Ada suatu dalil di dalam AL-Qur'an yakni
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Aku tidak akan memberi siksaan, sampai Aku mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15)
Allah berfirman:
وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ
“Tidak ada satupun umat, melainkan di lingkungan mereka telah ada sang pemberi peringatan.” (QS. Fathir: 24)
Kemudian hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, berapakah jumlah rasul?” Beliau menjawab:
ثلاثمائة وبضعة عشر جمّاً غفيرا
“Sekitar tiga ratus belasan orang. Banyak sekali.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 129 dan). Dalam riwayat lain ditegaskan: “315 orang.”
Sedangkan dalam riwayat Abu Umamah, bahwa Abu Dzar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berapa jumlah persis para nabi?” Beliau menjawab:
مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا
“Jumlah para nabi 124.000 orang, 315 diantara mereka adalah rasul. Banyak sekali.” (HR. Ahmad no. 22288 dan sanadnya dinilai shahih oleh al-Albani dalam al–Misykah).
Beberapa nash di atas menunjukkan bahwa di Jaman sebelum Nabi Muhammad di utus, masing-masing umat akan mendapat jatah seorang manusia yang bertugas sebagai pemberi peringatan. Ini yang kemudian dalam Islam disebut dengan Nabi atau Rosul. Banyak asumsi mengatakan bahwa Konfusius adalah salah seorang Nabi yang diutus untuk bangsa China. Asumsi ini sebenarnya hampir sama dengan asumsi lain yang mengatakan bahwa Socrates dan Sidharta Budha Gautama (Budha) juga adalah seorang Nabi.Bahkan ada asumsi yang mengatakan bahwa sebelum bangsa lain masuk ke Jawa dengan membawa agama Hindhu dan Budha di masa awal masehi, dikisahkan bahwa ternyata sudah ada utusan yang membawa silsilah tauhid ke pulau Jawa.
Mengenai Konfusius, apabila mencermati kisah-kisah kebijaksanaannya di atas, bisa jadi asumsi bahwa dia seorang Nabi adalah benar, tapi bisa juga tidak. Alasan mengapa dia dapat dikatakan seorang Nabi adalah karena ajarannya yang sangat mengandung nilai-nilai ilahiyyah. Dia hidup dalam keadaan yatim sebagaimana kisah banyak Nabi dan orang Sholeh, mengajarkan kebaikan-kebaikan yang didasarkan pada persamaan hak, dan berkelana dalam menyebarkannya sebagai indikasi bahwa dia adalah orang yang sedang diutus.
Hal ini diperkuat dengan pernyataannya sendiri bahwa dewa lah yang telah mempercayakan peradaban saat itu kepadanya. Kemudian setelah beberapa waktu ditanggapi muridnya dengan perkataan “Memang ajarannya adalah kebenaran. Oleh sebab itu, banyak juga orang yang tidak dapat menerimanya.” Kata “Dewa” bisa jadi berubah karena proses renkarnasi sejarah yang sangat panjang, sehingga ia berubah dari makna aslinya. Mengenai tanggapan muridnya, ini juga semakin memperkuat asumsi mengenai kenabiannya, mengingat Nabi-Nabi terdahulu juga banyak yang ditolak oleh umatnya.
Mengenai pendapat yang meragukan bahwa ia adalah seorang Nabi, hal ini berdasar karena banyak sejarah yang mencatat Konfusius tidak pernah membahas dan mengajarkan mengenai ketuhanan. Itulah sebabnya ia lebih terkenal dengan sebutan filsuf. Namun hal ini agak kontradiktif dengan cerita Michael C. Tang tentang seruan Konfusius bahwa dia adalah kepecayaan Dewa untuk memperbaiki peradaban masa itu.
Selanjutnya Socrates, ia juga diasumsikan sebagai seorang Nabi. Socrates meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat dua hal: kebaikan dan keburukan. Dalam hal kebaikan Socrates sangat menjunjung perspektif paradoksal. Di usianya yang ke-70, Socrates didakwa oleh pengadilan karena menentang ajaran mengenai Dewa-dewa yang banyak disembah pada saat itu. Ia banyak memberikan pembelaan mengenai sifat ketuhanan dengan beranggapan bahwa tuhan itu monotheisme, sedangkan ajaran bahwa tuhan politheisme adalah ajaran yang salah. Hal ini tentunya memperkuat asumsi bahwa dia memang seorang utusan. Di samping ajarannya mengenai kebaikan-kebaikan, Socartes juga mengajarkan Yunani Kuno mengenai keesaan Tuhan.
Adapun Budha, banyak pakar mempercayai bahwa ia adalah Nabi Dzul Kifli. Di samping mengenai ajaranya untuk menerapkan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksaan selayaknya Konfusius dan Socrates, asumsi bahwa Budha adalah Nabi diperkuat dengan tafsir Surat At-thin Ayat 1. Di sana disebutkan “Demi buah Tin dan buah Zaitun, dan demi bukit Sinai dan kota Mekkah ini yang aman.” Beberapa pakar menjelaskan bahwa buah Zaitun terindikasi ke Yarussalem, Nabi Isa a.s. Bukit Sinai ke Nabi Musa a.s. dan Yahudi. Kota Mekkah menandakan Nabi Muhammad Saw. sedangkan pohon Tin? Ini yang menjadikan para ahli sejarah yakin mengenai asumsi tersebut. karena buah tin sendiri adalah pohon Bodhi. Pohon Bodhi merupakan tempat Budah mendapat pencerahannya. Di samping itu kata “Kifli” dalam Dzul Kifli mempunyai makna Kalavastu (Kapil), tempat kelahiran Budha.
Mengenai asumsi adanya utusan di pulau Jawa, mungkin hanya sekedar asumsi biasa. Dasar dari asumsi ini adalah bahwa sebelum adanya agama-agama yang dibawa orang luar pulau Jawa, mereka sudah memiliki agama Kapitayan. Menurut kisah kuno, agama ini dianut oleh orang Jawa berkulit hitam (ras poto Melanesia keturunan homo wajakensis). Leluhur yang dipercaya penganjur ajaran ini adalah tokoh mitologis Dahyang Semar. Secara sederhana, kapitayan adalah ajaran yang memuja sembahan utama yang disebut dengan Sanghyang Taya. Yang bermakna Hampa atau kosong. Taya bermakna yang abslout, tidak bisa dipikir dan di bayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancra indera. Orang Jawa kuno mengenal dengan devinisi “Tan Kena Kinaya Ngapa” yang bermakna tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. SangHyang taya juga dinisbatkan dengan Sanghyang Tunggal.
Sembahyang yang dilakukan para ruhaniawan Kapitayan berlangsung khusus di tempat yang disebut dengan sanggar (bangunan bersegi empat beratap tumpang dengan lubang ceruk di dinding sebagai lambang kehampaan Sang Hyang Taya). Dalam bersembahyang menyembah Sang Hyang Taya, mereka mengikuti gerakan tertentu: mulanya sang ruhaniawan Kapitayan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati), lalu kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. Setelah Tu-lajeg ini kemudian dilanjutkan dengan proses tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) lumayan lama, lalu prosesi tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir adalah to-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut).
Asumsi mengenai diutusnya Nabi di pulau Jawa sebelum agama-agama masuk memang tidak begitu terbukti, sejauh yang penulis ketahui hanya pada dasar nilai-nilai ilahiyyah dan proses ubudiyyah yang hampir sama dengan Islam (mungkin banyak dasar lain tapi penulis tidak tau). Persamaan-persamaan ini dapat dilihat di buku Prof. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo. Meskipun beliau sama sekali tidak menyebut bahkan menyinggung bahwa ada asumsi di Jawa pernah diutus seorang Nabi.
Sekian, wallahu a’lam bi al-Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar