Orang Kita di Saudi Arabia

Entah sejak kapan bangsa Indonesia sudah mulai hijrah ke Arab Saudi, yang jelas bangsa Arab mulai masuk ke Nusantara menurut M.C. Ricklefs sejak 644-666 Masehi, atau periode ketika sahabat Utsman ibn Affan menjadi khalifah. Orang Indonesia mulai terdengar banyak hijrah ke Arab sejak jaman Wali Songo, sampai beberapa abad setelahnya ketika banyak agamawan Nusantara yang kemudian memilih menetap di sana, bahkan beberapa di antaranya berhasil menjadi ulama besar, seperti Syekh Junaid al-Batawi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh A. Khatib al-Minangkabawi, dan ulama besar lainnya yang juga pernah dinisbatkan sebagai imam masjidil haram. Mungkin dari inilah kemudian muncul benih-benih keinginan “manut kyai” bagi generasi setelahnya, tapi dengan niatan yang berbeda.

Sampai sekarang taksiran mengenai berapa jumlah WNI (Warga negara Indonesia) di Arab Saudi tidak bisa diprediksi dengan akurat, bahkan Dubes Indonesia untuk Saudi Arabia, Bapak Agus Maftuh A. ketika ditanya mengenai hal tersebut mengatakan bahwa hanya Allah yang tau mengenai jumlah pastinya. Hal ini dikarenakan TKI/TKW yang semakin bertambah, baik dari jalur legal atau pun ilegal. Pola pemberangkatan TKI ilegal biasanya bervariasi, ada yang berangkat dengan visa umroh tapi menetap dan tidak kembali, ada dengan pemalsuan identitas, dan ada juga yang melalui agen dan administrasi birokrasi resmi.

Bagi WNI yang legal, untuk menetap di sana harus menemukan kafil (penanggung jawab) yang terdiri dari orang Arab Saudi tulen, biasanya kafil ini diangkat dari majikan-majikan mereka, atau orang lain dengan membayar beberapa Real. Bagi orang yang ilegal, ruang geraknya akan sangat terbatas, atau meskipun dinyatakan tidak terbatas tetapi selalu dalam bayang-bayang Baladi (sejenis organisasi yang biasanya menangkap orang-orang ilegal). Baladi biasa beroperasi mencari incaran mulai dari rumah ke rumah sampai ke pasar-pasar. Saya pernah belanja di salah satu pasar besar di Mekah, mungkin dapat dikatakan sejenis mall. Ketika itu siang hari. Saya melihat beberapa penjaga toko bermuka Bangladesh terbirit-birit berhamburan kemana-mana. Setelah beberapa lama saya baru tau kalo ternyata saat itu ada Baladi yang sedang beroperasi. Baladi meminta semua toko untuk ditutup saat itu juga, dan terlihat ada salah satu orang Bangladesh yang tertangkap (mungkin karena dia ilegal). Karena semua toko ditutup, akhirnya orang-orang yang berniat membeli keluar. Pasar sepi seketika.

Bahkan saya pernah hampir ditangkap ketika di bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Karena menunggu flight yang cukup lama, saya putuskan sekedar jalan-jalan sekitar bandara. Saat itu saya menemukan kursi kosong, saya rebahkan badan, tiduran sendirian. Suasana tampak sepi. Tiba-tiba ada seorang berbadan tegak mengampiri saya dan langsung teriak (suara orang Arab memang agak keras) “Wain paspoort”, saya tidak paham maksudnya. Dia kembali teriak “passport” “passport” beberapa kali sambil memegang tangan saya. Dari itu saya mulai faham kalau itu sebuah isyarah bahwa dia ingin saya mengeluarkan passport. Ketika saya rogoh kocek, saya baru ingat bahwa passport saya ditinggal di tempat asal. Kemudian saya jawab saja dengan kata “umroh” berkali-kali, akhirnya dia faham dan kemudian meninggalkan saya. Saya kemudian baru tau kalo “Wain passport” itu adalah bahasa arab amiyah/pasaran (bukan bahasa nahwiyah/bahasa Qur’an) yang berarti dimana passportmu? (ini seperti kasus saya ketika bertemu dengan orang Afganistan yang mengajak saya berkomunikasi dengan bahasa Arab, ketika saya tanya “Mata Tarjiu ila baladika?” dia bingung dan bertanya what is mata? Padahal Mata adalah bahasa Al-Qur’an yang berarti "kapan". Tidak semua orang Arab dapat paham dan berkomunikasi dengan bahasa Arab Nahwiyyah/bahasa Arab Al-Qur’an.

Kadang saya juga berfikir mengenai kebijakan pekerjaan umum di Arab Saudi. Apakah karena di sana terlalu banyak potensi/lowongan kerja dengan masyarakat yang terbatas atau seperti apa, sehingga mereka sangat open terhadap para pekerja luar negeri? Pertanyaan tersebut agaknya sedikit terjawab setelah masuk ke Arab. Ketika antri pemeriksaan imigrasi, beberapa petugas imigrasinya masih sangat muda, saya taksir usianya sekitar 16-17 tahun. Ada juga yang terlampau sepuh. Sehingga ketika melaksanakan tugasnya, mereka tampak kurang begitu profesioanl (Dia sangat santai dalam bekerja, bahkan sambil mengunyah permen karet, terlihat seperti tidak ada antusias untuk sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaannya, padahal banyak sekali deretan orang yang antri berdiri untuk pemeriksaan imigrasi yang pastinya merasa sudah lelah dan ingin cepat selesai).

Tidak sulit untuk menemukan orang Indonesia di Arab, sejak masuk ke bandara pun beberapa petugas cleaning service-nya adalah orang Indonesia. Supir bus yang biasa mengantar dari Jeddah ke Mekkah atau Madinah banyak yang juga orang Indonesia. Apalagi saat musim haji, bus yang disediakan oleh pemerintah Arab untuk mengantarkan jamaah haji dari hotelnya ke masjidil haram selama 24 jama secara free kebanyakan supirnya ya orang Indonesia. Untung tidak ada kawin silang Indo-Arab, kalo ada mungkin Arab Saudi sudah dikuasai orang Indonesia hehe. Padahal, tidak ada kawin silang pun banyak orang Arab Saudi yang sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, beberapa penjaga toko, anak-anak yang diasuh oleh asisten rumah tangga berasal dari Indonesia, bahkan di Jeddah saya pernah menemukan penjaga toko yang menyanyikan lagu “alamat palsu”-nya Ayu Ting Ting dengan fasihnya.

Baiknya Arab Saudi dalam membuka banyak pekerjaan untuk orang Indonesia mungkin tidak luput dari hubungan baik yang telah dilakukan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dengan Raja pertama Arab, King Abdul Aziz. Konon Soekarno dulu pernah mengirim 2 kapal pohon mimba ke Arab. Pohon inilah yang banyak menghijaukan dan memberi naungan jamaah haji di padang Arafah dan pinggiran jalan kota Mekah, hingga kini pohon tersebut dinamakan pohon Soekarno.

Orang Indonesia di Arab banyak berdomisili di Mekah, Madinah, dan Jeddah. Menurut beberapa cerita juga banyak yang di Riyadh. Saya juga pernah melakukan perjalanan ke kota Thoif (Thoif adalah dataran tinggi yang dingin, berjarak sekitar 80-90 KM dari Mekkah. Identik dengan cerita mengenai awal mula Nabi hijrah sebelum ke Madinah), ada beberapa orang Indonesia yang berseliweran di sana, sepertinya orang Indonesia juga banyak mendiami daerah itu.

Biasanya orang Indonesia membentuk sebuah komunitas, di Mekkah beberapa tetangga saya yang puluhan tahun di Arab banyak yang tinggal di kampung Abu Jahal (saya tidak tau nama aslinya, tapi mereka menyebutnya demikian). Kampung ini terletak kira-kira sekitar 7 KM dari masjidil haram. Naik taksi hanya perlu membayar sekitar 10 Real. Biasanya mereka sering mengadakan tahlilan dan yasinan di malam Jum’at atau momen tertentu dengan mengajak orang Madura yang lain. Besar kontrakan yang ditinggalinya variatif, tapi pada saat saya masuk ke salah satu kontrakan besarnya sekitar 10x10-an meter. Saya lupa biaya kontrakannya setahun, tapi mereka bercerita bahwa perabotan di dalam rumahnya yang bagus-bagus itu hampir semuanya tidak ada yang diperoleh dari hasil membeli. Mereka mendapat secara gratis dari orang Arab. Biasanya setelah lebaran orang Arab di sekitar sana akan membuang lemari dan perabot yang lain karena mereka sudah beli yang baru. Akhirnya daripada dibuang orang-orang Indonesia di sana menawarkan diri untuk menampung. Lumayanlah.

Meskipun Orang Arab terkenal dengan gaya komunikasi yang cukup keras. Bicara biasa mungkin orang Indonesia akan mengira mereka sedang cekcok dan  ingin berkelahi. Tapi Mereka mempunyai ciri khas yang sama. Sangat loyal. Banyak di antara mereka yang benar-benar mengamalkan bab infaq, sedekah dan zakat. Kalo di Indonesia ketika ada orang sedekah, orang-orang berebut agar mendapat bagian, kalo di sana lebih-lebih ketika malam Jum’at mereka lah yang berebut agar sedekahnya diterima. Saat musim haji, di pinggir jalan banyak sekali orang-orang yang ingin sedekahnya diterima oleh para jamaah haji. Baik berupa buah-buahan, nasi kabuli, sampai hanya air putih biasa.

Lanjut ....Di dalam kontrakan, saya hampir tidak merasa bahwa sedang berada di Arab Saudi, karena mulai dari makanan, rokok yang disajikan dan tontonannya di Televisi, semuanya berciri khas Indonesia. Saat itu mereka sedang asyik nonton Dangdut Academy Indosiar. Katanya, kadang dalam sebulan mereka bisa menghabiskan pulsa sekitar 2 juta hanya untuk mendukung salah satu penyanyi favoritnya. Di musim piala dunia, kadang orang Arab lah yang  numpang nonton, karena di Arab untuk melihat siaran sepak bola piala dunia adalah berbayar. Beda dengan RCTI. Gratis. (Mengenai rokok biasanya mereka mendapatkan rokok Indonesia dari menitip ke salah satu kerabatnya yang sedang pergi umroh atau membeli ke salah satu TKI yang biasa memasok rokok juga dari orang-orang yang pergi umroh).

Di antara banyak pekerja kasar luar negeri di Arab, mulai dari Afrika, Bangladesh, Indonesia, India dan Philipina (Pekerja Philipina hanya ada di Jeddah, karena banyak dari mereka adalah non muslim, jadi dilarang masuk ke Mekah dan Madinah) katanya orang Indonesia adalah orang yang paling dipercaya dan disayang. Biasanya orang Arab akan memilih pembantu rumah tangga yang berasal dari Indonesia. Bahkan pengalaman saya, pernah suatu saat ketika musim haji, seperti biasa orang-orang Indonesia di sana banyak bekerja sambilan dengan menjadi pedagang kaki lima yang menjual makanan Indonesia di depan hotel yang didiami jemaah haji Indonesia. Ada orang Arab yang bertanya ke hampir satu per satu pedagang adakah diantara mereka yang berkenan menjadi pembantunya, karena istrinya sedang hamil. Tapi saat itu tidak ada pedagang yang berkenan. Dan saya juga pernah masuk ke Bin Daud di Jalan Aziziyyah (salah satu super market besar di Arab, mungkin di Indonesia seperti Carefour) hampir keseluruhan kasirnya adalah orang Indonesia. Sedangkan bagian cleaning service adalah Bangladesh dan lain-lain.

Beberapa tetangga saya yang sudah lama menjadi asisten rumah tangga di Arab bahkan sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Semisal tetangga di belakang rumah saya yang sudah 20 tahun lebih di Arab, dia bermukim di Madinah, dekat dengan masjid Nabawi (setiap malam Jum’at dia ditugaskan selalu membawa kereta bayi yang isinya adalah roti, kurma dan teh yang ditunjukkan untuk orang-orang yang ingin berbuka puasa di masjid). Dia sudah menjadi asisten rumah tangga sejak ibu x (juragannya yang lama) masih hidup, ibu x sangat sayang kepadanya, bahkan saking sayangnya, dia selalu dibawa kemana-mana, sampai ketika akan pulang sebentar ke Indonesia, ibu x sendiri yang mengantarnya dari Madinah ke bandara Jeddah, perjalanan 400 KM lebih. Sekarang ibu x dan suaminya sudah meninggal, yang tersisa adalah anaknya yang berprofesi sebagai dokter, anaknya ibu x sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, dia sudah seperti bukan di posisi asisten rumah tangga, bahkan dia sering memarahi anaknya ibu x ketika melakukan hal yang tidak pantas.

Ada juga tetangga saya yang juga sudah puluhan tahun menjadi asisten rumah tangga di Mekkah. Dia selalu dibawa kemana-mana oleh majikannya. Yang membesarkan anak-anak majikannya adalah tangannya, tidak heran anak-anak majikannya sudah menganggap dia seperti ibu sendiri. Majikannya juga sangat baik kepadanya, ketika dia sakit, majikan (perempuan) nya sendiri yang membuatkannya jamu, dan menyuruhnya minum, mengetahui dia tidak suka minum jamu, majikan itu tidak mau pergi sebelum jamu itu benar-benar diminum.
Ada juga tetangga yang berprofesi sebagai perias yang sering diminta merias keluarga kerajaan. Ada pula yang menjadi pembantu salah satu keluarga raja sehingga sering dibawa keluar negeri. Terlepas dari itu, banyak juga cerita mengenai asisten rumah tangga yang sering didzolimi oleh majikannya, baik disiksa, dilecehkan dan diancam untuk dibunuh. Tak heran banyak juga para TKI yang pulang-pulang ada yang dalam keadaan gila, bahkan tinggal nama.

Agaknya para TKI/TKW tidak boleh dipandang rendah sebelah mata. Toh mereka pastinya tidak mau jauh dari keluarga dan kampung halaman jika bukan karena terpaksa. Mereka juga salah satu penyumbang devisa yang cukup besar terhadap negara. Yang jelas dimana pun kita berada, asal kasih sayang tetap di dada, maka kebaikanlah yang akan kita terima.

#kalo ada yang salah mohon dikoreksi ya guysss

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh