Republik, Monarki, Demokrasi dan Otoriter

Manusia di abad ini tersekat berdasarkan domisili dimana dia berasal dan tinggal. Doktrinasi nasionalisme dan nativisme secara massal telah membuat manusia terkotak-kotak secara masif. Mereka dibedakan berdasarkan batasan wilayah yang biasa disebut dengan negara. Manusia sampai harus melalui pola administrasi birokrasi yang ketat (passport, visa, pemeriksaan imigrasi dll) untuk bisa masuk ke suatu wilayah yang mereka devinisikan sebagai negara lain. Padahal bisa jadi dari segi ras, warna kulit, bahasa dan agama diantara kedua negara tersebut tidak ada perbedaan.

Banyak sejarah negara mulai terbentuk di pertengahan abad ke-20. Perang dunia ke-2 telah memberikan signifikasi perubahan pada iklim politik global, khususnya setelah Jepang menandatangani kekalahannya kepada Sekutu, Agustus 1945. Tidak sedikit wilayah yang menyatakan diri menjadi negara berdaulat, baik melalui perjuangan maupun hasil pemberian.

Sejak itu pula negara-negara (lebih tepatnya elit-elit di suatu negara) mulai memetakan garis negaranya (atau daerah kekuasaannya). Beberapa diantara mereka tidak melibatkan langsung masyarakat terdampak (hanya berdasarkan perjanjian sesama elit). Padahal mereka tidak berada di posisi tau apakah masyarakat tersebut setuju atau tidak untuk dipersekutukan bersama negara yang akan dibangunnya (atau untuk dimasukkan ke daerah kekuasaannya).

Dampak dari peristiwa itu pada beberapa negara adalah banyaknya gerakan separatisme di daerah terluarnya. Hal ini disebabkan banyak faktor: bisa jadi karena anggapan merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat; eksploitasi sumber daya alam dan tidak meratanya pembagian hasil; berbedanya keyakinan mengenai sistem politik dan pemerintahan; atau bisa jadi karena faktor sejarah tertentu di masa lalu.

Sejalan dengan diproklamirkannya suatu wilayah sebagai negara, dibentuk pula sistem dan tata pemerintahan yang akan diberlakukan. Bagi mantan wilayah terjajah yang melepaskan diri dari kolonialisme dengan perjuangan bersama, biasanya mereka akan memproklamirkan diri sebagai negara republik dengan sistem demokratis. Sedangkan beberapa negara dengan latar belakang kerajaan, kebanyakan sampai saat ini masih mempertahankan sistem yang ada.

Pada sistem pemerintahan republik, dikenal slogan umum “dari rakyat untuk rakyat”. Artinya yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menjalankan pemerintahan adalah rakyat. Tentunya dengan mengikuti prosedur dan undang-undang yang berlaku. Karena pada dasarnya kata republik berasal dari bahasa latin “res republica” yang secara lugawi mempunyai makna urusan awam, atau dapat diartikan bahwa negara tersebut dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat. Konsep ini sebenarnya sudah dianut sejak zaman kerajaan Roma yang bertahan sejak 509 SM sampai dengan 44 SM. Oleh karena pemerintahan dilaksanakan sendri oleh rakyat, maka dengan sendirinya konsep ini menuntut suatu pola pemerintahan yang demokratis. Demokrasi dapat mempunyai arti bahwa semua elemen masyarakat memiliki hak dan wewenang yang sama. Baik dari aspek hukum, politik, HAM, sosial, ekonomi, kebebasan berpendapat dan lain-lain.

Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa suatu negara republik akan digerakkan oleh pemerintahan yang otoriter. Otoriter di sini mempunyai arti bahwa kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintahnya tidak berdasarkan konsensus bersama (hanya disetujui oleh segelintir pihak saja). Biasanya pemimpin dalam negara republik yang otoriter melakukan banyak muslihat dalam manuver politiknya, sehingga secara seremonial seakan mereka tetap melaksanakan sistem yang  demokratis, padahal secara esensial nilai-nilai demokrasi sama sekali tidak diterapkan.

Sedangkan negara dengan sistem monarki biasanya sudah berdiri dan diakui rakyatnya sejak sebelum signifikasi perubahan iklim politik global pasca perang dunia ke-2. Sistem mayoritas negara kerajaan saat ini adalah monarki konstituonal. Beberapa diantaranya masih menganut monarki absolute. Monarki konstituonal memilik arti bahwa dalam suatu negara, yang berkedudukan sebagai kepala negara adalah Raja, namun dalam hal kepala pemerintahan, masih diatur berdasarkan konstitusi yang ada. Biasanya kedudukan ini dijabat oleh Perdana Menteri. Sistem ini sebagaimana yang dianut oleh Malaysia dan Thailand. Perbedaannya, di Malasyia Rajanya dipilih secara bergantian 5 tahun sekali oleh masing-masing Raja dari 9 negara bagian. Sedangkan di Thailand, posisi Raja bersifat turun temurun. Sedangkan contoh negara monarki absolute adalah Saudi Arabia dan Brunei Darus Salam, dimana posisi raja memegang kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

Dengan perbedaan suku, etnis, dan agama yang variatif, di samping karena latar belakang sejarah yang patriotik dan divergen, sistem monarki tidak akan cocok untuk diterapkan di Indonesia. Sehingga sejak pertama kali diproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia dideklarasikan sebagai negara republik dengan menganut sistem demokratis. Konsep ini telah digariskan oleh founding father Indonesia melalui konstitusi negara pada UUD 1945. Konstitusi Indonesia yang telah mengalami 4 amandemen tersebut telah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi: kesetaraan rakyat di mata hukum; kebebasan berpendapat dan pers; terjaminnya HAM; dan lain-lain. Bahkan Indonesia juga diposisikan sebagai negara paling demokratis ketiga setelah Amerika dan Belanda.

Dengan sistem yang demokratis ini, semua elemen masyarakat mempunyai hak politis yang sama. Tak heran jika di awal pemilihan umum pada 1955 telah diikuti oleh 118 peserta: terdiri dari 36 peserta partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan dan 48 perorangan. Negara menjamin hak masyarakat untuk mendirikan partai atau aktif di partai politik manapun.

Masuk ke dalam periode orde baru, demokrasi mulai dikebiri. Parpol dikrucilkan hanya menjadi 3 bagian, pers dibredel dan dipersulit ijin edarnya, tentara berkuasa di segala lini. Demokrasi pada saat itu hanya sekedar title dan seremoni. Baru setelah keluar dari trah orde baru, nilai-nilai demokrasi di Indonesia mulai benar-benar bisa dikukuhkan. Hal ini dapat dilihat dari disahkannya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers, dibangunnya lembaga konstitusi, anti rasuah, KPU, penghapusan dwifungsi ABRI,  dan beberapa kebijakan lain.

Sejak itu masyarakat mulai “melek” politik. Semua elemen berlomba untuk mendedikasikan dirinya pada negera lewat jalur politik. Di samping berdampak positif terhadap kemajuan arus informasi dan kebebasan berpendapat. Namun iklim politik perlahan mulai kembali seperti eranya orde lama, dimana parpol lebih banyak memprioritaskan kepentingan ideologis dan materialisnya dari pada kepentingan masyarakat umum. Sehingga terjadi tarik menarik kompromi dan saling lempar isu antar satu parpol dengan yang lain (yang berpotensi terhadap terjadinya perpecahan di kalangan masyarakat). Pola seperti inilah yang kemudian menjadikan tensi politik semakin tinggi, sehingga bisa berakibat pada terhambatnya pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat akan dikesampingkan.

Bisa jadi program A sudah bagus, namun karena hal tersebut dinilai akan menggerus suara parpol lain, maka mereka menyuarakan isu-isu yang akan membuat program tersebut dianggap tidak benar. Akibat dari arus isu yang semakin liar, akhirnya program pun dapat benar-benar gagal direaliskan. Hal ini dapat dilihat ketika awal mula orde lama, dimana legislatif lebih mementingkan pertikaian idelogis antara kaum Agamis, Komunis dan Nasionalis daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Ini yang kemudian membuat presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan mengubah Indonesia dari demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.

Keributan-keributan seperti itulah yang apabila eksekutif terpancing masuk ke dalamnya, maka akan memperparah terhambatnya dinamisme kemajuan. Salah satu hal yang dapat dijadikan indikator mengenai apakah kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum sudah berjalan dengan baik atau tidak adalah dengan melakukan perbandingan dengan beberapa negara tetangga. Realitanya dalam masalah pendidikan, kesehatan, pembangunan, transporatasi umum, dan lain-lain Indonesia dapat dikatakan agak tertinggal.

Salah satu contoh negara monarki konstituonal adalah Thailand. Negara Gajah Putih tersebut mulai beralih dari monarki absolute sejak tahun 1932. Artinya pemerintahan di  Thailand berjalan secara demokratis sesuai kontitusi. Meskipun beberapa kalangan mengatakan bahwa demokrasi di Thailand adalah demokrasi yang radikal. Hal ini terindikasi dari banyaknya kudeta yang pernah dilakukan, sejak tahun 1932 sampai saat ini telah terjadi setidaknya sekitar 20 kali kudeta oleh militer. Militer selalu mengawal manuver politik politisi yang berbeda jalur.

Mengenai kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan hak asasi manusia, tidak seperti Indonesia, Thailand cukup menutup diri akan hal ini. Konflik di Thailand selatan tercatat telah memakan lebih dari 6500 korban jiwa. Semua media hampir menutup diri akan hal ini. Ini yang membuat kasus pelanggaran hak asasi manusia di Thaialnd hampir tidak pernah mencuat ke dunia internasional. Yang paling heboh di awal abad ini adalah tragedi takbai sekitar tahun 2004, dimana sekitar 1000-2000 masyarakat berdemo untuk menuntut agar rekannya yang ditahan dengan tuduhan memasok senjata segera dibebaskan, namun malah dibalas dengan berondongan peluru. 6 orang mati di tempat karena terkena tembakan. 78 mati di rumah sakit. 35 mati ditemui mengapung di sungai dan sekitar 1000 lebih orang luka-luka. Bahkan tahun 2016 aparat juga menangkap 44 masyarakat yang melakukan aksi untuk mengenang kejadian takbai dengan sewenang-wenang. Raja di Thailand adalah simbol kesucian yang tidak boleh dilecehkan sedikitpun. Dimana seorang yang menghina Raja dapat dihukum 15 tahun penjara. Hal ini beberapa kali terjadi dan pernah menjerat pengguna medsos, bukan hanya pada pembuat status, yang “like” pun juga ditangkap. Pasal ini dikenal dengan pasal “lese majeste” atau pasal pelindung keluarga raja.

Nilai-nilai dari sistem monarki absolute yang penuh dengan kesewenang-wenangan di Thailand (atau bahkan di negara monarki lain seperti Arab Saudi) tampaknya masih tersisa sampai sekarang. Sehingga masih banyak terjadi represifitas yang dilakukan oleh kerajaan terhadap masyarakat sipil. Nilai plus dari sistem ini adalah, ketika pemerintah atau kerajaan mencanangkan suatu program yang dinilai baik untuk kemaslahatan umum, tanpa ada ricuh isu HAM, eksploitasi alam dan tanpa ada orang yang akan berani mengkritik, kebijakan tersebut saat itu dapat langsung direalisasikan. Seketika itu pula masyarakat umum dapat merasakan manfaatnya.

Dampaknya dapat dilihat dari pembangunan di Thailand yang cukup baik. Baik berupa fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, pangan dan stabilitas ekonomi masyarakatnya. (Pada saat penulis menjadi volunteer di pedesaan Southern Thailand, hampir setiap rumah punya minimal satu kendaraan roda empat).

Pelayanan kesehatan di Thailand berdasarkan berita yang dirilis oleh VOA juga merupakan percontohan untuk kawasan asia. Kereta ekonomi juga disediakan gratis untuk siapapun dan dengan jarak sejauh apa pun. Jalan-jalan mulus dan luas (bukan tol, jadi tidak usah membayar) dengan waktu tempuh yang efisien (Jarak 170-an KM dari Yala-Songhkla hanya ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam setengah, sedangkan di Jawa Timur, Surabaya-Malang dengan jarak 90 KM juga bisa memakan waktu 2 jam setengah. Faktor kepadatan penduduk mungkin juga berpengaruh).

Hal ini juga dipaparkan secara jelas oleh Robyn Meredith dalam The Elephant and The Dragon. Dimana dia mencoba melakukan perbandingan mengenai laju kemajuan antara China yang terkenal dengan pemerintahan otoriternya yang kemudian digambarkan sebagai naga karena laju kemajuannya sangat pesat, sedangkan India dengan sistem demokrasinya digambarkan sabagai gajah dengan laju yang santai tapi pasti.

Berdasarkan hal di atas juga tidak dapat disimpulkan bahwa sistem monarki lebih baik dari demokrasi, atau sebaliknya. Sistem politik memang berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara, tapi signifikan tidaknya sangat tergantung dari seberapa bersih dan cerdas penguasa dalam menjalakannya pemerintahannya. Karena kenyataannya Amerika dengan title negara paling demokratis di dunia, dengan segala hiruk pikuk politik dalam negerinya, telah sukses menjadi negara adidaya. Demikian juga ada beberapa negara dengan sistem monarki yang masih hidup dalam ketertinggalan. 

Realitanya Indonesia mengalami tren kemajuan (baik ekonomi, HAM, pendidikan) yang sangat signifikan setelah didengungkannya reformasi. Ini berarti konsep demokrasi (yang benar-benar demokratis) sudah sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Hal tersebut akan lebih baik apabila oposisi menjalankan perannya sebagai check and balance tanpa harus menggunakan isu-isu yang dapat membodohi pola pikir rakyat hanya untuk menjatuhkan pemerintah. Pemerintah juga harus fokus pada pembangunan dan tidak mengedepankan kepentingan golongan dan kelompoknya. Nilai-nilai demokrasi harus berjalan dengan ramah dan santun. Apabila hal tersebut dapat dijalankan, sesuai diprediksi, semoga tahun 2036 Indonesia bisa berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju.

#menulis layaknya pakar hehe

Share:

Orang Kita di Saudi Arabia

Entah sejak kapan bangsa Indonesia sudah mulai hijrah ke Arab Saudi, yang jelas bangsa Arab mulai masuk ke Nusantara menurut M.C. Ricklefs sejak 644-666 Masehi, atau periode ketika sahabat Utsman ibn Affan menjadi khalifah. Orang Indonesia mulai terdengar banyak hijrah ke Arab sejak jaman Wali Songo, sampai beberapa abad setelahnya ketika banyak agamawan Nusantara yang kemudian memilih menetap di sana, bahkan beberapa di antaranya berhasil menjadi ulama besar, seperti Syekh Junaid al-Batawi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh A. Khatib al-Minangkabawi, dan ulama besar lainnya yang juga pernah dinisbatkan sebagai imam masjidil haram. Mungkin dari inilah kemudian muncul benih-benih keinginan “manut kyai” bagi generasi setelahnya, tapi dengan niatan yang berbeda.

Sampai sekarang taksiran mengenai berapa jumlah WNI (Warga negara Indonesia) di Arab Saudi tidak bisa diprediksi dengan akurat, bahkan Dubes Indonesia untuk Saudi Arabia, Bapak Agus Maftuh A. ketika ditanya mengenai hal tersebut mengatakan bahwa hanya Allah yang tau mengenai jumlah pastinya. Hal ini dikarenakan TKI/TKW yang semakin bertambah, baik dari jalur legal atau pun ilegal. Pola pemberangkatan TKI ilegal biasanya bervariasi, ada yang berangkat dengan visa umroh tapi menetap dan tidak kembali, ada dengan pemalsuan identitas, dan ada juga yang melalui agen dan administrasi birokrasi resmi.

Bagi WNI yang legal, untuk menetap di sana harus menemukan kafil (penanggung jawab) yang terdiri dari orang Arab Saudi tulen, biasanya kafil ini diangkat dari majikan-majikan mereka, atau orang lain dengan membayar beberapa Real. Bagi orang yang ilegal, ruang geraknya akan sangat terbatas, atau meskipun dinyatakan tidak terbatas tetapi selalu dalam bayang-bayang Baladi (sejenis organisasi yang biasanya menangkap orang-orang ilegal). Baladi biasa beroperasi mencari incaran mulai dari rumah ke rumah sampai ke pasar-pasar. Saya pernah belanja di salah satu pasar besar di Mekah, mungkin dapat dikatakan sejenis mall. Ketika itu siang hari. Saya melihat beberapa penjaga toko bermuka Bangladesh terbirit-birit berhamburan kemana-mana. Setelah beberapa lama saya baru tau kalo ternyata saat itu ada Baladi yang sedang beroperasi. Baladi meminta semua toko untuk ditutup saat itu juga, dan terlihat ada salah satu orang Bangladesh yang tertangkap (mungkin karena dia ilegal). Karena semua toko ditutup, akhirnya orang-orang yang berniat membeli keluar. Pasar sepi seketika.

Bahkan saya pernah hampir ditangkap ketika di bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Karena menunggu flight yang cukup lama, saya putuskan sekedar jalan-jalan sekitar bandara. Saat itu saya menemukan kursi kosong, saya rebahkan badan, tiduran sendirian. Suasana tampak sepi. Tiba-tiba ada seorang berbadan tegak mengampiri saya dan langsung teriak (suara orang Arab memang agak keras) “Wain paspoort”, saya tidak paham maksudnya. Dia kembali teriak “passport” “passport” beberapa kali sambil memegang tangan saya. Dari itu saya mulai faham kalau itu sebuah isyarah bahwa dia ingin saya mengeluarkan passport. Ketika saya rogoh kocek, saya baru ingat bahwa passport saya ditinggal di tempat asal. Kemudian saya jawab saja dengan kata “umroh” berkali-kali, akhirnya dia faham dan kemudian meninggalkan saya. Saya kemudian baru tau kalo “Wain passport” itu adalah bahasa arab amiyah/pasaran (bukan bahasa nahwiyah/bahasa Qur’an) yang berarti dimana passportmu? (ini seperti kasus saya ketika bertemu dengan orang Afganistan yang mengajak saya berkomunikasi dengan bahasa Arab, ketika saya tanya “Mata Tarjiu ila baladika?” dia bingung dan bertanya what is mata? Padahal Mata adalah bahasa Al-Qur’an yang berarti "kapan". Tidak semua orang Arab dapat paham dan berkomunikasi dengan bahasa Arab Nahwiyyah/bahasa Arab Al-Qur’an.

Kadang saya juga berfikir mengenai kebijakan pekerjaan umum di Arab Saudi. Apakah karena di sana terlalu banyak potensi/lowongan kerja dengan masyarakat yang terbatas atau seperti apa, sehingga mereka sangat open terhadap para pekerja luar negeri? Pertanyaan tersebut agaknya sedikit terjawab setelah masuk ke Arab. Ketika antri pemeriksaan imigrasi, beberapa petugas imigrasinya masih sangat muda, saya taksir usianya sekitar 16-17 tahun. Ada juga yang terlampau sepuh. Sehingga ketika melaksanakan tugasnya, mereka tampak kurang begitu profesioanl (Dia sangat santai dalam bekerja, bahkan sambil mengunyah permen karet, terlihat seperti tidak ada antusias untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaannya, padahal banyak sekali deretan orang yang antri berdiri untuk pemeriksaan imigrasi yang pastinya merasa sudah lelah dan ingin cepat selesai).

Tidak sulit untuk menemukan orang Indonesia di Arab, sejak masuk ke bandara pun beberapa petugas cleaning service-nya adalah orang Indonesia. Supir bus yang biasa mengantar dari Jeddah ke Mekkah atau Madinah banyak yang juga orang Indonesia. Apalagi saat musim haji, bus yang disediakan oleh pemerintah Arab untuk mengantarkan jamaah haji dari hotelnya ke masjidil haram selama 24 jama secara free kebanyakan supirnya ya orang Indonesia. Untung tidak ada kawin silang Indo-Arab, kalo ada mungkin Arab Saudi sudah dikuasai orang Indonesia hehe. Padahal, tidak ada kawin silang pun banyak orang Arab Saudi yang sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, beberapa penjaga toko, anak-anak yang diasuh oleh asisten rumah tangga berasal dari Indonesia, bahkan di Jeddah saya pernah menemukan penjaga toko yang menyanyikan lagu “alamat palsu”-nya Ayu Ting Ting dengan fasihnya.

Baiknya Arab Saudi dalam membuka banyak pekerjaan untuk orang Indonesia mungkin tidak luput dari hubungan baik yang telah dilakukan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dengan Raja pertama Arab, King Abdul Aziz. Konon Soekarno dulu pernah mengirim 2 kapal pohon mimba ke Arab. Pohon inilah yang banyak menghijaukan dan memberi naungan jamaah haji di padang Arafah dan pinggiran jalan kota Mekah, hingga kini pohon tersebut dinamakan pohon Soekarno.

Orang Indonesia di Arab banyak berdomisili di Mekah, Madinah, dan Jeddah. Menurut beberapa cerita juga banyak yang di Riyadh. Saya juga pernah melakukan perjalanan ke kota Thoif (Thoif adalah dataran tinggi yang dingin, berjarak sekitar 80-90 KM dari Mekkah. Identik dengan cerita mengenai awal mula Nabi hijrah sebelum ke Madinah), ada beberapa orang Indonesia yang berseliweran di sana, sepertinya orang Indonesia juga banyak mendiami daerah itu.

Biasanya orang Indonesia membentuk sebuah komunitas, di Mekkah beberapa tetangga saya yang puluhan tahun di Arab banyak yang tinggal di kampung Abu Jahal (saya tidak tau nama aslinya, tapi mereka menyebutnya demikian). Kampung ini terletak kira-kira sekitar 7 KM dari masjidil haram. Naik taksi hanya perlu membayar sekitar 10 Real. Biasanya mereka sering mengadakan tahlilan dan yasinan di malam Jum’at atau momen tertentu dengan mengajak orang Madura yang lain. Besar kontrakan yang ditinggalinya variatif, tapi pada saat saya masuk ke salah satu kontrakan besarnya sekitar 10x10-an meter. Saya lupa biaya kontrakannya setahun, tapi mereka bercerita bahwa perabotan di dalam rumahnya yang bagus-bagus itu hampir semuanya tidak ada yang diperoleh dari hasil membeli. Mereka mendapat secara gratis dari orang Arab. Biasanya setelah lebaran orang Arab di sekitar sana akan membuang lemari dan perabot yang lain karena mereka sudah beli yang baru. Akhirnya daripada dibuang orang-orang Indonesia di sana menawarkan diri untuk menampung. Lumayanlah.

Meskipun Orang Arab terkenal dengan gaya komunikasi yang cukup keras. Bicara biasa mungkin orang Indonesia akan mengira mereka sedang cekcok dan  ingin berkelahi. Tapi Mereka mempunyai ciri khas yang sama. Sangat loyal. Banyak di antara mereka yang benar-benar mengamalkan bab infaq, sedekah dan zakat. Kalo di Indonesia ketika ada orang sedekah, orang-orang berebut agar mendapat bagian, kalo di sana lebih-lebih ketika malam Jum’at mereka lah yang berebut agar sedekahnya diterima. Saat musim haji, di pinggir jalan banyak sekali orang-orang yang ingin sedekahnya diterima oleh para jamaah haji. Baik berupa buah-buahan, nasi kabuli, sampai hanya air putih biasa.

Lanjut ....Di dalam kontrakan, saya hampir tidak merasa bahwa sedang berada di Arab Saudi, karena mulai dari makanan, rokok yang disajikan dan tontonannya di Televisi, semuanya berciri khas Indonesia. Saat itu mereka sedang asyik nonton Dangdut Academy Indosiar. Katanya, kadang dalam sebulan mereka bisa menghabiskan pulsa sekitar 2 juta hanya untuk mendukung salah satu penyanyi favoritnya. Di musim piala dunia, kadang orang Arab lah yang  numpang nonton, karena di Arab untuk melihat siaran sepak bola piala dunia adalah berbayar. Beda dengan RCTI. Gratis. (Mengenai rokok biasanya mereka mendapatkan rokok Indonesia dari menitip ke salah satu kerabatnya yang sedang pergi umroh atau membeli ke salah satu TKI yang biasa memasok rokok juga dari orang-orang yang pergi umroh).

Di antara banyak pekerja kasar luar negeri di Arab, mulai dari Afrika, Bangladesh, Indonesia, India dan Philipina (Pekerja Philipina hanya ada di Jeddah, karena banyak dari mereka adalah non muslim, jadi dilarang masuk ke Mekah dan Madinah) katanya orang Indonesia adalah orang yang paling dipercaya dan disayang. Biasanya orang Arab akan memilih pembantu rumah tangga yang berasal dari Indonesia. Bahkan pengalaman saya, pernah suatu saat ketika musim haji, seperti biasa orang-orang Indonesia di sana banyak bekerja sambilan dengan menjadi pedagang kaki lima yang menjual makanan Indonesia di depan hotel yang didiami jemaah haji Indonesia. Ada orang Arab yang bertanya ke hampir satu per satu pedagang adakah diantara mereka yang berkenan menjadi pembantunya, karena istrinya sedang hamil. Tapi saat itu tidak ada pedagang yang berkenan. Dan saya juga pernah masuk ke Bin Daud di Jalan Aziziyyah (salah satu super market besar di Arab, mungkin di Indonesia seperti Carefour) hampir keseluruhan kasirnya adalah orang Indonesia. Sedangkan bagian cleaning service adalah Bangladesh dan lain-lain.

Beberapa tetangga saya yang sudah lama menjadi asisten rumah tangga di Arab bahkan sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Semisal tetangga di belakang rumah saya yang sudah 20 tahun lebih di Arab, dia bermukim di Madinah, dekat dengan masjid Nabawi (setiap malam Jum’at dia ditugaskan selalu membawa kereta bayi yang isinya adalah roti, kurma dan teh yang ditunjukkan untuk orang-orang yang ingin berbuka puasa di masjid). Dia sudah menjadi asisten rumah tangga sejak ibu x (juragannya yang lama) masih hidup, ibu x sangat sayang kepadanya, bahkan saking sayangnya, dia selalu dibawa kemana-mana, sampai ketika akan pulang sebentar ke Indonesia, ibu x sendiri yang mengantarnya dari Madinah ke bandara Jeddah, perjalanan 400 KM lebih. Sekarang ibu x dan suaminya sudah meninggal, yang tersisa adalah anaknya yang berprofesi sebagai dokter, anaknya ibu x sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, dia sudah seperti bukan di posisi asisten rumah tangga, bahkan dia sering memarahi anaknya ibu x ketika melakukan hal yang tidak pantas.

Ada juga tetangga saya yang juga sudah puluhan tahun menjadi asisten rumah tangga di Mekkah. Dia selalu dibawa kemana-mana oleh majikannya. Yang membesarkan anak-anak majikannya adalah tangannya, tidak heran anak-anak majikannya sudah menganggap dia seperti ibu sendiri. Majikannya juga sangat baik kepadanya, ketika dia sakit, majikan (perempuan) nya sendiri yang membuatkannya jamu, dan menyuruhnya minum, mengetahui dia tidak suka minum jamu, majikan itu tidak mau pergi sebelum jamu itu benar-benar diminum.
Ada juga tetangga yang berprofesi sebagai perias yang sering diminta merias keluarga kerajaan. Ada pula yang menjadi pembantu salah satu keluarga raja sehingga sering dibawa keluar negeri. Terlepas dari itu, banyak juga cerita mengenai asisten rumah tangga yang sering didzolimi oleh majikannya, baik disiksa, dilecehkan dan diancam untuk dibunuh. Tak heran banyak juga para TKI yang pulang-pulang ada yang dalam keadaan gila, bahkan tinggal nama.

Agaknya para TKI/TKW tidak boleh dipandang rendah sebelah mata. Toh mereka pastinya tidak mau jauh dari keluarga dan kampung halaman jika bukan karena terpaksa. Mereka juga salah satu penyumbang devisa yang cukup besar terhadap negara. Yang jelas dimana pun kita berada, asal kasih sayang tetap di dada, maka kebaikanlah yang akan kita terima.

#kalo ada yang salah mohon dikoreksi ya guysss

Share:

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh