Memahami Sejarah Al-Qur'an dalam 5 Menit

Dalam tulisan ini saya akan mengajak pembaca untuk memahami Sejarah Al-Qur'an mulai dari awal sebelum Nabi dilahirkan hingga termodifikasi. 


Nabi dan Al-Quran

Nabi Muhammad saw. dilahirkan di Makkah sekitar 570, di tengah-tengah keluarga atau klan (banû) Hasyim dari suku Quraisy yang pamornya ketika itu tengah surut. Ayahnya, Abdullah meninggal ketika beliau masih berada dalam kandungan ibunya, Aminah. Ketika berusia sekitar 6 tahun, ibunya menyusul kepergian ayahnya, dan si kecil Muhammad lalu diasuh kakeknya, Abd al- Muththalib, yang juga meninggal ketika ia berusia sekitar 8 tahun. 

Selanjutnya Nabi Muhammad diasuh pamannya, Abu Thalib, pemimpin banu Hasyim yang relatif miskin, tetapi terhormat. Orang inilah yang memberikan “perlindungan” kepada Nabi dan membelanya secara mati-matian dari berbagai tantangan berat yang diajukan pemuka-pemuka suku Quraisy terhadap agama baru yang didakwahkannya, sekalipun terlihat bahwa Abu Thalib sendiri tidak pernah menerima atau meyakini kepercayaan keponakannya. Solidaritas kesukuan, yang merupakan karakteristik asasi kode etik (muruwwah) suku-suku di Arabia, memang mengharuskan Abu Thalib melindungi dan menuntut balas atas setiap kerugian yang diderita Nabi Muhammad.

Kesetiakawanan kesukuan memang merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan liar di padang pasir. Tanpa suatu taraf solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapa pun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di tengahtengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam. Dalam taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang berpihak secara membabi-buta kepada saudara-saudara sesukunya tanpa peduli apakah mereka keliru atau benar. 

Secara politik Nabi Muhammad terlihat telah menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan di dalam masyarakat kota Makkah, khususnya pada tahun-tahun pertama aktivitas kenabiannya. Ia bisa bertahan hidup di kota ini, sekalipun dengan oposisi yang sangat keras, karena berasal dari banû Hasyim (suatu klan yang relatif cukup kuat di Makkah. Klan ini, berdasarkan prinsip solidaritas kesukuan, terikat kehormatan untuk menuntut balas atas setiap kerugian yang menimpanya, sekalipun banyak anggota klan tersebut tidak bersetuju dengan agama barunya. 

Sebelum mengajukan tawaran kompromi, orang-orang Quraisy telah berupaya melakukan negosiasi dengan Muhammad mengenai sejumlah masalah doktrinal yang diajarkannya: Jika Nabi memodifikasi ajarannya untuk mengakomodasikan dewa-dewa lokal mereka sebagai perantara-perantara manusia kepada Tuhan, dan barangkali menghapuskan gagasan tentang kebangkitan kembali manusia, maka mereka akan menjadi muslim. Tentang kebangkitan kembali, tidak ada kompromi yang bisa ditawarkan.

Pada 619, Khadijah dan Abu Thalib secara berturut-turut meninggal. Kepergian kedua orang ini merupakan suatu kehilangan yang sangat berat bagi Nabi. Ia kehilangan bantuan duniawi yang sangat penting baginya untuk mempertahankan kelangsungan misinya.
 
Pemimpin baru banu Hasyim, Abu Lahab, menarik perlindungan klannya atas Muhammad. Menghadapi situasi kritis semacam itu, Nabi berupaya mencari dukungan bagi perjuangannya dengan mengunjungi kota Thaif dan berdakwah di sana. Di kota tersebut, ia tidak hanya diperlakukan secara keji, tetapi juga dilempari batu, dan akhirnya terpaksa kembali ke Makkah. Hingga akhirnya Nabi hijrah ke Madinah.

Asal usul Al-Qur’an

Kitab suci kaum Muslimin, yang berisi kumpulan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun, secara populer dirujukdengan nama “al-Qur’an”. Sebagian besar sarjana Muslim memandang nama tersebut. Secara sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar) darikata kerja (fi‘l ) qara’a , “membaca.” Dengan demikian al-qur’an bermakna “bacaan” atau “yang dibaca” (maqrû’). 

Dua istilah lain di Al-quan ialah sûrah dan âyah.  Penggunaan surah di dalam al-Quran merujuk kepada suatu unit wahyu yang “diturunkan” Tuhan. bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini. Makna umum kata sûrah yang bisa disimpulkan di sini adalah unit wahyu terpisah yang diturunkan kepada Nabi dari waktu ke waktu.  Sedangkan ayah memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita dewasa ini tentangnya. 

Sehubungan dengan pewahyuan al-Quran, dikemukakan bahwa ia pertama kali diturunkan pada malam al-qadr. Sejumlah besar mufassir berupaya menginterpretasikan malam tersebut pada “hari bertemunya du  pasukan” – yakni bertemunya pasukan Islam dengan bala tentara Quraisy dalam Perang Badr – dan menetapkan tanggal 17 Ramadlan sebagai yang dimaksud oleh bagian-bagian al-Quran di atas. 

Proses turunnya Al-Qur’an ialah dengan beberapa cara seperti melalui) wahyu, dari balik tabir atau Allah mengutus utusan yang mewahyukan dengan seizinnya apa-apa yang Dia kehendaki. Penjelasan psikologis tentang pewahyuan al-Quran  mungkin merupakan salah satu penjelasan yang paling dapat diterima oleh akal pikiran modern. Dalam psikologi analitis atau psikologi kompleks, yang dirintis Carl Gustav Jung, fenomena wahyu atau pengalaman kenabian bisa dijelaskan lewat konsep heuristik tentang bawah sadar.

Di sini dipandang bahwa pesan Ilahi datang kepada Nabi dari bawah sadarnya; dan ini tentunya sejalan dengan pengalaman Nabi tentang pesan yang datang kepadanya dari luar dirinya, karena bawah sadar berada di luar diri dalam pengertian di luar akal yang sadar. 

Jadi, konsep heuristik membuka kemungkinan bahwa Tuhan dapat bekerja melalui bawah sadar seorang nabi. Lebih jauh, bawah sadar berkait erat dengan alam sadar dalam pengertian apa yang masuk ke dalam akal pikiran seseorang dari bawah sadarnya diungkapkan dalam istilah-istilah pandangan dunianya yang sadar, meski bawah sadar juga akan terlihat memiliki dinamisme batin yang menjangkau ke depan yang darinya pemikiran baru bisa muncul. 

Jika pesan al-Quran diterima akal sadar Nabi dari bawah sadarnya dalam cara semacam itu, maka hal ini akan bisa menjelaskan mengapa pesan ilahi itu diungkapkan dalam istilah-istilah mutakhir di kalangan orangorang Makkah dan pandangan dunia Arab ketika itu, serta bagaimana pesan tersebut mencerminkan inisiatif Ilahi.

Urutan turunnya Al-Qur’an versi kronologi Mesir

Ayat Makkiah
1. al-‘Alaq 96
2. al-Qalam 68 . ayat 17-33,48-50 Md.
3. al-Muzzammil 73 . ayat 10-11,20 Md.
4. al-Muddatstsir 74
5. al-Fatihah 1
6. al-Lahab 111
7. al-Takwîr 81
8. al-A‘la 87
9. al-Layl 92
10. al-Fajr 89
11. al-Dluha 93
12. Alam Nasyrah 94
13. al-‘Ashr 103
14. al-‘أdiyمt 100
15. al-Kawtsar 108
16. al-Takمtsur 102
17. al-Mم‘ûn 107
18. al-Kمfirûn 109
19. al-Fîl 105
20. al-Falaq 113
21. al-Nمs 114
22. al-Ikhlمsh 112
23. al-Najm 53
24. ‘Abasa 80
25. al-Qadr 97
26. al-Syams 91
27. al-Burûj 85
28 al-Tîn 95
29 Quraisy 106
30 al-Qمri‘ah 101
31 al-Qiyمmah 75
32 al-Humazah 104
33 al-Mursalمt 77. ayat 48 Md.
34 Qمf 50. ayat 38 Md.
35 al-Balad 90
36 al-Thمriq 86
37 al-Qamar 54. ayat 54 -56 Md.
38 Shمd 38
39 al-A‘rمf 7. ayat 163-170 Md.
40 al-Jinn 72
41 Yم Sîn 36. ayat 45 Md.
42 al-Furqمn 25 . ayat 68-70 Md.
43 Fمthir 35
44 Maryam 19 . ayat 58, 71 Md.
45 Thم Hم 20 . ayat 130-131 Md.
46 al-Wمqi‘ah 56 . ayat 71-72 Md.
47 al-Syu‘arم’ 26 . ayat 197, 224 -227 Md.
48 al-Naml 27
49 al-Qashash 28 . ayat 52-55 Md, 85 waktu hijrah
50 al-Isrم’ 17. ayat 26, 32-33, 57, 73-80 Md.
51 Yûnus 10 . ayat 40, 94-96 Md.
52 Hûd 11 . ayat 12, 17, 114 Md.
53 Yûsuf 12 . ayat 1-3, 7 Md.
54 al-Hijr 15
55 al-An‘مm 6. ayat 20,23,91,114,141,151-153 Md.
56 al-Shaffمt 37
57 Luqmمn 31 . ayat 27-29 Md.
58 Saba’ 34. ayat 6 Md.
59 al-Zumar 39 . ayat 52-54 Md.
60 al-Mu’min 40 . ayat 56-57 Md.
61 al-Fushshilمt 41
62 al-Syûrم 42 . ayat 23-25, 27 Md.
63 al-Zukhruf 43 . ayat 54 Md.
64 al-Dukhمn 44
65 al-Jمtsiyah 45 . ayat 14 Md.
66 al-Ahqمf 46 . ayat 10, 15, 35 Md.
67 al-Dzمriyمt 51
68 al-Gمsyiyah 88
69 al-Kahfi 18 . ayat 28, 83-101 Md.
70 al-Nahl 16 . ayat 126-128 Md.
71 Nûh 71
72 Ibrمhîm 14 . ayat 28-29 Md.
73 al-Anbiyم’ 21
74 al-Mu’minun 23
75 al-Sajdah 32 . ayat 16-20 Md.
76 al-Thûr 52
77 al-Mulk 67
78 al-Hمqqah 69
79 al-Ma‘مrij 70
80 al-Nabم 78
81 al-Nمzi‘مt 79
82 al-Infithمr 82
83 al-Insyiqمq 84
84 al-Rûm 30 . ayat 17 Md.
85 al-‘Ankabût 29 . ayat 1-11 Md.
86 al-Muthaffifîn 83

Susunan Surat Madaniyah Versi Kronologi Mesir 

1 al-Baqarah 2 . ayat 281 belakangan
2 al-Anfمl 8 . ayat 30-36 Mk.
3 أli ‘Imrمn 3
4 al-Ahzمb 33
5 al-Mumtahanah 60
6 al-Nisم’ 4
7 al-Zalzalah 99
8 al-Hadîd 57
9 Muhammad 47 . ayat 13 pada waktu hijrah
10 al-Ra‘d 13
11 al-Rahmمn 55
12 al-Insمn 76
13 al-Thalaq 65
14 al-Bayyinah 98
15 al-Hasyr 59
16 al-Nûr 24
17 al-Hajj 22
18 al-Munمfiqûn 63
19 al-Mujمdilah 58
20 al-Hujurمt 49
21 al-Tahrîm 66
22 al-Tagمbun 64
23 al-Shaff 61
24 al-Jumu‘ah 62
25 al-Fath 48
26 al-Mم’idah 5
27 al-Tawbah 9 . ayat 128-129 Mk.
28 al-Nashr 90

Sementara menurut Weil, Sarjana Barat periode pewahyuan dibagi empat: (i) Makkah pertama atau awal; (ii) Makkah kedua atau tengah; (iii) Makkah ketiga atau akhir; dan (iv) Madinah. Titik-titik peralihan untuk keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisinia (sekitar 615) untuk periode Makkah awal dan Makkah tengah, saat kembalinya Nabi dari Tha’if (620) untuk periode Makkah tengah dan Makkah akhir, serta peristiwa hijrah (September 622) untuk periode Makkah akhir dan Madinah.

Surat-surat periode Makkah pertama cenderung pendekpendek. Ayat-ayatnya juga pendek-pendek serta berima, serta bahasanya penuh dengan tamsilan dan keindahan puitis seperti surat  al-‘Alaq 96, al-Lahab,  al-Qalam dll.

Surat-surat periode kedua atau periode Makkah tengah lebih panjang dan lebih berbentuk prosa, tetapi tetap dengan kualitas puitis yang indah. Gayanya membentuk suatu transisi antara suratsurat periode Makkah pertama dan ketiga. Tanda-tanda kemahakuasaan Tuhan dalam alam dan sifat-sifat ilahi seperti rahmah ditekankan, sementara seperti surat YaSîn,  Nûh dan al-Qalam.

Surat-surat periode Makkah ketiga atau Makkah akhir lebih panjang dan lebih berbentuk prosa. Weil bahkan beranggapan bahwa “kekuatan puitis” yang menjadi ciri surat-surat dua periode sebelumnya telah menghilang dalam periode ini. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban umat terdahulu dituturkan kembali secara lebih rinci. Susunan kronologis suratsurat al-Quran periode Makkah ketiga ini seperti: al-A‘raf , al-Sajdah dan al-Jinn.

Sementara surat-surat periode keempat (Madaniyah) tidak memperlihatkan banyak perubahan gaya dari periode ketiga dibandingkan perubahan pokok bahasan. Perubahan ini terjadi dengan semakin meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan umum peristiwa-peristiwa di Madinah setelah hijrah. Pengakuan terhadap Nabi sebagai pemimpin masyarakat, menyebabkan wahyu-wahyu berisi hukum dan aturan kemasyarakatan. Surat tersebut seperti al-Baqarah, al-Bayyinah dan al-Jumu‘ah. 


Bagaimana Al-Qur’an dikumpulkan?

Unit-unit wahyu yang diterima Muhammad pada faktanya dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama: menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalkannya; dan  merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis. 

Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya al-Quran dalam cara semacam itu. Jadi, setelah menerima suatu wahyu, Nabi – sebagaimana diperintahkan al-Quran, lalu menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang kemudian menghafalkannya. 

Hadis memberi informasi sangat beragam tentang jumlah maupun nama-nama sahabat penghafal al-Quran. Yang paling sering disebut adalah: Ubay ibn Ka‘ab (w. 642), Mu‘adz ibn Jabal (w. 639), Zayd ibn Tsabit, dan Abu Zayd al-Anshari (w. 15H).

Sementara dalam berbagai laporan lainnya, muncul nama-nama selain keempat sahabat tersebut. Dalam Fihrist, disebutkan 7 nama pengumpul al-Quran, tiga di antaranya sama dengan tiga nama pertama dalam riwayat sebelumnya, dan empat lainnya adalah: Ali ibn Abi Thalib, Sa‘d ibn Ubayd (w.637), Abu al-Darda (w.652), dan Ubayd ibn Mu‘awiyah.16 Nama-nama lain yang sering muncul dalam riwayat adalah: Utsman ibn Affan, Tamim al-Dari (w. 660), Abd Allah ibn Mas‘ud (w. 625), Salim ibn Ma‘qil (w. 633), Ubadah ibn Shamit, Abu Ayyub (w. 672), dan Mujammi‘ ibn Jariyah.

Cara kedua yang dilakukan dalam pemeliharaan al-Quran di masa Nabi adalah perekaman dalam bentuk tertulis unit-unit wahyu yang diterima Nabi.  Setelah hijrah ke Madinah, dikabarkan bahwa Nabi mempekerjakan sejumlah sekretaris untuk menuliskan wahyu (kuttab al-wahy). Di antara para sahabat yang biasa menuliskan wahyu adalah empat khalifah pertama, Mu‘awiyah (w. 680), Ubay ibn Ka‘ab, Zayd ibn Tsabit, Abd Allah ibn Mas‘ud, Abu Musa al- Asy‘ari (w. 664), dan lain-lain. Syaikh Abu Abd Allah az-Zanjani, salah satu sarjana Syi‘ah terkemuka abad ke-20, bahkan menyebut 34 nama sahabat Nabi yang ditugaskan mencatat wahyu.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa unit-unit wahyu ang diterima Nabi telah ditulis dalam cara yang disebutkan di atas. Bahkan, dalam kasus wahyu-wahyu Madaniyah yang memuat ketentuan-ketentuan hukum, pasti merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk segera merekamnya secara tertulis. Tetapi, masalah yang timbul di sini tentang sejauh mana rekaman-rekaman tertulis al-Quran itu memiliki bentuk seperti al-Quran yang kita kenal dewasa ini, memang merupakan hal yang pelik untuk ditetapkan. 

Di satu pihak, meski memiliki bagian-bagian tertulis al-Quran yang digarap para sekretarisnya, sebagaimana disebutkan sejumlah riwayat, Nabi tidak pernah mempromulgasikan suatu kumpulan tertulis al-Quran yang resmi dan lengkap. Hal ini bisa diilustrasikan dengan sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Zayd: “Nabi wafat dan al-Quran belum dikumpulkan ke dalam suatu mushaf tunggal.”

Bagaimana Kumpulan Unit Ayat digabung menjadi surat?

Diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu.” Al-Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zayd: “Kami biasa menyusun al-Quran dari catatan-catatan kecil dengan disaksikan Rasulullah.” 

Banyak riwayat jenis ini yang bisa ditemukan dalam koleksi hadits-hadits. Riwayat-riwayat semacam itu pada dasarnya menunjukkan bahwa penggabungan unit-unit wahyu atau penempatannya ke dalam surat-surat al-Quran dilakukan atas petunjuk Nabi atau bersifat tawqîfî.

Jika Nabi telah mengupayakan pengumpulan dan promulgasi al-Quran, maka kebutuhan mendesak yang muncul sepeninggalnya untuk mengumpulkan al-Quran tentunya tidak akan mencuat ke permukaan. Di sisi lain, jika para sahabat telah menghafal dan menuliskan wahyu dalam kadar yang beragam, maka bisa diperkirakan berbagai perbedaan substansial dalam naskah-naskah mereka ketimbang yang bisa ditemukan dalam fenomena mashahif awal. Karena itu, merupakan suatu hal yang pasti bahwa Nabi sendirilah yang merangkai berbagai bagian atau ayat al-Quran yang diwahyukan kepadanya dan menetapkan susunannya secara pasti dalam surat-surat yang ada – dalam terminologi lama biasanya dikenal dengan istilah tawqîfî. 

Susunan ini diketahui dan diikuti para sahabatnya. Itulah sebabnya, ketika dibuka kumpulan al- Quran para sahabat, yang terutama ditemukan di dalamnya adalah perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan dalam susunan surat, bukan susunan ayat.

Pengumpulan Al-Qur’an pasca Nabi
Dalam Itqan, misalnya, disebutkan bahwa al-Quran pada masa Nabi tidak terkumpul dan tidak memiliki susunan surat yang pasti. Teori paling populer di kalangan ortodoksi Islam tentang pengumpulan pertama al-Quran secara tertulis adalah bahwa upaya semacam ini secara resmi baru dilakukan pada masa kekhalifahan Abu Bakr. Sebelumnya, al-Quran belum terhimpun di dalam satu mushaf, sekalipun terdapat fragmen-fragmen wahyu ilahi yang berada dalam pemilikan sejumlah sahabat. 

Riwayat-riwayat tentang pengumpulan al-Quran sebelum masa Umar Penggagas kemudian Abu Bakar yang memerintahkan Zaid bin Tsabit pasca perang Yamamah, karena banyak sahabat penghafal Al-Qur’an yang wafat di masa itu. 
Ketika diperintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an Zaid bin Tsabit berkata Aku lalu mencari al-Quran yang tertulis di atas pelepah-pelepah kurma, batubatu tulis,dan yang tersimpan (dalam bentuk hafalan) di dada-dada manusia, kemudian aku kumpulkan. Akhirnya aku temukan bagian akhir surat al-Tawbah pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain (yaitu: laqadj jaakum rasûl min anfusikum … dan seterusnya hingga akhir surat).” Dan shuhuf (yang telah dikumpulkan itu) berada di tangan Abu Bakr sampai wafatnya, lalu dipegang Umar semasahidupnya, kemudian disimpan oleh Hafshah bint Umar.

Dalam riwayat ini disebutkan bahwa ketika al-Quran dikumpulkan ke dalam mushaf pada masa Khalifah Abu Bakr, beberapa orang menyalin didikte oleh Ubay. Ketika mencapai 9:127, beberapa di antaranya memandang bahwa itu merupakan bagian al-Quran yang terakhir kali diwahyukan. Tetapi, Ubay menunjukkan bahwa Nabi telah mengajarkannya dua ayat lagi (9:128-129), yang merupakan bagian terakhir dari wahyu.

Ada riwayat lain bahwa pengumpulan pertama di masa Umar namun belum berakhir Riwayat lain mengungkapkan bahwa pekerjaan pengumpulan itu tidak terselesaikan dengan terbunuhnya Khalifah Umar: Umar ibn Khaththab memutuskan mengumpulkan al-Quran. Ia berdiri di tengah manusia dan berkata: “Barang siapa yang menerima bagian al-Quran apapun langsung dari Rasulullah, bawalah kepada kami.” Mereka telah menulis yang mereka dengar (dari Rasulullah) di atas lembaran-lembaran, luh-luh, dan pelepah-pelepah kurma.
 
Umar tidak menerima sesuatupun dari seseorang hingga dua orang menyaksikan (kebenarannya). Tetapi ia terbunuh ketika tengah melakukan pengumpulannya. Utsman ibn Affan bangkit (melanjutkannya) dan berkata: “Barang siapa yang memiliki sesuatu dari Kitab Allah, bawalah kepada kami….”

Dengan demikian, konsern terhadap isnad al-Quran dan kemutawatirannya (tawatur) terlihat sangat gamblang dalam laporan-laporan pengumpulan Zayd di atas. Tidak satu pun bagian al-Quran yang merupakan khabar wahid – riwayat terisolasi yang hanya didukung mata rantai periwayatan tunggal. Tidak satu pun yang bakal diterima sebagai bagian al-Quran atau dimasukkan ke dalam kitab suci tersebut, kecuali wahyu-wahyu yang didengarlangsung dari Nabi sendiri dan memenuhi kriteria kesaksian yang ditetapkan – yakni dua saksi.

Paling sering ditemukan adalah perujukan kepada mushaf-mushaf pra-utsmani yang populer, seperti mushaf Ibn Mas‘ud, mushaf Salim ibn Ma‘qil, mushaf Umar ibn Khaththab, mushaf Ali ibn Abi Thalib, Mushaf Ibn Abbas dan juga mushaf ubay bin Ka’ab yang mana sebelum kemunculan mushaf standar utsmani, mushaf Ubay telah populer di Siria. Salah satu karakteristik mushaf sebelum mushaf usmani seperti eksisnya dua surat ekstra yakni sûrat al-khal‘ dan sûrat al-hafd  di dalamnya, sebagaimana yang ada dalam mushaf ibnu Abbas, Ubay dan Abu Musa.

Bacaan dalam mushaf-mushaf pra-utsmani dianggap tidak mencapai derajat mutawatir dan mayshûr, dan karena itu – dalam gagasanortodoksi Islam – bukan merupakan bacaan al-Quran yang otentik. 
Penemuan manuskrip al-Quran pra-utsmani di San‘a, Yaman, sangat menyimpang dari susunan resmi mushaf utsmani, membenarkan hipotesis bahwa tidak terdapat keseragaman susunan surat dalam mashahif prautsmani.

Oleh sebab itu di masa sayyidina Usman  di masa Sayyidina usman abaru ada unifikasi teks, Mushaf-mushaf yang ada sebelumnya coba dimusnahkan di masa sayyidina Usman. Seperti mushaf hafsah kemudian dimusnahkan setelah sayyidah hafsah wafat karena ditakutkan perpecahan. Kemudian sayyidina usman mengirim teks Al-Qur’an ke seluruh penjuru termasuk ke Kufah ke Ibnu mas’ud
Namun capaian-capaian para sahabat Nabi dan generasi pra mushaf usmani ini tetap eksis melalui transmisi lisan ataupun tertulis dari generasi ke generasi serta direkam dalam sumber-sumber awal sebagai varian di luar tradisi teks utsmani, atau sebagai mushaf-mushaf pra-utsmani.

Kodifikasi Mushaf Usmany

Hudzayfah ibn al-Yaman menghadap Utsman. Ia tengah memimpin penduduk Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Hudzayfah merasa cemas oleh pertengkaran mereka (penduduk Siria dan Irak) tentang bacaan al-Quran. Maka berkatalah Khudzayfah kepada Utsman: “Wahai Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertikai tentang Kitab (Allah), sebagaimana yang telah  terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani pada masa lalu.” 

Kemudian Utsman mengirim utusan kepada Hafshah dengan pesan: “Kirimkanlah kepada Kami shuhuf yang ada di tanganmu, sehingga bisa diperbanyak serta disalin ke dalam mushaf-mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan kepadamu.” Hafshah mengirim shuhuf-nya kepada Utsman, yang kemudian memanggil Zayd ibn Tsabit, Abd Allah ibn al-Zubayr, Sa‘id ibn al-‘Ash, dan Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam, dan memerintahkan mereka untuk menyalinnya menjadi beberapa mushaf.

Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy (dalam tim) itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zayd mengenai al- Quran, maka tulislah dalam dialek Quraisy, karena al-Quran itu diturunkan dalam bahasa mereka.” Mereka mengikuti perintah tersebut, dan setelah berhasil menyalin shuhuf itu menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Mushaf-mushaf salinan yang ada kemudian dikirim Utsman ke setiap propinsi dengan perintah agar seluruh rekaman tertulis al-Quran yang ada – baik dalam bentuk fragmen atau kodeks – dibakar habis.

Riwayat lain mengatakan bahwa komisi bentukan Utsman yang dimotori Zayd Ibn Tsabit, telah mengumpulkan al-Quran dari berbagai sumber, tidak hanya dari mushaf hafshah, dan menyalinnya ke dalam mushaf-mushaf yang kemudian disebarkan ke berbagai kota metropolitan Islam ketika itu.

Sebagaimana diberitakan pengumpulan al-Quran di masa Utsman dilakukan oleh suatu komisi yang terdiri dari empat orang. Yang pertama dan merupakan ketua komisi pengumpulan adalah Zayd ibn Tsabit, seorang Anshar yang sewaktu mudanya aktif sebagai sekretaris Nabi dan mencatat wahyu-wahyu al-Quran.  Zayd meninggal dunia pada 45H. 

Anggota komisi lainnya adalah Abd Allah ibn al-Zubayr (w. 692), yang juga berasal dari keluarga terpandang Makkah. Lewat ibunya Asma, ia adalah cucu Abu Bakr dan keponakan Aisyah, bahkan anak tiri Khalifah Umar. Ia tidak hanya terlibat dalam berbagai pertempuran sebagai serdadu, tetapi juga terkenal sebagai seorang yang sangat religius. Sementara Sa‘id ibn al-‘Ash (w. 678/ 9) lahir beberapa saat setelah hijrah dari keluarga Ummayah. Setelah pemecatan Walid ibn Uqbah pada 29H, dikabarkan ia menggantikan posisinya sebagai gubernur Kufah hingga menjelang akhir tahun 34H. Anggota komisi terakhir adalah Abd al-Rahman ibn al-Harits (w. 633), berasal dari keluarga Mahzum yang terkemuka di Makkah. Ia tampaknya tidak memiliki prestasi atau kedudukan politik yang perlu dicatat.

Distribusi Mushaf Usmany

Setelah selesai melakukan kodifikasi al-Quran, sejumlah salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai kota metropolitan Islam. Riwayat-riwayat tentang jumlah mushaf yang berhasil diselesaikan penulisannya dan ke kota-kota mana saja ia dikirim sangat beragam. Menurut pandangan yang diterima secara luas, satu mushaf al-Quran disimpan di Madinah, dan tiga salinannya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus.

Susunan pembuatan mushaf tersebut berdasarkan analisa pakar sejarah ialah mushaf yang paling awal adalah mushaf Madinah. Dari mushaf inilah disalin mushaf Damaskus dan Bashrah. Sementara dari mushaf Bashrahlah disalin mushaf Kufah. Secara skematis, asal-usul mushaf-mushaf tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

Di samping itu agar tidak terjadi perpecahan, materi-materi al-Quran non-utsmani coba dimusnahkan, dengan tujuan utama menyebarluaskan edisi kanonik resmi. Namun hal tersebut tidak dicapai dalam waktu singkat. Ketika itu, al-Quran – terutama sekali – dipelihara dalam bentuk hafalan menurut bacaan tertentu. Adalah pelik membayangkan bagaimana hafalan yang telah mapan di kepala seseorang kemudian mesti disesuaikan dengan mushaf resmi yang dikeluarkan Utsman. 

Dalam kondisi semacam ini, ditambah keengganan beberapa sahabat Nabi – seperti Ibn Mas‘ud dan Abu Musa al-Asy‘ari – untuk mengikutinya, kodeks utsmani tentunya tidak segera memasyarakat dalam waktu singkat, hingga suatu generasi baru penghafal al-Quran dalam tradisi teks utsmani muncul. Setelah itu, kodeks-kodeks pra-utsmani secara bertahap menghilang dengan sendirinya tanpa perlu dimusnahkan.

Bagaimana susunan surat-surat dalam Al-Qur’an tersusun seperti sekarang?

Terdapat sejumlah Pandangan yang mengungkapkan bahwa susunan surat dalam mushaf utsmani bersifat ijtihadi. Al-Suyuthi mengutip pendapat bahwa Utsman mengumpulkan lembaran-lembaran (shuhuf) al-Quran ke dalam satu mushaf menurut tertib suratnya (murattaban li-suwarihi). Sementara di tempat lain, ia mengemukakan suatu riwayat yang menyatakan bahwa Utsman memerintahkan komisinya untuk menempatkan surat-surat panjang secara berurutan.

Lebih jelas lagi adalah pernyataan al- Ya‘qubi, “Utsman mengkodifikasikan al-Quran, menyusun (allafa) dan mengumpulkan surat-surat panjang dengan surat-surat panjang dan surat-surat pendek dengan surat-surat pendek.

Jumlah surat di dalam mushaf utsmani – kesemuanya 114 surat – berada di tengah-tengah antara jumlah surat dalam mushaf Ubay (116 surat) dan Ibn Mas‘ud (111 atau 112 surat). Surat-surat ini, dalam sejarah awal Islam, dirujuk dengan nama-nama yang beragam. 

Tidak jarang terdapat dua nama atau lebih untuk satu surat, dan dalam literatur-literatur Islam yang awal, terdapat rujukan-rujukan kepada nama-nama lainnya yang digunakan untuk suatu waktu, tetapi belakangan dibuang atau tidak digunakan lagi. Contohnya, surat 1, selain dirujuk dengan nama al-Fatihah, dikenal pula dengan nama fatihatu-l-kitab (pembuka kitab) atau umm alkitab/ al-qur’an (induk kitab/al-Quran).

Siapa yang Memberi Nama-nama Surat?

Tidak ada kesepakatan formal di kalangan sarjana Muslim mengenai penamaan ke-114 surat tersebut, sekalipun sekuensi atau tata urutannya telah ditetapkan secara definitif di dalam mushaf utsmani.49 Jadi, merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama yang diberikan kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari al- Quran. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang beragam itu.
 
Namun, dapat dikemukakan dugaan bahwa segera setelah adanya kodifikasi al-Quran, timbul kebutuhan untuk pemberian nama-nama surat guna memudahkan perujukannya, dan sekitar pertengahan abad ke-8 dapat dipastikan bahwa namanama surat yang beragam itu telah memasyarakat. Fragmen papirus al-Quran yang berasal dari pertengahan abad ke-8 – diedit oleh Nabia Abbott – merupakan salah satu bukti tertulisnya.

Penelitian sepintas terhadap nama-nama surat di atas menunjukkan non-eksistensinya kaidah yang baku tentang penamaan surat. Terkadang surat-surat dirujuk secara mekanis menurut ungkapan yang ada dibagian awalnya, seperti penyebutan surat 78 sebagai ‘amma yatasa’alûn atau sekedar ‘amma. Di lain kesempatan, penamaan diambil dari kata pengenal atau kata kunci yang muncul pada permulaan surat – misalnya surat 30: al-Rûm  dan surat 35: Fathir.

Bagaimana dengan Juz dan Sebagainya?

Kaum Muslimin membagi Al-Qu’ran ke dalam 30 bagian atau juz’ yang hampir sama. Pembagian ini berkaitan dengan jumlah hari di bulan Ramadlan, di mana tiap juz al-Quran dibaca setiap harinya. Pembagian yang 30 juz’ ini biasanya diberi tanda di pinggiran salinan kitab suci tersebut.

Bagian yang lebih kecil lagi adalah hizb yang membagi juz menjadi dua – jadi dalam setiap juz ada dua hizb. Bagian yang lebih kecil dari hizb adalah perempatan hizb, yang juga sering diberi tanda di pinggiran salinan al-Quran.

Pembagian lainnya adalah ruku‘, sejumlah 554 untuk keseluruhan al-Quran. Tetapi panjang-pendeknya ruku‘ tidak seragam: surat panjang biasanya terdiri dari beberapa ruku‘, dan surat pendek berisi satu ruku‘. Keseluruhan pembagian al-Quran ini, yang diberi tanda tertentu di pinggiran teks kitab suci, bukanlah bagian orisinal wahyu. Bahkan tanda-tanda yang menunjukkan kepada bilangan ayat dan tanda waqaf– secara harfiah “berhenti”, tanda boleh tidaknya menghentikan bacaan pada akhir kalimat atau ayat – dituliskan di dalam teks.

Jumlah ayat di dalam Surat

Surat-surat al-Quran terbagi ke dalam ayat-ayat yang panjangnya sangat bervariasi, tetapi tidak ditetapkan secara arbitrer. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan sarjana Muslim dalam menetapkan panjang pendeknya suatu ayat. Orangorang Madinah yang awal menghitung sejumlah 6000 ayat di dalam al-Quran, sedangkan orang-orang Madinah yang belakangan menghitung 6124 ayat; orang-orang Makkah menghitung sejumlah 6219 ayat; orang-orang Kufah sejumlah 6263 ayat; orang-orang Bashrah sejumlah 6204 ayat; dan orang-orang Siria (Syam) sejumlah 6225 ayat. Sementara suatu riwayat dalam Fihrist menyebutkan terdapat 6226 ayat di dalam al-Quran. 

Perbedaan penghitungan ayat – selain dikarenakan perbedaan dalam penetapan basmalah sebagai ayat atau bukan dan fawatih sebagai ayat/ayat-ayat terpisah atau tersendiri, sebagaimana telah dikemukakan di atas – pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan dalam menentukan apakah rima telah menandakan berakhirnya suatu ayat atau masih berlanjut – dalam istilah tradisionalnya: perbedaan dalam penetapan ra’sul ayah (kepala ayat) dan fashilah. Hal ini terjadi akibat adanya kenyataan bahwa rima atau purwakanti di dalam al-Quran sebagian besarnya dihasilkan lewat penggunaan bentuk-bentuk atau akhiran-akhiran gramatikal yang sama.
Share:

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh