sana. Bersambung......
Share:

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh