Hukum di Indonesia dan Jaring Laba-Laba

Indonesia adalah negara hukum, hal itu secara eksplisit di jelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3. Undang-Undang dasar sebagai manifestasi konstitusi kenegaraan merupakan suatu landasan utuh dan utama dalam mengawal proses yang meliputi tatanan sistem dan aturan dengan realitas yang terus melaju dinamis.

Di masa awal kemerdekaan, Indonesia sebagai negara yang baru lahir kala itu, dengan keberagamannya menuntut para tokoh pendiri bangsa merumuskan suatu konsep dasar yang bersifat konservatif sekaligus progresif.

Konsep yang di harapkan bisa memberikan harapan lebih bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, sekaligus yang dapat meredupkan aura kuat fanatisme antar suku, golongan, ras dan agama di bawah pondasi kokoh satu atap. Maka pastinya di perlukan suatu rumusan objektif, detail dan legal untuk mengendalikan kemungkinan-kemungkinan yang tidak di harapakan nantinya. Alasan-alasan itulah yang kemudian menjadi salah satu faktor mengapa hukum kukuh bertengger di urutan ke-3 pasal UUD 1945, mengungguli ekonomi, politik dan lain-lain di bawahnya.

Di zaman dahulu, ajaran tentang negara hukum terbilang sangat sempit ruang lingkupnya, dimana titik tekan tujuan hukum dalam suatu pemerintahan hanya di kenal dengan istilah penjaga malam (legal state). Seiring berjalannya waktu, dinamisme perkembangan dunia dari beberapa lini yang melaju sangat pesat telah melesatkan pula paradigma berfikir manusia tentang ajaran mengenai tujuan negara hukum, manusia mulai memasukan pertimbangan-pertimbangan lain yang dirasa relevan dan esensial, maka tergeserlah pula ajaran tujuan negara hukum dari legal state menjadi welfare state (negara kesejahteraan) (Ridwan HR. 2012. 14).

Sebenarnya konsep mengenai pemberlakuan hukum sebagai hal yang paling urgen dalam kehidupan bernegara sudah banyak di berlakukan semenjak berabad-abad yang lalu, catatan sejarah tentang peradaban-peradaban mashur seperti Romawi, Mesir dan China sudah mengindikasikan bahwa hukum memang seharusnya berada di kancah prioritas. Meskipun dalam implementasinya, tingkat kompleksitas hukum di masa lampau tidak begitu konkret seperti sekarang. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum yang ada pada saat ini adalah salah satu pennyempurnaan dari beberapa hukum yang telah di adopsi di masa lampau, tentunya dengan dimasukkannya  ketentuan-ketentuan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman dan pertimbangan yang lebih kompleks.

Hukum di Indonesia dewasa ini ialah menganut sistem hukum campuran, dengan hukum eropa kontinental sebagai sistem hukum utama, lingkup hukum yang cukup populer di daratan eropa sebagai civil law. Belanda sebagai pengekspor hukum tersebut cukup bertanggung jawab terhadap system yang banyak dipakai dalam dinamika hukum di Indonesia, meskipun beberapa cakupannya telah banyak di lakukan perubahan, baik dari sisi formiil maupun materiilnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hukum selalu menuntut kepastian, namun hukum tidak bisa hanya statis dan langgeng. Hukum akan terus berkembang dinamis sesuai perkembangan jaman dimana hukum tersebut diberlakukan. Dalam kenyataannya, nilai keadilan tidak selalu beriringan dengan apa yang dihasilkan dan tercantum dalam kodifikasi hukum yang notabene menjadi acuan dari kepastian hukum. ini berarti bahwa untuk menerapkan hukum agar sesuai dengan esensi keberadaanya tidak pembuat dan penegak hukum tidak hanya dituntut agar menggali nilai-nilai dinamisme melalui pembaharuan hukum namun juga menggali nilai-nilai keadilan dalam sanubari paling dalam.  

Kemudian, berbicara mengenai hukum dalam tataran negara berdemokrasi, maka tidak mungkin dapat menghindari kata politik. Hukum selalu berkaitan erat dengan politik. Bahkan tidak dapat dipungkiri hukum adalah produk politik. Politik yang selalu identik dengan kepentingan, secara logika tentunya agak bertolak belaka dengan tujuan negara hukum dalam sebuah negara yang bertumpu pada kesejahteraan. Banyak celah-celah yang bisa di gunakan untuk mematahkan supremasi hukum melalui lobi politik. Dimana para politikus melalui muslihat politiknya, dapat dengan serta merta memasukkan kepentingan pribadi maupun golongannya menjadi produk hukum yang legal. Hal ini tentunya menjadi pengaruh yang sangat kuat mengapa dinamika perkembangan hukum yang seharusnya semakin lama semakin kuat malah semakin tergeletak, tertindih oleh beberapa kepentingan politik yang bersembunyi di balik kata demokrasi.

Di samping itu, produk hukum yang berkualitas bukan hanya satu-satunya jurus yang  tinggal selobang semut, penegakan hukum sebagai aplikasi aktif dalam supremasi hukum juga tercakup di dalamnya. Secara umum penegakan hukum dikawal oleh hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Sebagai senjata utama dalam penegakan hukum, lembaga maupun provesi tersebut mempunyai tugas sesuai porsi yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dari penegak hukum pula tersimpan banyak ruang untuk memajukan posisi hukum sebagai mahkota utama dalam pemerintahan sebagaimana yang dicita-citakan.

Oleh karna itu, seharusnya penegak hukum dapat mengendalikan keinginannya hanya pada satu tujuan, yakni menerapkan keadilan dan terwujudnya kesejahteraan. Penegak hukum juga adalah salah satu unsur penting yang diharapkan menjadi lembaga yang tak terkontaminasi oleh kepentingan yang bersifat personal. yakni dengan merealisasikan penegakan hukum yang tegas, adil dan sesuai undang-undang.

Meski dapat disadari bersama, cita-cita yang diharapkan agaknya cukup jauh dari kenyataan. Penegak hukum yang kompetensinya berpotensi memiliki ruang yang sangat besar dalam mewujudkan kesejahteraan sesuai tujuan negara hukum, kenyataannya, terindikasi sama dengan para pembuat hukum.

Beberapa Hakim di Pengadilan hanya  memutuskan perkara sesuai mahar, yang lebih banyak uangnya lebih ringan hukumannya. Polisi yang dianggap sebagai super power yang tidak diragukan eksistensinya, masih sulit memulihkan citranya. Kompetensi yang cukup besar dimiliki Polisi membuat beberapa oknum dengan mudah mengambil kesempatan, akhirnya meskipun produk hukum yang dihasilkan baik, karena organ vital dalam penegakannya yang tidak baik, maka esensi keberadaan hukum juga semakin jauh. Masih banyak diantara oknum-oknum polisi yang hanya giat dan semangat menangkap penjahat buritan dan melempem ketika menghadapi manusia bernama. Tidak ada kata HAM untuk maling teri, menebar senyuman mengawal maling berdasi. Penebang sebatang akar pohon diisolasi sementara pembakar hukan dibebaskan. Pengedar barang haram di tembak mati, sementara pabrik dan aparat pembacking dibiarkan  Maka sangatlah relevan apa yang dikatakan oleh Pluto, hukum bagaikan jaring laba-laba, hanya kuat terhadap yang lemah, namun rapuh terhadap yang kuat.
Tulisan jaman biyen

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh