Soeharto; Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?


Soeharto; Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?

*Tulisan adalah hasil resume dari buku sesuai judul aslinya

(Nama Buku: Soeharto; Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?-- Penulis: Peter kasenda--Penerbit : Kompas--Tebal : 276 Halaman--Persensi : Moh Usman A.R.)

Soeharto merupakan sosok yang cukup fenomenal di Indonesia. Diawali dengan peristiwa SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret), dengan berbagai siasat, ia mengambil alih kemudi pemerintahan. Secara resmi memegang tampuk kepemimpinan Indonesia pada 1968, setelah diangkat oleh MPR yang ia bentuk sendiri sebelumnya. Banyak kalangan menduga bahwa peristiwa G/30/S PKI yang terjadi pada 1965 adalah salah satu kesempatan emas yang tidak disia-siakan oleh Soeharto, bahkan yang lebih radikal ada yang mengatakan bahwa peristiwa yang menggugurkan 7 Jendral tersebut memang merupakan modus Soeharto bekerja sama dengan CIA untuk menyudutkan kaum Komunis dan melengserkan Soekarno yang cenderung anti barat. Terlepas dari itu semua, apa yang dilakukan Soeharto berhasil, di bawah panji propaganda anti komunismenya, ia memegang kendali penuh pemerintahan dan memutar kemudi 160 derajat kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya. Padahal sebelum 1965, ia adalah sosok yang oportunis dan tidak begitu dikenal, bahkan dianggap Jendral yang bodoh oleh A. Yhani.

Misi utama Soeharto di periode pertama jabatannya adalah menstabilkan perekonomian Indonesia yang sudah merosot cukup jauh, hal ini disebabkan pemerintah sebelumnya yang lebih terfokus pada stabilitas politik karena maraknya pertikaian ideologi. Untuk mewujudkan visinya, komunitas donor internasional kembali dibangun, program ini berhasil menarik banyak investor baik domestik maupun luar negeri. Hal ini sangat berdampak pada peningkatan jumlah investasi dalam negeri, sehingga jumlah yang disetujui ialah sebesar 13 $ juta pada 1968, 319 $ juta pada 1970 dan 1.465 $ pada 1973. Bukan hanya di sektor investasi asing, pada 2 dekade setelah kepemimpinannya, Indonesia berhasil memproduksi bahan pangannya sendiri, bahkan bisa mengekspor ke luar negeri.
Posisi yang cukup kuat terutama dalam pengambilan kebijakan ekonomi menjadikan peluang besar baginya untuk memperkaya diri, keluarga dan kroninya. Dengan slogan pembangunan nasional, Soeharto cukup berhasil menjinakkan kaum oposisi jalanan yang pada tahun 1966 sebelumnya cukup vokal mengkritisi pemerintah. Apabila ada beberapa kelompok yang aktif merongrong penyimpangan yang dilakukan, dengan berkoordinasi bersama ABRI sebagai penyokong utama, pemerintah di bawah kendalinya akan memberikan label mereka sebagai penghambat pembangunan nasional.

Wajar jika saat itu banyak kalangan aktivis yang dihukum tanpa proses peradilan, bahkan beberapa di antaranya hilang sampai sekarang. Demikian juga banyak lembaga pers yang diberedel karena liputannya yang dianggap kontra pembangunan.

Disamping itu, menyadari loyalitas ABRI terhadapnya, Soeharto mengimplementasikan Dwi Fungsi ABRI dengan menjadikannya mempunyai peran sosial politik yang sangat dominan. Bukan hanya perwakilannya sebanyak 75-100 anggota di Parlemen, namun juga menempati posisi sentral dalam birokrasi. Pada 1977 posisi jabatan 53,5 % posisi jabatan tinggi negara diduduki oleh tentara. 8.025 anggota ABRI ditugaskaryakan di posisi-posisi strategis. Duta besar 28 (dari 63 jabatan yang tersedia); Konsul Jendral, 4 (dari 16 jabatan yang ada); Gubernur, 18 (dari 27 jabatan yang ada); Bupati, 130 (dari 241 jabatan yang ada); Sekertaris Jendral Departemen, 14 (dari 19 yang tersedia); Direktur Jendral, 18 (dari 61 yang tersedia); Kepala Lembaga, 8 (dari 18 yang tersedia); Asisten menteri dan Sekertaris menteri, 21 (dari 25 yang tersedia). Posisi strategis tersebut menjadikan Soeharto dengan mudah merealisasikan kepentingannya secara legal, mulai dari tingkat nasional sampai di tingkat desa.

Dari sinilah muncul beberapa aturan yang mengharuskan rapat-rapat ormas di kecamatan dan desa-desa harus memiliki izin terlebih dahulu dari Koramil atau Babinsa. Hal ini juga menjadikan Rezim Orde Baru dapat memantau segala pergerakan oposisi yang mengancam kekuasaannya.

Kelihaian Soeharto dalam melanggengkan kekuasaan juga tercermin dari kepandainnya membaca situasi di sekitarnya, termasuk terhadap orang-orang terdekatnya. Soeharto akan menggandeng erat orang-orang yang dapat menjadi pembantu pribadinya untuk mewujudkan visinya, salah satunya seperti Ali Moertopo, L.B. Moerdani, Sudharmono dan lain-lain. Mereka adalah loyalis Soeharto yang akan melakukan segala hal untuk kepentingan Soeharto,  Setelah dirasa mereka memiliki nama dan basis kekuatan besar yang akan mengancam kekuasannya, Soeharto tidak akan segan-segan untuk menyingkirkannya. Sebagaimana yang dialami Sudharmono. Dengan kedudukan Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, Ketua Umum Golkar berada di bawah wewenangnya. Siapapun yang diajukan oleh Soeharto sebagai Ketua Umum, maka dapat dipastikan peserta Munas Golkar dengan suara bulat akan menyetujuinya. Sebagaimana peristiwa tidak dipilihnya kembali Sudharmono sebagai Ketua Umum Golkar, padahal ia telah mensukseskan Golkar dalam Pemilu 1987 atas perolehan suara sebanyak 73%. Sudharmono yang ketika itu juga sebagai Wakil Presiden pastinya akan dapat menjadikan Golkar sebagai partai yang semakin berkuasa.

Namun ternyata Soeharto berpandangan lain, ketakutannya bahwa Sudahrmono akan menjadi ancaman bagi kekuasaannya menjadikannya lebih memilih Wahono sebagai Ketua Umum Golkar, seorang tokoh yang kurang begitu terkenal. Soeharto juga tidak akan segan untuk membuang kroni yang berbeda faham dengannya, khususnya di kalangan tentara, salah satunya adalah dengan membuangnya dengan memindah tugaskan menjadi Duta Besar atau Konsul Jendral di beberapa negara.
Dengan menguasai Golkar secara total, berarti Soeharto juga menguasai Parlemen, meskipun tidak sepenuhnya.

Hal ini berdampak pada segala kebijakan Soeharto, berupa RUU dan produk eksekutif lain yang akan berjalan mulus tanpa perlawanan yang berarti di Parlemen. Penguasaan Parlemen berarti Soeharto tidak perlu takut DPR akan mengajukan hak angket, interpelasi, apalagi pemakzulan terhada dirinya. Inilah yang menyebabkan banyak terjadi penyimpangan ketika Soeharto berkuasa. Meskipun pembangunan dirasa semakin baik, namun korupsi menjalar hampir ke semua instansi, khususnya oleh para birokrat dan pengusaha yang mempunyai afiliasi dengan keluarga cendana. 

Pada akhirnya, krisis ekomoni pada 1997 tidak dapat terbendung. Sebagaimana Orde Lama yang turun karena didera isu ekonomi, demikian juga Orde Baru. Soeharto resmi menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, setelah sebelumnya terjadi kerusuhan, pembakaran dan perkosaan yang dilakukan terhadap kaum yang dianggap non pribumi, ditambah perlawanan oleh kelompok mahasiswa yang melakukan aksi besar-besaran secara silmultan di hampir seluruh pelosok negeri, dengan tujuan utama, Reformasi.

Desakan mundur bahkan juga dilontarkan oleh Harmoko, orang kepercayaan Soeharto, yang menjabat sebagai Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua MPR. padahal belum sampai 100 hari ia melantik Soeharto sebagai Presiden.
Buku ini cukup menjelaskan secara gamblang berbagai upaya yang dilakukan oleh Soeharto  sebagai panglima Rezim Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya. Penulis mengungkap secara detail beberapa fakta berdasarkan referensi terdahulu, khususnya penulis dan pengamat dari luar negeri.

Beberapa fakta tersebut penulis susun membentuk bab-bab, sehingga bisa memfokuskan pembahasannya pada bab yang sedang dikuliti. Namun fakta dan data dalam buku tersebut agak cukup sulit dipahami untuk menemukan jawaban dari bagaimana Soeharto bisa melangengkan kekuasaannya selama 32 tahun? Sesuai judul buku. Hal ini dikarenakan penulis tidak begitu memberikan uraian yang teknis secara ekspilisit jawaban dari pertanyaan tersebut, melainkan ia mencoba menjawab perlahan dengan data-data dan fakta yang ia peroleh dari berbagai sudut pandang. Di samping itu, pemilihan tanggal dari kisah yang tak beraturan cukup membuat pembaca harus bekerja extra dalam menghubungkan satu fakta yang dibeberkan dengan fakta yang lainnya.

Moh. Usman Ainur Rofiq

Share:

Melawan Lupa atau Menolak Ingat?

Melawan lupa atau menolak ingat?
Moh. Usman Ainur Rofiq
(Tulisan semester V)

Melawan lupa! melawan lupa! melawan lupa!
Pasca tumbangnya orde baru di tahun 1998, kata tersebut mulai menjadi viral. Bukan hanya di kalangan para aktivis yang memang sebelumnya getol menyorot pemerintahan orde baru yang cenderung otoriter, sampai rakyat jelata yang tidak tau problematika dan kebobrokannya pun ikut andil bersuara. Padahal sebelumnya, saat Soeharto digdaya, kata itu sudah seperti cacing di dalam tanah, berani keluar, berarti sudah siap di tebas oleh ayam. Saat itu, ketika ada rakyat yang  menuntut suatu kebenaran, maka sama saja dia menuntut keburukan agar ditimpakan kepadanya.

Akhirnya orde baru tumbang lewat suatu adegan perjuangan yang biasa disebut dengan reformasi. Reformasi telah membawa Indonesia menuju wajah baru, baik dari segi politik maupun hukum. Dari segi politik, dengan reformasi Indonesia telah memastikan bahwa politik otoriter Soeharto telah  berhenti dan tidak berimbas pada politik dinasti dan fasisme yang berkelanjutan, di samping itu juga berimbas pada penghapusan dwifungsi ABRI. Pengaruh yang lain adalah kebebasan berpendapat yang semakin terjamin. Tumbangnya orba menjadi pemicu beberapa regulasi yang sebelumnya pro otoriterian, seperti dikeluarkannya Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers, Undang-undang No 36 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang kebebasan informasi. Dari segi hukum meskipun masih cenderung stagnan, namun setidaknya reformasi juga melahirkan lembaga yang pro penegakan hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain-lain.
Namun setiap luka pasti menimbulkan bekas. Luka bisa saja sembuh dengan waktu yang singkat, tapi tidak dengan bekas. Setelah luka sembuh, maka bekas adalah beban selanjutnya yang harus benar-benar dinetralisir atau setidaknya diminimalisir. Demikian juga orde baru.

Orde baru telah banyak menimbulkan bekas-bekas dari luka yang akut. Seperti yang telah dikatakan oleh Ir Soekarno pasca kemerdekaan, bahwa kemerdekaan bukanlah titik akhir dari perjuangan, kesejehteraan rakyat adalah yang utama. Demikian juga perjuangan reformasi, perjuangan menumbangkan politik otoriter bukanlah bersifat final,  menjebloskan pihak-pihak terkait ke sel-sel tahanan adalah salah satu output-nya, tentunya hal ini diperlukan untuk mencegah keburukan-keburukan lain yang akan dilakukan mereka selanjutnya. Namun kenyataannya, era reformasi tidak jauh berbeda dengan orba. Hukum tetap dimiliki mereka yang ber-uang. Para Abri sudah tidak begitu tercium menjadi backing para mafia selayaknya di jaman Orba, namun di era reformasi perannya banyak diganti oleh oknum Polisi Bahkan, jika dahulu korupsi hanya dilakukan oleh satu elemen yang berteduh dibawah pohon beringin, sekarang hampir semua unsur ramai-ramai menguras uang negara untuk kepentingan pribadinya.

Maka dari beberapa hal tersebut, wajar jika muncul slogan perjuangan, “Melawan Lupa!”. Melawan lupa untuk meringkus para penjahat-penjahat HAM di Timor Leste. Melawan lupa untuk meringkus komplotan tikus yang bersenandung ria dengan uang negara. Melawan lupa untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan kasus Hilangnya aktifis 98, kasus HAM Marsinah, Saifuddin, Petani Desa Nipah, Munir dan lain-lain. Melawan lupa untuk mengurung ruang gerak mereka di sel tahanan. Kata melawan lupa terbentang di mana-mana, disuarakan mahasiswa, pengusaha, petani, bahkan band rock Indonesia, Superman Is Dead mendedikasikan video klip di lagu topnya “Sunset di tanah anarki” untuk sebuah gerakan melawan lupa. Bagaimana hasilnya? Kasus munir pasang surut, semakin diusut semakin ambigu. Apalagi kasus Wiji Tukul? Kasus Century?
  
Kejadian tersebut bukan terjadi di orde baru, tapi terjadi di era reformasi, bahkan jauh setelah tumbangnya Soeharto. Namun ternyata sama saja. inilah efek dari bekas luka yang tidak dinetralisir. Kenyataannya sama saja, di era reformasi yang katanya kebebasan bependapat terjamin ini, menyuarakan kebenaran sama saja memancing keburukan. Perbedaanya mungkin hanya pada Rawa ronteknya. Jika saat orde baru, tipu muslihat bernaung di bawah otoriterianisme. Di zaman sekarang, semuanya mengelu-elukan demokrasi. Partai-partai baru berlabel demokrasi. Namun kepicikan dan tipu muslihatnya menghilangkan esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi telah sukses menjadi instrumen tameng politik untuk kepentingannya. Pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan. Rakyat telah tertipu, daya kritis rakyat membisu karna label demokrasi. Bahkan menurut Mahfud MD saat diskusi di salah satu Channel TV swasta, index generasio sekarang adalah  0,435, jauh lebih rendah dari zaman pak Harto yaitu 200.

Maka saat ini kata melawan lupa hanyalah sebuah semboyan, sebagaimana semboyan “jagalah kebersihan” di tempat sampah. Maka yang pertama kali harus dilakukan adalah menetralisir sampah-sampah, dan tidak menjadikannya tempat tersebut sebagai tempat sampah. Setelah itu baru slogan “jagalah kebersihan” akan efektif.

Bukan hanya sampai di situ. Era demokrasi telah membawa banyak perubahan, lebih-lebih paradigma berpolitik bangsa Indonesia. Secara merata masyarakat semakin berani menuntut haknya. Di era ini semua orang bebas bermanuver, lalu dibalas oleh yang berkuasa jika bertentangan dengan kepentingannya. Sehingga tak jarang, masyarakat, lembaga atau partai oposisi menyudutkan pemerintahan yang sudah berjalan efektif secara umum. Maka jadilah mereka penganiaya yang memutar balikkan fakta. Inilah yang disebut oleh Mohammad Shobari dalam essainya dengan “Otoriterianisme populis”. Ibarat cerita, anjing yang mengadu pada tuhannya  karena telah dipukul oleh seorang sufi. Padahal si sufi memukul karena anjing tersebut menggigitnya terlebih dahulu. Selain itu, era demokrasi yang syarat akan kebebasan berpendapat ini, telah banyak membuat orang menyoroti pemerintahan, tapi lupa akan dirinya. Setiap orang menyuarakan anti tirani. Padahal mereka sendiri bertirani. Di zaman inilah seseorang fokus mengkritik pemerintah, tapi mereka sendiri tidak mau dikritik. Pada akhrinya kemajuan yang dicita-citakan hanya sebatas harapan, karena semua pada sibuk dengan pertikaian. Demokrasi malah menjadi lumbung kemunduran bangsa.

Lalu masih efektifkah slogan “melawan lupa”? Apakah harus disuarakan berkali-kali, beribu, berjuta atau disuarakan sampai tiada batas hitungannya? Sejatinya masyarakat yang diam terhadap kebobrokan sama halnya menumbuh kembangkan kebobrokan itu sendiri. Diam memang bijak. Tapi jika ingin bermanfaat maka haruslah bergerak. Dengan pola informasi yang berkembang saat ini, informasi sangat gampang di jangkau oleh siapapun. Di samping itu, dikarenakan juga media yang cenderung tidak profesional. Satu sisi ada yang berada di pihak koalisi, sedang yang lain berada di pihak oposisi.

Maka mau tidak mau masyarakat akan disuguhkan oleh isu-isu kemajuan dan juga kebobrokan pemerintahan secara mendetail. Mau tidak mau masyarakat akan mendengar dan tau bagaimana tipu daya muslihat dalam politik, bagaimana kebohongan yang dijujurkan, bagaimana kesalahan yang di anggap benar.
Hingga tidak ada yang lain ketika menyuarakan kebenaran, menyuarakan melawan lupa, menyuarakan kedzaliman yang dilakukan pemerintahan, kecuali kesia-siaan. Di zaman demokrasi, ketika dituntut rakyatnya, pemerintah akan menjanjikan ia, padahal sebenarnya dalam hatinya sudah berkata tidak. Bisa jadi ketika rakyatnya bersuara, pemerintah akan mencari-cari cara yang sesuai undang-undang agar dia bisa dibungkam. Tidak begitu represif seperti di zaman orba memang, tapi kepicikannya dan bagaimana tipu muslihatnya sungguh lebih menyakitkan.

Maka melawan lupa di zaman ini tidak lain hanyalah kesia-sian. Meskipun memang bangsa seslalu di tuntut untuk bergerak menyuarakan keadilan.
Ibnu Ruslan dalam salah satu syairnya di Matn Zubad berkata : Faalimun biilmihi lam ya’malan, Muadzdzabun min qoblu ubbadil wastan. (Seorang yang punya ilmu, tapi tidak mengamalkan ilmunya, maka akan disiksa sebelum para penyembah berhala). Maka jika mengambil esensi dari syair beliau dan di relevansikan dengan kasus di negeri ini ialah, orang yang tau tapi tidak bertindak, berarti dia lebih bobrok dari orang yang tidak tau apa-apa.

Sedangkan bangsa yang tau, sudah berkoar-koar hanya menjadi bahan tertawa para penguasa, sering kali menjadi olok-olok, tidak ada yang di dapatkan kecuali ke-sia-sia-an. Maka mengetahui kebobrokan di masa ini hanya akan menyakitkan hati. Mau bertindak maka kita yang akan ditindak. Maka lebih baik mana? Betindak untuk melawan lupa, atau lebih baik menolak ingat? Daripada ingat atau tau hanya akan menyakitkan hati karena kita akan lebih parah dari  mereka yang ingat atau tau. Pilihannya adalah, melawan lupa atau menolak ingat?

Share:

Politik Santri dan Stabilitas Negeri

Politik Santri dan Stabilitas Negeri
*Moh. Usman Ainur Rofiq

Sejak era kolonialisme Belanda beberapa ratus tahun silam, kaum sarungan yang oleh istilah mereka kemudian disebut sebagai Islam ortodox sudah aktif mengangkat senjata melakukan perjuangan. Terhitung lebih dari 130 perlawanan yang didentumkan oleh kaum santri semenjak ditangkapnya Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1830. Kyai Umar Semarang, Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, dan beberapa Kyai yang lain adalah ulama yang meneruskan perjuangannyadan  yang kemudian yang melahirkan banyak jaringan ulama Nusantara dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.

Pada akhirnya perjuangan pra kemerdekaan ini mulai berakhir ketika Indonesia terseret masuk pada kemelut perang dunia ke-2. Saat itu kota Hirosima dan Nagasaki dibombardir pada 6 dan 9 Agustus 1945, yang kemudian pada tanggal 14 Agustus 1945 dikiuti oleh menyerahnya Jepang pada sekutu. Hal itu menjadikan alasan para pemuda mendesak Soekarno dan Moh Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Namun, belum genap sebulan, Belanda dan sekutunya dengan alasan ingin melucuti persenjataan bala tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang Dai Nippon, kembali berlabuh di Indonesia.

Hal ini dapat dibaca oleh kalangan reformis sebagai salah satu langkah Belanda agar dapat menguasai kembali Republik Indonesia. Atas usulan Panglima Soedirman, Presiden Soekarno mengirim utusan ke Khadratusy Syaikh K.H. Hasyim As’ary agar memberikan fatwa mengenai Jihad atau perang melawan sekutu. Akhirnya K.H. Hasyim As’ary bersama dengan K.H. Wahab Hasbulloh berupaya untuk mengumpulkan ulama se Jawa-Madura dalam rangka membahas persoalan ini. Pada tanggal 21-22 Oktober 1945 para ulama berkumpul di kantor pusat ANSOR di Bubutan Surabaya, kemudian lahirlah resolusi jihad. Resolusi berisi sebuah perintah diwajibkannya perang (fardhu ain) bagi muslim yang kedudukannya berada dalam jarak 94 KM dari tempat kedudukan musuh (masafatul qosri), adapun yang berada diluarnya ialah wajib untuk sebagian saja (fardhu kifayah), namun apabila orang yang berada dalam jarak 94 belum bisa mengalahkan musuh, maka yang berada diluar jarakpun juga wajib berperang sehingga musuh kalah. Hal inilah yang memacu semangat para pejuang Republik Indonesia, khususnya kaum santri, sehingga api peperangan benar-benar berkobar di Surabaya, dan menjalar ke seluruh pelosok Negeri.

Resolusi jihad kedua
Salah satu landasan semangat terbentuknya resolusi jihad dimasa lampau ialah atas dasar: (1) Ruh Al-tadayun (2) Ruh Al-wathaniyah (3) Ruh Al-taaddudiyah (4) Ruh-Alinsaniyah. Semangat-semangat tersebutlah yang kemudian memantik bara api juang para kaum sarungan dalam membela hak-hak keagamaan dan kebangsaan. Ruh Al-tadayun diartikan sebagai bahwa NU sebagai landasan pacu kaum santri mendorong warganya untuk meningkatkan pemahaman keagamaannya dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang terkandung dalam Islam. Ruh Al-wathaniyah ialah sebagai salah satu nilai-nilai semangat mencintai tanah air, salah satu impelementasinya adalah selalu andil dalam perjalanan panjang perkembangan NKRI, dengan tetap menyadari bahwa nilai keanekaragaman bangsa Indonesia harus dipertahankan. Keaneka ragaman bukanlah kekurangan maupun kelebihan, melainkan sebuah peluang untuk merubah Indonesia menjadi bangsa yang besar, sehingga warga nahdliyin harus menjunjung eksistensi agama Islam dengan tetap menghormati perbedaan, itulah yang disebut dengan Ruh Al-taaddudiyah. Sementara yang terakhir adalah Ruh-Alinsaniyah, ialah semangat untuk mendorong setiap warga NU menghormati setiap hak manusia yang lain.

Sebagaimana fenomena kekejaman bangsa kolonial dapat memicu semangat tersulutnya resolusi jihad di masa lampau, maka kondisi bangsa Indonesia saat ini seyogyanya juga harus memantik semangat untuk memproklamirkan resolusi jihad kedua di zaman ini. Resolusi tersebut tidak harus dihadiri oleh ulama se Jawa-Madura sebagaimana di masa lalu, namun setidaknya diresolusikan sendiri dalam jiwa raga dan diikrarkan dalam hati. Kaum santri sebagai lakon utama harus bisa memegang teguh prinsip tersebut. Resolusi ini bisa berupa berjuang memperbaiki diri menjadi lebih baik, baik dari segi moral, spiritual dan intelektual, sehingga bisa membawa perubahan bangsa terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan sebagaimana tantangan bangsa dewasa ini.

Memperbaiki moral dan spiritual bangsa dapat dilakukan dengan menerapkan nilai-nilai moralitas diri sebagaimana implementasi pelajaran adab yang diajarkan di pesantren-pesantren. Hal ini harus dimulai dari sendiri, dengan harapan jika dilakukan secara continue kemungkinan besar dapat dicontoh dan diterapkan juga oleh lingkungan sekitar. Selanjutnya memperbaiki diri dengan intelektual dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas pikiran, keilmuan dan paham, melalui lebih banyak membaca, berdiskusi mengenai ilmu, baik agama ataupun umum, dan yang juga sangat penting ialah menempuh pendidikan baik formal maupun informal setinggi mungkin. Klimaksnya, jika semua kaum sarungan menerapkan nilai-nilai tersebut, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi panutan terhadap lingkungan sekitar, sehingga bisa memberantas krisis mental dan material yang melanda dewasa ini.
Walau bagaimanapun, tantangan zaman di era digital saat ini sangatlah berbeda dengan yang terjadi di masa lampau. Di era ini, modernitas dipertuhankan, globalisasi yang terkadang penuh konspirasi selalu didengung-dengungkan, persaingan karena perbedaan ideologi, warna kulit, ras dan orientasi politik semakin hari kian memanas, meski beberapa hanya bergerak di balik layar.
Moral, spiritual dan intelektual tidak akan serta merta secara instan dapat membendung kerusakan yang ditimbulkan oleh modernitas. Dibutuhkan instrumen lain sebagai kendaraan untuk merealisasikannya. Hal ini adalah politik. Politik adalah instrumen paling tepat untuk melakukan perubahan positif atau membendung dinamika negatif.

Bagaimanapun, segala hal yang berkaitan dengan regulasi dan orientasi kebijakan  sangat berkaitan erat dengan politik. Maka untuk dapat mengaplikasikan resolusi jihad kedua dengan pondasi 4 dasar diatas, sekaligus untuk menjawab tantangan zaman yang semakin hari semakin tak keruan, jalan yang sangat tepat dan spontan adalah dengan bergerak dan aktif di bidang politik.
Politik Santri Untuk Membendung Kerusakan Sebab Modernitas
“Politics is at the heart of all collective social activity, formal and informal, public and private, in all human group, intituons and societies”, setidaknya demikianlah politik sebagaimana yang didevinisikan oleh Adrian Leftwich dalam What Is Politics?-nya. Dapat dikatakan bahwa politik adalah seni untuk mendapatkan pengaruh dalam penyelenggaran pemerintahan negara. Indonesia sebagai negara dengan system demokrasi sebagaimana yang tertuang dalam falsafah dan konstitusi negara, memberikan kebebasan terhadap siapapun untuk berada di posisi apapun dalam pemerintahan. Hal ini sebagaimana nilai yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Maka ini merupakan pintu yang terbuka lebar bagi kalangan santri untuk bisa mewujudkan Indonesia majemuk yang berpacu pada 4 dasar dengan berjuang di jalan politik.

Sejarah mencatat bahwa suatu kaum yang masyarakatnya tidak begitu peduli terhadap politik, maka kaum tersebut akan sangat mudah disingkirkan dan kepentingannya akan dikesampingkan oleh kaum yang aktif berpolitik. Sebut saja Singapore. Singapore yang penduduk aslinya adalah Melayu, perlahan berubah haluan dari segi budaya, lifestyle dan bahasanya. Tersingkirkan oleh pengaruh Cina dan Barat yang notabene sebagai bangsa pendatang. Bahkan bahasa Melayu sebagai bahasa Asli penduduk Singapore, hanya menjadi bahasa ketiga setelah bahasa Inggris dan bahasa Cina. Demikian juga dalam segi ekonomi, kaum Melayu tidak begitu dapat berbuat banyak hal terhadap hegemoni ekonomi bangsa pendatang. Impact dari kekalahan bangsa melayu dalam berpolitik.

Demikian juga di Indonesia. Meskipun mayoritas beragama Islam. Indonesia merupakan negara multycultural. Banyak sekali perbedaan di Indonesia, mulai dari perbedaan keyakinan, ideologi, suku, juga budaya. Maka akan sangat berbahaya jika arus politik hanya dikuasai oleh kaum yang anti terhadap agama Islam, karena bisa bertendensi akan mengahapus nilai-nilai keislaman yang selama ini mendarah daging di bumi Indonesia. Hal ini terbukti melalui ucapan salah satu politikus beberapa saat yang lalu, yang menyatakan akan menghapus beberapa pelajaran keislaman demi memajukan Indonesia. Demikian juga akan sangat berbahaya jika politik hanya dihegemoni oleh kelompok Islam yang intoleransi dan mengesampingkan kelompok atau aliran kepercayaan lainnya, hal ini hanya akan berakibat pada timbulnya gesekan antar golongan, bobroknya stabilitas keamanan, dan terhambatnya haluan pembangunan negara karena perpecahan.

Soekarno, pada 1 Juni 1945 berkata:  “Hei pak bagus Hadikusumo gak usah nuntut negara Islam, ini negara Pancasila, tapi kalo orang Islam ingin agar di Indonesia ini keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan di dewan perwakilan rakyat, agar hukum hukum di Indonesia ini, masuk aspirasi Islamnya. Sebaliknya hai kamu orang kristen semua, kalo kamu ingin di Indonesia ini ada letter-letter kristen dalam oembuatan hukum, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan di dewan perwakilan rakyat mengarahkan nilai-nilai kristen itu”. Pidato Bung Karno ini membuktikan bahwa salah satu cara untuk memperjuangkan idealisme dan doktrinasi kuat dalam diri individu atapun golongan, salah satunya adalah dengan cara berpolitik. Bukan dengan membuat prahara kericuhan dengan terorisme ataupun yang lain, apalagi makar.

Sedangkan kaum santri sebagai kaum yang notabene sudah dibekali dengan 4 dasar utama sebagai prinsip prioritas, yakni Ruh Al-tadayun, Ruh Al-wathaniyah, Ruh Al-taaddudiyah, Ruh-Alinsaniyah, dan doktrinasi toleransinya dapat dipastikan akan  memposisikan diri berada di tengah-tengah kedua orientasi politik di atas. Hal ini juga sebagaimana yang dideklarasikan beberapa tahun yang lalu oleh kaum sarungan dengan mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sehingga diharapkan Indonesia yang penuh dengan warna dan rentan terhadap perpecahan, stabilitas politik akan lebih kondusif dan bisa lebih fokus pada pembangunan. Di samping itu, kaum santri akan menerapkan moralitas tinggi sebagaimana yang terkandung dalam doktrin Ruh Al-tadayun, sehingga dapat meminmalisir hal-hal yang berbau menyimpang, baik berupa korupsi maupun tindak pidana yang lain.

Di sisi lain, dengan bergerak di kancah politik, kaum santri bisa mengakomodir beberapa kepentingannya, tentunya yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum. Semisal, dapat melahirkan Undang-Undang tentang Pesantren dengan tujuan memposisikan santri dan pesantren dalam keadaan yang setara dengan lembaga pendidikan yang lainnya, atau sebagaimana isu yang sempat mencuat akhir-akhir ini tentang usulan pengadaan Mentri santri. Seandainya lebih banyak kaum santri yang aktif di bidang politik, maka kemungkinan hal-hal tersebut bisa menjadi realita.

Hal yang jelas benar-benar terimplementasikan adalah diadakannya hari santri Nasional sebagaimana KEPPRES RI NO 22 Tahun 2015 oleh Presiden Jokowi, dan dibatalkannya program full day school, yang jika dibiarkan akan memberikan dampak negatif pada proses belajar mengajar kaum santri. Bukan merupakan suatu yang impossible jika di kemudian hari kaum santri lebih aktif lagi di kancah politik, baik dari segi kualitas atapun kuantitas, akan lebih banyak lagi kepentingan-kepentingan kaum santri yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum dapat terakomodir dan terlaksana. Namun yang lebih penting lagi adalah terwujudnya Indonesia yang aman dan damai antar golongan tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai keagamaan sebagaimana dalam unsur 4 diatas.

Share:

Capitalism and Communism


CAPITALISM AND COMMUNISM

Moh. Usman Ainur Rofiq
(Tulisan Semester III waktu masih suka buku-buku kiri)

There is something behind the throne greater than the king himself  -Sir Willian Pit 1770

Era global telah di mulai sekitar abad ke 19, melangkah beberapa abad setelah barat memproklamirkan renaissance. Dimana pada saat itu modernisme sedang berkembang dengan pesatnya. Manusia sebagai aktor utama di sektor ini tentunya tidak ingin hanya menjadi konsumen tetap, mereka saling bersaing satu sama lain untuk mengembangkan diri agar tidak hanya konsumtif dan pasif dalam dinamika perkembangan yang terjadi. Maka tidak heran, di kemudian hari banyak terjadi perang dingin di awal dan pertengahan abad ke 20, hal ini di picu beberapa pertumpahan ideologi dan hasrat-hasrat untuk menjadi determintaor transformasi kemajuan dunia di berbagai lini yang melaju ekspres.

Di lain sisi, Indonesia menyatakan merdeka pada tahun 1945, dan resmi mengangkat presidennya, Ir Soekarnoe pada tahun 1949. Dimana berbagai ideologi yang sudah ada sejak dulu tetap eksis dipertahankan dan ideologi-ideologi baru mulai bermunculan. Tentunya ini merupakan pekerjaan berat untuk Presiden perdana dan negara barunya, agar tidak terjadi pertentangan ideologi hingga menumbang ribuan nyawa seperti yang telah terjadi di berbagai belahan dunia di masa lampau. Lewat pernyataanya, Soekarno mengatakan bahwa dirinya adalah seorang nasionalis, dan dia mentoleransi atas segala bentuk ideologi yang ada di Indonesia, baik nasionalis, religius maupun komunis, selagi tidak menimbulkan kisruh di Indonesia. Sebenarnya hal ini telah di persiapkan sebelumnya oleh Panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) pimipinan Soekarno sendiri yang mencantumkan kata BHINNEKA TUNGGAL IKA di lambang negara dan membuat 5 sila sakti yang salah satunya ialah memuat tentang persatuan Indonesia.

Namun upaya Soekarno tidak berjalan seperti yang diharapkan, prinsip non blok dan ideologi marhaenisme kandas di tengah jalan. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia sebagai objek teori domino di daratan asia,  di samping itu juga karna situasi kecamuk perang dingin di belahan dunia yang mengantarkannya pada dua blok. Blok barat dengan paham liberlais kapitalisnya yang mengagungkan kebebasan individu. Sedangkan blok timur dengan paham sosilais komunis yang berlatang dari teori marxisme tentang kesejajaran kaum borjuis dan kaum buruh dimana alat produksi dikuasai oleh negara.

Selamat datang di system yang membawa kita pada lubang kebinasaan. Kita telah terjebak dalam kapitalisme. Kita harus memanfaatkan peluang sebaik mungkin d izaman yang kapitalis ini dan bla, bla, bla. Seperti itulah yang mungkin sering terdengar, baik di beberapa media, acara formal maupun bangku-bangku pendidikan. Dan tentunya banyak lagi uraian maupun umpatan kata tentang kapitalisme. And... What is The capitalism?

Dalam Divinisinya, Adam Smith seorang bapak ekonom kapitalis asal Skotlandia  mengatakan bahwa kapitalisme adalah sebuah system ekonomi yang menginginkan kendali ekonomi berada di tangan masing-masing pribadi maupun rumah tangga sebagai bisnis pribadi. Jika melihat secara nalar biasa, maka tentunya hal ini tidak lebih cocok dinamakan sebuah system, melainkan sudah fenomena alami yang sudah barang pasti terjadi. Namun ketika coba ditelaah lebih dalam, ternyata memang kapitalisme bukan hanya sebuah dinamika alami, melainkan adalah suatu peristiwa yang memang direka secara prosedural dan sistematis, dengan beberapa jurus dan mekanisme yang dilakukan dalam menghegemoni ekonomi agar trus menjalar, sehingga menjadikan si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.

Salah satunya jurus jitunya adalah: kaum kapitalis membuat sebuah system alat penyedot uang, yakni lembaga perbankan. Lembaga yang menyediakan beberapa pelayanan yang katanya sangat menguntungkan.  Di sana seseorang bisa menyimpan uang dengan aman, dan lembaga memberikan kredit pinjaman bagi mereka yang membutuhkan dengan pajak beberapa persen. System inilah yang kemudian membawa beberapa individu bahkan lembaga sekelas negara di berbagai belahan dunia tercekik.
Dalam realita nyata, expresident Nigeria, Obasanjo setelah meminjam uang pada IMF mengatakan: Jumlah semua yang kami pinjam di antara tahun 1985-1986 adalah sekitar 5M USD, dan pada tahun 2000 kami sudah membayar sekitar 16 M USD, namun kami di beritahu bahwa kami masih berhutang 28 M USD. 28 M USD tersebut terjadi karna ketidak adilan pada suku bunga para kreditor luar negeri. kalau anda bertanya pada saya, apakah yang paling buruk di dunia ini, maka saya akan menjawab compound interest (bunga berbunga).

Mungkin akan terbenak, bagaimana mungkin 5 M USD bisa menjadi 44 M USD dalam jangka waktu beberapa tahun saja? selanjutnya kita akan berfikir bahwa pasti memang karna pajaknya yang sangat tinggi. Namun jika coba dikalkulasi, akumulasi hutang sampai sekian membengkak dari periode tahun peminjaman sampai pengembalian hanya sebesar 15 persen. Yah hanya 15 persen. Bukan 30 persen atau 40 persen. Tentunya fenomena tersebut hanya akan menguntungkan pada pemilik modal dan borjuis luar negeri, dan malah akan semakin mencekik perekonomian masyarakat di Nigeria. UNICEF memperkirakan 0,5 juta anak dibawah 5 tahun meninggal setiap tahun akibat krisis hutang. Itulah salah satu rekaan dari pada sytem kapitalisme. Parahnya, itu adalah legal secara yuridis. Inilah yang disebut yang kaya tambah kaya, yang miskin semakin miskin.

Jurus kapitalisme lain yang juga ampuh adalah disebut pasar modal. Dengan usaha ini seorang pengusaha cukup mencetak kertas saham untuk di jual ke masyarakat dengan iming-iming deviden, dengan persyaratan menjadi emiten, beserta penilaian investor yang sangat ketat. Lagi-lagi ini hanyalah sebuah manipulasi systematis, karna memang yang terjadi hanya perusahan besar dan sehat milik para pengusaha berduit saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal.

Dampaknya adalah, kaum kapitalis secara terang-terangan akan memakan ekonomi masyarakat kecil. menurut Karl marx, dalam persaingan bebas ada hukum akumulasi kapital, atau dalam bahasa sederhananya, perusahaan besar akan memakan perusahaan kecil. Contohnya, di suatu wilayah banyak terdapat toko-toko kecil (toko kelontong) milik masyarakat, akibat pengaruh kapitalisme, maka akan di bangun super market dan mall-mall yang berdiri tegak. Sehingga mengalihkan poros konsumen, konsumen akan lebih memilih belanja ke super market dan mall-mall tersebut yang notabene hanya dimiliki segelintir orang, hal ini yang akan menyebabkan usaha toko-toko kecil gulung tikar dan terbengkalai. Hal tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan dorongan dari dua jurus ampuh para kaum kapitalis, yakni perbankan dan pasar modal. Menurut penelitian, hanya sebanyak 5% saja manusia di dunia yang menikmatinya, tentunya mereka adalah dari kalangan elitis dan borjuis. Lagi lagi, si kaya tambah kaya, si miskin semakin miskin.
Lalu bagaimana dengan komunisme? Apa itu komunisme? Apakah aliran anti tuhan? Atau bagaiamana?. Ya mungkin seperti itulah yang terbenak dalam fikiran banyak orang. Indonesia telah keluar dari jejak terjal komunisme sejak 1965-1966 dalam operasi pembantaian yang sedikit di selewengkan dengan kata “pembersihan”. Di mana pada saat itu, di perkirakan oleh dewan tentara sekitar 450.000 sampai 500.000 anggota komunis dan simpatisan,  atau mungkin orang yang bahkan tak pernah mengenal komunisme juga ikut di bantai oleh tentara nasional maupun oleh mahasiswa hasil propaganda mereka. Hal ini dipicu oleh gugurnya 7 jenderal yang temukan di lubang buaya selang 3 hari setelahnya, dan tuduhan kudeta dewan jenderal yang dilayangkan oleh PKI atas mereka. Hingga secara sah, paham komunisme dilarang di indonesia dengan di tetapkannya TAP MPRS NO XXV/1966 yang menyatakan bahwa marxisme, leninisme (Komunis Internasional/Komintern) dibubarkan dan dilarang di Indonesia. Setalah itu, juga di perkuat dengan UU N0 27 tahun 1999 yang menyatakan secara eksplisit di Pasal 107 c: bahwa barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya dipidana penjara paling lama 12 tahun.

Jadi sebenarnya apakah komunisme? Mengapa sebegitu ketat peraturan negara melarang penyebaran paham komunisme? Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya kita perlu mengetahui sejarah awal dari pada kemunculan maupun penyebaran paham komunisme.  jika system kapitalisme sangat kental dengan suatu upaya terselubung di balik hal yang bersifat alamiyah, maka komunisme adalah suatu system yang memang nampak dan muncul secara jelas dari sebuah konsep hasil pemikiran manusia, dan tidak mungkin bisa terjadi dengan upaya terselubung selayaknya kapitalisme yang mengendus di balik konspirasi politik Amerika yang mulai berjaya pada awal abad ke 19. Namun komunsime tidak demikian, komunisme hanya akan bisa tercapai dengan suatu refleksi paksa yang dilakukan dengan sistemastis dan terpusat.

Hal ini ialah seperti yang telah dikatakan oleh pencetus konsep komunisme, yaitu Karl Marx. Bahwa Komunisme ialah menitik beratkan kepada empat ide: (1) Sekelumit kecil orang kaya hidup dalam kemewahan yang berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya hidup bergelimang sengsara. (2) Cara untuk merombak ketidakadilan ini adalah dengan jalan melaksanakan sistem sosialis, yaitu sistem di mana alat produksi dikuasai negara dan bukannya oleh pribadi swasta. (3) Pada umumnya, satu-satunya jalan paling praktis untuk melaksanakan sistem sosialis ini adalah lewat revolusi kekerasan. (4) Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus diatur oleh kediktatoran partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai.

Dari beberapa keterangan di atas, sudah jelas bahwa Komunisme adalah paham tentang system politik yang menentang pemilikan hak oleh perseorangan dan menggantikannya dengan pemilikan bersama yang di kontrol oleh negara. Paham ini tercantum secara detail dalam disertasi Karl Marx yaitu The communist Manifesto.

Jika melihat dari realita masyarakat di Indonesia yang cenderung mempunyai persepsi bahwa komunisme ialah sama dengan atheisme atau anti tuhan, maka hal tersebut jika dilihat dari kacamata realistis dan devinitif tentu tidak dapat dibenarkan. Namun tidak demikian jika dilihat dari segi historys, salah satu pengaruh paham Marxisme sendiri adalah Darwinisme, yang lahir dari Carles Darwin yang mengingkari adanya penciptaan, bahkan Karl marx sendiri pernah menyatakan bahwa agama adalah candu rakyat. Sehingga hal itupun diikuti oleh pengikut sejatinya, yang juga merupakan pelopor obor Komunisme Dunia, seorang revolusioner Rusia, Vladimir Lenin dan penerusnya Joseph Stallin, demikian juga seorang nomar satu China di pertengahan abad ke 20 yakni Mou Zedong.

Komunisme lahir sebagai penentang system kapitalis yang cenderung berat sebelah. Pertama diproklamirkan lewat sebuah revolusi besar-besaran di Rusia pada awal abad ke 20. dengan pastisipasi masyarakat yang sangat antusias. Hal ini karna konsep yang di tawarkan memang sangat menjanjikan bagi ekonomi masyarakat pada saat itu yang mayoritas  berprofesi sebagai petani dan buruh. Dari luar tidak ada yang salah dengan teori komunisme, tapi setelah menelisik lebih dalam, ternyata system yang ditawarkan dalam konsep komunisme tidak semudah memahami 4 ide inti sosialisme seperti yang di dengungkan oleh Karl Marx, bahkan seakan harapan-harapan manis yang tersimpan dalam ideologi sosialis-komunis remang-remang yang tak pernah menyentuh kenyataan.

Hal ini dapat dilihat dari segi historys yang terjadi. Di daratan Asia, China sebagai basis komunisme terbesar kedua setelah Rusia, dipimpin oleh seorang revolusioner pengagum sejati teori Darwinisme, Marxisme dan Leninisme, yaitu Mou Zodang, yang juga sebagai rekan akrab dari Joshep Stallin, pemimpin Komunisme Rusia yang bertanggung jawab atas kematian puluhan juta rakyatnya.

Sebagai pengagum teori komunisme, Mou selalu melakukan propaganda positif, bahwa dengan system komunisme, perubahan besar bukanlah mimpi. Dengan prinsip kepemilikan oleh negara, Mou mulai menerapkan kebijakan penyitaan pemilikan pribadi milik warga oleh pemerintah, segala barang berharga khususnya yang dimiliki oleh para borjuis dan semuanya di serahkan kepada negara. Tidak sampai disitu, pada saat sekitar tahun 1958 Mou mendeklarasikan sutau kebijakan super power yang bertajuk lompatan besar kedepan.
Dari kebijakan ini, pertama yang lakukan oleh Mou adalah dengan kembali mengeluarkan kebijakan penyitaan seluruh hasil industri yang ada, dan memberikan rekomendasi kepada warga untuk melakukan pertanian secara bersama, pertanian secara individu dilarang atas nama negara. Komunisme dimasa itu telah merebut fanatisme warganya dengan beberapa giuran akan perubahan. Dalam masa proses, pemerintah memberikan rekomendasi kepada warga untuk membunuh seluruh burung pipit yang ada, sebagai salah satu upaya agar hasil panen bisa maximal, dan pemberian iming-iming gelar seorang komunis sejati kepada warga yang memburu burung pipit paling banyak. Di samping itu, pemerintah juga mengadakan semacam lomba untuk hasil panen terbanyak kepada warga yang telah dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Hal-hal tersebut yang kemudian menjadikan fanatisme warga China terhadap komunisme di masa itu membeludak.

Setelah melakukan pertanian bersama, dengan dalih bahwa ketersediaan pangan telah cukup, maka Mou Tse Sung (Zo Deng) dengan kebijakan “lompatan besar ke depannya” menghimabu seluruh masyarakat untuk turut bersaing menjadi partisipan pemerintah dalam melakukan pembangunan dengan memerintahkan seluruh warga tanpa terkecuali, untuk meninggalkan ladang pertanian dan membuat baja berdasarkan kelompok-kelompoknya yang kemudian akan di jadikan sebagai bahan dasar pembangunan. Hutan-hutan di gunduli sebagai kayu bakar, lahan-lahan tandus tak terawat, profesi-profesi penting seperti dokter dan lain-lain harus bekerja extra diluar jam kerjanya demi sosialisme yang di tawarkan oleh Mou.

Namun kebenaran bahwa maju bersama dengan system komunis hanyalah mimpi mulai terkuak, masyarakat mulai kelaparan karna sudah kehabisan bahan pangan, pemerintah yang menyatakan bahwa pangan sudah cukup tersedia ternyata hanyalah kebohongan semata, sehingga kelaparan terjadi dimana-mana, 40 juta orang mati kelaparan dalam 2 tahun. Sebuah bencana kelaparan terhebat sepanjang sejarah terjadi ditanah yang subur seperti china. Ulah dari mimpi lompatan besar kedepan oleh Mou, bapak komunis China.

Parahnya, kekurangan pangan bukanlah faktor utama dari kematian 40 juta orang dimas itu. Kelaparan yang paling parah ialah banyak terdapat di beberapa wilayah penentang kebijakan komunisme Mou, karna memang sebagian hasil pangan yang telah diserahkan oleh masyarakat ternyata memang sengaja disimpan sebagai balasan penghianatan kepada komunisme. Sangat masuk akal karna komunisme hasil pemikiran seorang Karl Marx juga mengadopsi pada Darwin dengan teori revolusinya, yang menyatakan bahwa manusia tidak ubahnya hanya bentuk transformatif dari seekor kera. Manusia hanyalah hewan, maka siapa yang kuat, ialah yang menang. Hal ini juga senada dengan ide yang di tawarkan Karl Marx bahwa komunisme tidak akan pernah terjadi tanpa adanya revolusi kekerasan. Hal inilah yang menggiring pemikiran para tokoh komunis, sehingga dalam sejarah ia harus bertanggung jawab atas kematian puluhan juta masyarakatnya karna kebijakan sosialisnya.  

Itu merupakan salah satu contoh kecil sebuah lembaran realita yang di tulis oleh pena-pena hayalan akan perubahan tanpa pertimbangan. Sebuah arah yang secara logika akan membuat fikiran melayang karna janji manis perubahan, namun tentunya pertimbangan panjang adalah segalanya. Lewat komunisme, sejarah telah membuka pintu pengetahuan bahwa teori tanpa pertimbangan panjang sama saja rencana menuju kehancuran. Namun jika dipandang dari sisi yang lain, sebenaranya teori komunisme memang cukup masuk akal. Hal ini bisa dilhat jika seandainya memang sosialisme yang di tawarkan oleh Karl Marx berhasil, pastilah keadaan hidup dalam masyarakat akan sangat sejahtera, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Tapi walau bagaimanapun sejarah telah menampakkan awan gelap bahwa system komunis memang tak sesuai untuk di gunakan dalam kehidupan berbangsa, mengingat kaharusan diktator proletariat yang tidak boleh tidak bisa di tinggalkan.

Tulisan di dasarkan pada: kudeta Soekarno dan kebohongan sejarah, sejarah berdarah komunisme, crash course.

Share:

Oposisi Mahasiswa

OPOSISI MAHASISWA
Moh. Usman Ainur Rofiq
(Tulisan Semester V)

Sejarah mencatat bahwa perubahan besar yang terjadi di Indonesia tidak luput dari peran pemuda, khususnya mahasiswa. Mulai dari proklamasi kemerdekaan, pergantian dari orde lama ke orde baru, peristiwa Malari, Reformasi, dan beberapa peristiswa penting lain yang seandainya tidak terjadi, maka tentu tidak bisa dibayangkan seperti apa kondisi Indonesia saat ini.

Dalam suatu pemerintahan berdemokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Suatu keputusan yang mengatasnamakan negara tidak boleh dipertimbangkan hanya berdasarkan kepentingan pribadi dan golongan, namun harus benar-benar objektif demi mewujudkan kemaslahatan bersama. Rakyat yang terbagi-bagi dalam suatu golongan dengan beberapa perbedaannya, baik karakter, status sosial, kepentingan, lingkungan, adat dan lain-lain tentunya akan menerima konsekuensi yang berbeda dari setiap keputusan yang diberikan. Kaum petani akan merasa tidak diuntungkan dengan menurunnya harga bahan pangan, namun tidak dengan konsumen. Demikian juga kaum pengusaha tidak akan merasa diuntungkan dengan naiknya upah minimum regional, namun tidak bagi kaum buruh. Maka diperlukan suatu pertimbangan dengan kajian yang sangat matang bagi seseorang pemimpin agar keputusan yang akan dikeluarkan nantinya bisa memberikan manfaat secara umum dan meminimalisir kerugian di antara beberapa perbedaan tersebut.

Untuk mendapatkan pertimbangan yang akurat dan jitu, tentu seorang pemimpin tidak bisa terlalu konfiden dengan hanya melibatkan dirinya dan kroninya, akan juga membutuhkan suatu perspektif yang berbeda dengan melibatkan oposisi. Seorang pemimpin yang benar-benar ingin membangun dan melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, pasti merasa sadar akan pentingnya oposisi. Sebuah kebenaran subjektif, terkadang merupakan kesalahan objektif.  Kemaslahatan bagi suatu kaum secara devinitif dan praktis cenderung berbeda dengan kaum yang lain. Maka dari titik inilah terkadang seorang pemimpin salah dalam membuat pertimbangan dan mengambil  kebijakan. Disinilah urgensi oposisi yang notabene sebagai marjial dan non kroni harus diberikan ruang. Biasanya oposisi cenderung melihat sesuatu dari arah yang berlawanan, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang ada diolah menjadi sebuah kebijakan menjadi lebih komprehensif dan tidak berat sebelah.

Dalam prakteknya, kehadiran oposisi selalu mengundang pro dan kontra, beberapa pihak akan mengatakan bahwa oposisi hanyalah pihak pengacau (disruptive force), bukan kekuatan yang akan membangun (contsructive force). Keberadaan oposisi dianggap menghambat program pemerintahan, memberikan stigma negatif, dan merusak tatanan yang sudah pakem. Sedangkan  pihak lain yang pro menanggap bahwa oposisi adalah bagian terpenting dalam system pemerintahan, agar ada check and balance. Sebenarnya jika seorang pemimpin benar-benar ingin membangun, maka kiranya sangat cocok ucapan Deng Xiaoping, “Tidak peduli kucing hitam ataupun putih, asal bisa mengankap tikus, maka itulah kucing yang baik”. Tidak peduli bagaimana stigma, tatanan system pemerintahan, siapa yang berkuasa, semuanya bukanlah persoalan, asalkan bisa memberikan dampak positif, maka itulah yang harus dicapai.

Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok masyarakat harus bisa memposisikan diri sebagai oposisi  pemerintah, karena dengan paradigma tersebut, secara otomatis akan terbangun daya kritis, observatif dan investigatif terhadap setiap kebijakan yang dibuat. Seyogyanya pemerintah harus mengakui hal itu dan memberikan kesempatan terhadap setiap manuver yang dilakukan. Lebih dari itu, mahasiswa harus bisa menjadi oposisi bukan hanya yang dilakukan oleh pemerintah, namun terhadap setiap ketidak-adilan yang ada di masyakarat. Idealisme sebagaimana yang dibangga-banggakan haruslah sejalan dengan kebijaksanaan dan pertimbangan yang matang, sehingga pola gerakan yang akan dicapai ialah mewakili kemaslahatan umum, bukan kepentingan pribadi dan golongan.
Namun tidak demikian apabila pola gerakan mahasiswa hanya dilakukan untuk kepentingan pribadi dan golongannya, apalagi hanya untuk menunjang eksistensi, bukan disertai pertimbangan objektif dan kajian yang matang. Maka hal tersebut sama saja akan mencoreng mukanya sendiri, karena bisa saja mereka akan mengusut hal yang sudah baik secara umum, untuk digantikan dengan hal yang tidak baik. Imbas dari sikap kritis yang tidak barengi dengan daya observatif dan objektifitas.

Dengan demikian, oposisi yang baik adalah oposisi yang tidak mencampur adukkan daya kritis dan penilaiannya terhadap gejala sosial yang ada, dengan kepentingan pribadi dan golongannya. Mereka harus benar-benar objektif dalam merumuskan masalah, didasarkan pada data, fakta dan dampak jangka pendek ataupun panjang. Sehingga pola kritisnya pun kemudian akan solutif dan masuk akal. Karena seyogyanya kaum kritis bukanlah mereka yang pintar mencari kesalahan, tapi mereka yang teliti dan cermat dalam menghadapi persoalan.
Kalangan mahasiswa
Kehidupan mahasiswa secara esensial adalah untuk berkembang, bukan hanya untuk kuliah dan mendengarkan dosen ceramah, atau bukan aktif dalam berorganisasi semata. Dua hal tersebut adalah unsur kuat yang sangat berpengaruh untuk perkembangan mahasiswa itu sendiri, baik secara intelek, attitude dan networking.

Tidak luput dari itu, ialah adanya budaya politik di kancah mahasiswa. Politik dan mahasiswa memang tidak dapat dipisahkan, Walau bagaimanapun para politikus yang berkeliaran di parlemen hampir seluruhnya adalah mantan mahasiswa. Maka dari itu, berpolitik di kampus agaknya memang merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan mahasiswa.

Politik ada untuk memberikan perubahan, bukan untuk mewujudkan sebuah kepentingan dari golongan dengan langgengnya kekuasaan. Sebuah teori klasik yang seharusnya dijalankan. Dalam prakteknya hal itu sangat berbanding terbalik, baik di tingkat tertinggi di parlemen, maupun kancah mahasiswa. Mahasiswa sebagai oposisi kuat pemerintahan, seperti hafal betul akan setiap celah dan kekurangan yang dilakukan pemerintah. Sehingga lahirlah turun kejalan, orasi mengecam, merasa pemerintahan yang dijalankan bobrok, menuntut pembubaran tirani, sampai bertindak anarkisme dan membuat kerusakan. Namun sayang, ibarat pepatah lama, ketika manusia menunjuk keburukan terhadap manusia yang lain dengan telunjuknya, maka sama saja dia menunjuk terhadap dirinya sendiri dengan jempolnya. Banyak mahasiswa menuntut keadilan terhadap pemerintah, tapi terkadang lupa banyak ketidak adilan yang telah mereka lakukan.

Mahasiswa berorasi tunggang langgang untuk hak yang tidak dipenuhi, padahal hak orang lain mereka makan tanpa perasaan. Bagaimana mungkin mereka berteriak anti tirani, tapi mereka sendiri bertirani. Tidak peduli apa yang dilakukan sejalan atau tidak dengan idealisme perubahan, norma berperilaku, dan nilai keagamaan yang di pelajarinya, dengan beberapa konsipirasi, mereka berusaha melucuti oposisinya. Daya kritis yang sangat tajam untuk sebuah keadilan di pemerintahan, ternyata sangat tumpul untuk menghadapi diri sendiri dan kepentingannya. Oposisi dihancur leburkan tanpa perlawanan, dibiarkan tidak berkutik sama sekali. Sehingga mereka bisa dengan leluasa melancarkan kepentingan golongannya.

Sejatinya, oposisi dalam ranah politik mahasiswa harus diberikan ruang geraknya, hal ini bertujuan agar segala gerak-gerik dan manuver pemimpin mahasiswa yang berkuasa bisa terkontrol dengan baik dan segala kebijakan tidak berat sebelah, sehingga bisa memberikan kemaslahatan untuk mahasiswa secara umum, bukan hanya beberapa golongan saja

Share:

Aktif dan Pasif

AKTIF DAN PASIF
Moh. Usman Ainur Rofiq

Awal Januari tahun 2016, Mirna terkapar diatas sofa salah satu cafe dengan busa putih mengalir dari tubuhnya. Berdasarkan asumsi pertama, dia terkena serangan stroke. Terasa aneh karena sebelumnya Mirna dalam keadaan sehat dan tidak terindikasi mengidap penyakit apapun. Setelah beberapa waktu, atas permohonan penyidik, akhirnya keluarga Mirna sepakat untuk digali kuburannya dan dilakukan autopsi. Berdasarakn hasil autopsi, dalam lambung mirna ditemukan zat Sianida sebanyak 0,2 miligram, Sianida itulah yang telah membuat organ tubuh Mirna, terutama otak tidak bisa menyerap oksigen sehingga  mengantarkannya pada alam baka. Dalam beberapa kisah yang lain, hal itu juga yang terjadi pada pemimpin fasisme Jerman, Hitler. Sebagaimana versi Soviet, bahwa Hitler dan keluarganya terindikasi mati butuh diri dengan menenggak racun sianida.

Kisah selanjutnya, tentunya kita pernah melihat tanaman kecil dengan daun yang lebat dan hijau, namun dalam jenjang waktu yang tidak begitu lama, daun-daun tersebut hanya tinggal beberapa tangkai saja, atau bahkan sudah habis dalam seketika, ternyata hal itu disebabkan oleh ulah seekor ulat kecil, yang bahkan besarnya tidak sebanding dengan ranting daun tanaman tersebut.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin massa sianida yang hanya 0,2 miligram bisa mangalahkan sekitar 5 liter darah dalam tubuh manusia dan mematikan semua organnya, yang padahal jika dibandingkan massa diantara keduanya tidak sampai 1/0,01%. Lalu bagaimana mungkin seekor ulat yang besarnya tidak sebanding dengan ranting daun tanaman, bisa melahap hampir seluruh daun ditanaman tersebut.
Di dunia ini, manusia dan alam cenderung berada diantara dua pilihan. Alam mengenal siang dan malam, bumi dan langit, panas dan dingin, dan sebagainya. Manusia mengenal  baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek dan seterusnya. Diantara alam dan manusia ada dua sisi yang sama-sama terdapat pada keduanya, hal itu adalah aktif dan pasif.

Darah dan semua organ yang massanya sangat besar, tidak berfungsi dalam seketika saat  berhadapan dengan sianida yang hanya segelintir. Daun pohon habis dalam sekejap hanya karena ulah ulat yang padahal besarnya tidak sebanding dengan batang daunnya. Artinya ketika dua komponen berhadapan, dia tidak akan pernah lepas dari statusnya sebagai komponen aktif ataupun pasif. Darah dan organ tubuh menjadi aktif ketika berhadapan dengan nutrisi, tapi pasif ketika berhadapan dengan zat racun. Pohon dan daun akan menjadi aktif ketika berhadapan dengan siraman air, tapi tidak ketika berhadapan dengan jenis makhluk hidup yang lain. Sedangkan manusia sifatnya flexible. Faktor aktif dan pasif yang menentukan adalah dirinya sendiri. Artinya ketika manusia berhadapan dengan siapapun, dia bisa melakukan apapun. Dialah yang akan menentukan apakah dia  akan menjadi komponen yang aktif atau pasif, itulah yang juga disebut sebagai Ikhtiyar.

Menjadi pasif atau aktif adalah pilihan setiap orang, namun perlu disadari nilai perubahan suatu kaum juga sangat ditentukan oleh bagaimana semangat keaktifan yang ada pada kaum tersebut. Kecendrungan yang ada adalah bahwa kaum yang aktif akan berada di atas, bahkan  sangat gampang untuk menguasai kaum yang pasif, selagi si pasif tidak berusaha untuk membalikkan keadaan. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia dibedakan berdasarkan kepentingan dan golongannya. Golongan yang hanya pasif tidak mencoba untuk berjuang, hanya akan menjadi tirisan korban kepentingan golongan yang aktif, karena dia hanya diam menerima segala sesuatu yang ada, bahkan ia terkadang harus melakukan sesuatu yang sudah jelas tidak baik untuknya, dan ini akan terus terjadi selagi dia tidak berusaha untuk berubah menjadi komponen yang aktif.

Perubahan positif dan semangat keaktifan ibarat benda dan bentuknya. Tidak dapat dipisahkan. Suatu benda pasti ada bentuknya, demikian juga adanya bentuk adalah indikasi dari adanya  benda. Keaktifan disini tidak bisa hanya diinterpretasikan sebagai satu lagam yang ketika dilakukan maka akan tercapai suatu kemajuan. Namun mempunyai dimensi yang lebih luas. Butuh beberapa tahapan agar sifat pasif bisa bertransformasi menjadi aktif. Meskipun tidak dipungkiri, cukup dengan berani melakukan satu tahapan saja, setidaknya akan memberikan dampak positif yang signifikan.

Sebagai contoh, Indonesia adalah negara bekas jajahan kolonial Belanda selama hampir kurang 3,5 abad. Jumlah Belanda di Indonesia saat itu bisa jadi hanya sekian persen dari jumlah seluruh rakyat Nusantara. Tapi dikarenakan masih banyak rakyat yang memilih sikap pasif, akhirnya belanda sebagai komponen aktif bebas mengekploitasi alam Indonesia dan melakukan banyak kelaliman. Seandianya pada saat itu banyak manusia memiliki jiwa aktif sebagaimana Pangeran Dipenegoro, Cut Nyak Dien, Kapiten Pattimura dan pahlawan-pahlawan yang lain, maka mungkin kenyataan akan berbeda. Meskipun pada akhirnya hal tersebut benar-benar terjadi, pahlawan revolusi kemerdekaan benar-benar membalikkan keadaan bangsa dari pasif menjadi aktif, dan itu tidak dilakukan dengan satu lagam dan tahapan.

Keaktifan sebagai transformer disini bisa berupa aktif dalam ber-intelek melalui jalur pendidikan, aktif secara fisik melalui jalur pergerakan dan perang, bisa juga aktif dalam kepedulian sosial dengan cara memberikan bantuan, baik material ataupun transfer pemikiran. Ketiga unsur tersebut bersifat imperatif, artinya ketika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka level pasif cukup sulit untuk diupgrade menjadi aktif.

Kiranya asumsi dasar bahwa salah satu jalan menuju kemajuan adalah berusaha menjadi komponen yang aktif dalam segala hal tidak bertentangan dengan Al-Quran, sebagaimana dalam An-Nisa Ayata 95 sangat jelas, yang pada intinya menerangkan bahwa tidaklah sama kedudukan orang-orang yang hanya duduk manis dengan orang yang berjuang dijalan Allah. Sedangkan dalam Surat Al-Rad Ayat 11 juga secara explisit dijelaskan bahwa Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Artinya yang harus dilakukan oleh manusia untuk mencapai suatu kemajuan positif adalah dengan berusaha. Adapun usaha yang kompatibel untuk menjadi aktif adalah dengan merealisasikan unsur-unsur sebagaimana tersebut diatas.

Permasalahannya adalah bahwa manusia cenderung membiarkan hal kecil dan menganggapnya tidak begitu penting, padahal manusia tidak mungkin tersandung oleh batu sebesar gunung, atau juga tidak mungkin kelilipan oleh debu sebesar lemari. Artinya hal kecilpun jika dianggap remeh, bisa menjadi masalah besar. Itulah kemudian yang biasanya menjadi celah sehingga mengantarkan si aktif menjadi pasif, atau membuat si pasif tetap dalam stagnasi. Maka mengubah sudut pandang adalah salah satu solusi agar menjadikan setiap langkah bisa berdampak positif. Salah satu caranya adalah dengan melihat krikil sebagai gunung dan debu sebagai lemari. Sebuah analogi dari kepekaan dan kewaspadaan.

Peka adalah instrumen untuk melihat kesempatan. Karena bagi orang yang tidak peka,  kesempatan adalah  kasat mata. Orang yang tidak peka akan sangat sulit untuk menemukan kesempatan, kecuali kesempatan yang benar-benar ada di depan matanya, dan itu sangat jarang terjadi. Sebaliknya, orang yang peka akan sangat gampang mencerna dan menemukan kesempatan, sekecil apapun. Karena kesempatan tidak selalu datang seperti bongkahan es yang sudah siap untuk dijual, namun terkadang masih berupa cairan-cairan yang masih perlu untuk dibekukan.

Demikian juga kewaspadaan. Jika kepekaan digunakan sebagai alat penghantar perubahan. Maka waspada bukan hanya berfungsi sebagai tali pengekang untuk mengukuhkan posisi, namun sangat berguna dalam segala kondisi. Waspada tidak harus selalu curiga dengan apa yang terjadi, namun harus siap siaga terhadap segala sesuatu yang akan terjadi. Setidaknya waspada bisa menjadi solusi terbaik untuk menganulir setiap problem sehingga mengurungkan  kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Maka manusia harus selalu berusaha untuk menjadikan dirinya seorang yang ber-intelek, aktif bergerak untuk kemajuan, dan peduli pada lingkungan. Hal itu akan sangat mudah diraih jika dia benar-benar peka dengan keadaan sekitar dan waspada dalam menghadapi persoalan. Jika semua hal tersebut dilakukan, maka manusia yang sifat aktifnya flexible, niscaya bisa menjadi sianida dalam tubuh manusia sebagai representasi lingkungan sekitar, ataupun dia bisa menjadi ulat diatas tumpukan daun sebagai analogi dari kehidupan. 

Share:

Menakar System Presidensialisme Multi Partai di Indonesia

(Tulisan adalah hasil resume buku sesuai judul aslinya)

Judul Buku : Menakar sistem presidensialisme multi partai di Indonesia. Upaya mencari format demokrasi yang yang stabil dan dinamis dalam konteks Indonesia-Penulis : Jayadi Hanan.-Penerbit : Mizan-Tebal: 407 halaman.-Peresensi: Moh Usman Ainur Rofiq.

Setiap negara berhak menentukan system kenegaraannya masing-masing, tergantung dari konsensus masyarakat dan sejarah berdiri negara tersebut. Demokrasi dan monarki merupakan salah satu jenis kekuasaan. Sementara dalam jenis kekuasaan demokrasi, dikenal dengan beberapa system: presidensial dan parlementer. Perbedaan mencolok dalam kedua system ini adalah bahwa dalam system presidensial posisi Presiden dan Parlemen ialah setara,  demikian juga Presiden dipilh langsung oleh rakyat, maka oleh sebab itu, Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat, demikian juga Presiden berhak memilih anggota kabinetnya, dan mereka bertanggung jawab langsung terhadap Presiden. Dalam system parlementer, eksekutif dipilih oleh parlemen dan  bertanggung jawab terhadap parlemen, dan parlemen dapat mengeluarkan mosi tidak percaya untuk menjatuhkannya.

Semenjak bubarnya demokrasi parlementer tahun 5 Juli 1959 melalui dekrit Presiden Soekarno, Indonesia beralih memakai system presidensial, yang saat itu lebih dikenal dengan demokrasi terpimpin. Gagalnya demokrasi parlmenter di Indonesia kala itu disebabkan oleh  kepentingan Presiden Soekarno dan militer yang tidak senang terhadap partai politik, karena masing-masing lebih mementingkan ideologi mereka sendiri daripada persatuan bangsa. Lagipula Soekarno menganggap bahwa system parlementer sama saja seperti demokrasi liberal yang tidak cocok diterapkan di Indonesia yang lebih mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan. Pada saat itu, fungsi legislatif memang masih ada, namun sekedar pemberi legitimasi pada eksekutif.

System ini kemudian dilanjutkan oleh Soeharto, melalui kedigdayaannya, Soeharto secara perlahan mereduksi kompetensi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hal ini berdampak pada lolosnya agenda-agenda pemerintah tanpa perlawanan serius dari DPR, dalam kurun waktu tahun 1966-1992 (26 tahun), tercatat DPR hanya melaksanakan hak bertanya, interpelasi, pendapat dan angket sebanyak 99 kali, dengan persentasi sekitar 65% dipakai pada periode kepemimpinan pertama Soeharto, 1966-1971, ketika anggota DPR masih banyak terdiri dari simpatisan Soekarno. Disamping itu, di awal kepemimpinannya pada periode kedua di tahun 1971 sampai ketika digulingkan oleh kekuatan mahasiswa pada 1998, proses restrukturasi politik dan kekuasaan legislasi dilegitimasi oleh  pemerintah, DPR sama sekali tidak pernah mengajukan RUU, semua berada di bawah monopoli eksekutif.

Pola seperti ini cukup bisa menyejahterakan rakyat, hal ini diindikasikan dengan ekonomi yang tumbuh diawal kepemimpinannya, swasembada pangan, suksesi pembangunan dan keamanan nasional. Nilai minusnya adalah banyaknya korupsi, nepotisme dan kolusi secara besar-besaran oleh eksekutif dan kroninya, kurangnya kebebasan berpendapat, bertambahnya kesenjangan sosial, salah satu akibat tidak efektifnya check and balance antara eksekutif dan legislatif. Setelah lengsernya Soeharto, Indonesia memasuki babak baru, system presidensial Indonesia kemudian diperkuat kembali dengan beberapa upaya, salah satuya adalah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan beberapa rekontruksi Undang-undang yang berkaitan dengannya.

System presidensial lebih banyak dipakai di Amerika latin, sedangkan di Indonesia system ini dipadu dengan pola multi partai, salah satu perpaduan system yang sangat dihawatirkan oleh para pakar. Hal ini karena banyaknya kelemahan yang dapat memicu instabilitas politik, termasuk rentannya kemandekan agenda-agenda pemerintah, terbukanya kran deadlock antara eksekutif dan legislatif, demikian juga dikhawatirkan negara cenderung hanya akan fokus pada politisasi kekuasaan dari pada pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya.

Kenyataannya, perpaduan system tersebut tidak selalu berdampak negatif. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh pola kepemimpinan Presiden, bentuk konstitusi dan pola komunikasi partai politik. Perpaduan system tersebut cukup efektif pada awal mula genderang demokrasi yang diindikasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat mulai diterapkan, dengan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY yang pola kepemimpinannya akomodatif, mengedepankan kompromi konsensus dan cenderung menghindari konflik dengan partai lain cukup kompatibel dengan system ini. Menyadari perolehan suara di periode pertama partai pendukungnya hanya sebesar 7,45%, SBY segera merangkul beberapa partai besar sebagai koalisi, dengan parameter peletakan Menteri-Menteri partisan pendukung di kabinetnya.

Banyak kalangan yang menilai bahwa langkah ini lebih bertujuan untuk keseimbangkan politik ketimbang prioritas kesejahteraan rakyat, namun kalangan lain mengatakan bahwa ini merupakan langkah perlahan Presiden untuk memuluskan agenda-agenda pemerintah agar setiap program yang diajukan nanti dapat disetujui oleh DPR, khususnya oleh partai yang kadernya diberikan posisi sebagai Menteri. Realitasnya pemerintahan SBY tetap stabil hingga akhir periode dengan banyak program yang dihasilkan, meskipun di periode kepemimpinannya partai politiknya di parlemen sangatlah minim, bahkan SBY kembali dipercaya oleh rakyat untuk memimpin di periode selanjutnya.

Kontitusi Indonesia yang mengimplementasikan pemilihan langsung oleh rakyat, mengatur hak preogratif Presiden dalam memilih Menteri, dan beberapa hal lain, telah mencerminakn system presidensial, meskipun tidak dapat dikatakan sebagai presidensial murni. Demikian juga kebiasaan warga Indonesia yang selalu mengedepankan musyawarah mufakat juga menjadi pemicu utama suksesi system ini diberlakukan di Indonesia.

Kebuntuan relasi antara legistaltif dan eksekutif sebagaimana yang ditakutkan selalu dapat diselesaikan dengan serangkaian proses politik yang mencerminkan asas gotong royong, walaupun terkadang memakan waktu yang cukup lama. Setegang apapun hubungan legisltatif dan eksekutif dapat teratasi karena pola kepemimpinan dan pengambilan keputusan di berbagai partai politik sudah tidak begitu ideologis, melainkan lebih pragmatis dan taat terhadap pimpinan tertinggi partai. Mereka lebih mengedepankan realisme politik daripada idealisme politik. Ketika terjadi relasi yang tidak bagus antara eksekutif dan DPR, maka eksekutif dapat melakukan beberapa manuver dengan lobi politik terhadap pimpinan partainya, sehingga pimpinan tersebut dapat menjadi jembatan alternatif yang efektif untuk menjadi reduktor, meskipun terkadang berangkat dari hal inilah kolusi biasanya terjadi.

Dalam buku ini penulis mencantumkan alasan dan argumen dengan sangat lengkap, berupa data-data dan fakta, baik dalam cakupan nasional ataupun internasional. Khususnya di beberapa negara yang memberlakukan system presidensial dengan telaah beberapa pakar. Penulis juga memaparkan banyak sekali study kasus mengenai relasi politik antara eksekutif dan legislatif, baik berupa kompromi ataupun kolusi, mulai dari politik anggaran, proses perumusan APBN, politik gentong babi (Pork barrel politics), RUU Pemilu, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, RUU MD3, kasus century, kasus kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain.

Buku ini berawal dari disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku. Dalam bab I, dan II  penulis mencoba menggiring pembaca untuk memahami apa dan bagaimana indikasi dari system presidensial, mengkomparasikan beberapa negara yang menganut system presidensial, demikian juga manfaat serta bahaya system presidensial multi partai. Dalam bab III, IV dan V penulis mencoba menelaah kembali warisan institusional dalam system presidensial multi partai di Indonesia, mulai dari era Soekarno hingga SBY, demikian juga banyak menjelaskan tentang peran dan fungsi DPR, dan bagaimana system ini bekerja. Pada bab terakhir penulis banyak memberikan pola hubungan antara eksekutif dan legislatif beserta banyak penyimpangan-penyimpangan yang biasa terjadi di dalamnya.

*Moh Usman Ainur Rofiq

Share:

Sami'na Wa Atho'na VS Kritis Observatif

SAMIKNA WAATOKNA VS KRITIS OBSERVATIF
*Moh. Usman Ainur Rofiq (Semester VI)

Seorang mukmin sejati pada saat Allah memerintahkan agar ia taat kepadanya maka tidak lain jawaban yang akan keluar darinya adalah Samikna Waatho’na (kami mendengar dan kami taat) sebagaimana di dalam surat Al-Baqoroh 285. Ayat tersebut adalah ayat kedua terakhir Surat Al-baqoroh. Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa ayat ini turun pada saat Rasul di Sidrotul muntaha, saat itu Rasul di beri tiga hal yakni shalat lima waktu, ayat-ayat penutup surat Al-Baqoroh, dan ampunan bagi ummatnya yang tidak menyekutukan Allah. Samikna dalam artian kami mendengar, dan waatho’na ialah lalu kami menaati. 

Seorang mukmin sejati akan senantiasa membenarkan apa yang datang kepadanya, mengamalkan apa yang diperintahkan, dan bahkan mengajarkan terhadap mukmin yang lain,  demikian ialah termasuk dalam cakupan dari samikna waatho’na. Namun tidak dengan jawaban bani israil, ketika mereka di perintahkan untuk berpegang teguh pada apa yang diwahyukan, mereka akan  menjawab sami’na wa ashoina (kami mendengar lalu kami durhaka). Demikian juga yang terjadi pada orang-orang munafik, mereka menjawab kami mendengar, padahal sebenarnya mereka tidak mendengarkan (sami’na wahum la yasmaun).

Meskipun sami’na waatho’na adalah bagian dari wahyu yang merepresentasikan wujud bagaimana  hamba terhadap tuhannya dan bagaimana pola seorang mukmin sejati dalam beragama, namun  di  kalangan pesantren kalimat tersebut sudah menjadi sebuah konsep kehidupan, konsep berbudi pekerti, sekaligus sebuah asas berinterkasi antara seorang guru/kiayi dan santrinya. Berpacu dari ayat tersebut, adat di kalangan kaum sarungan adalah seorang santri akan selalu sendiko ndawuh  terhadap  apa yang di perintahkan oleh kiayinya. Tanpa berfikir apakah logis atau tidak, rasional atau mustahil, dengan segenap keyakinan yang dimiliki oleh santri terhadap kiayinya, dia akan melakukan segalanya.

Seperti dalam suatu cerita, ada seorang santri miskin dipanggil oleh Syaikhona Moh Kholil Bangkalan. Syaichona berkata kepadanya: “kamu berangkat haji di tahun ini ya”, dengan merasa bahagia dalam hatinya, santri tersebut sambil mengangguk beberapa kali. Padahal jangankan untuk ongkos kesana, untuk makan sehari-haripun selama di pondok dia kekurangan. Di sisi lain, Syaikhona juga memanggil salah seorang santrinya yang kaya, beliau juga memerintahkan santri tersebut untuk pergi haji di tahun ini, namun setelah berfikir beberapa kali tentang berapa uang yang akan di keluarkan nantinya, berapa lama waktu yang akan di gunakan, akhirnya dia beranikan diri berkata kepada Syaikhona Kholil bahwa dia belum mampu untuk pergi haji. Pada akhirnya santri yang mengangguk tersebut benar-benar mampu berhaji, bahkan sebanyak ketika ia menganggukkan kepala di depan kiayainya. Namun tidak pada santri yang menolak, bahkan dia tidak bisa berhaji sepanjang umurnya meskipun kaya.
Jika coba dicermati Sebenarnya konsep tersebut sudah diimplementasikan oleh para sahabat di zaman nabi. Sahabat tidak pernah bertanya bagaimana mekanisme matahari bisa muncul dari barat sebagaimana dalam Al-Quran, padahal hal tersebut sangat bertentangan dengan logika di masa lalu. Meskipun pada akhirnya di jawab oleh NASA bahwa hal itu akan terjadi suatu saat. Sahabat selalu mengikuti arahan-arahan nabi, yang bahkan rasionalisasinya baru dipecahkan di zaman sekarang.

Ketika seorang hamba tidak banyak bertanya dan protes terhadap apa yang dipetintahkan tuhannya, atau seorang santri tidak banyak membantah terhadap gurunya atas apa yang diperintahkan, melainkan hanya menjalankannya dengan penuh keyakinan, maka tidak ada hal lain yang akan  tercapai kecuali keberkahan. Meskipun cukup bertentangan dengan logika; tidak berkemajuan; kolot dan lain-lain, namun begitulah adanya. Barokah adalah salah satu pemberian tuhan penguasa seluruh alam, yang berupa semakin baiknya suatu kehidupan. Kehidupan di sini bisa berupa apapun, baik kelancaran rejeki, ketenangan hidup, iman semakin kuat, ibadah semaki rajin, dan lain-lain.  barokah adalah pemberian dari Allah yang mana jangankan kemajuan atau kesuksesan individu, kehancuran alam pun dapat terjadi seketika jika berkehendak.

Sedangkan kritis, ialah berasal dari kata kritika yang artinya memeriksa dengan teliti. Kata kritis sudah banyak di salah artikan dengan beberapa padanan kata yang tidak pada tempatnya, ada yang mengatakan bahwa orang yang kritis adalah orang yang pintar mencari kesalahan, orang yang pintar menemukan sebuah celah dari sisi yang kurang, dan lain-lain. Padahal secara secara devinitif kritis sendiri ialah pengetahuan yang memeriksa dengan teliti, apakah suatu pengetahuan sudah sesuai denga realita, dan juga meneliti bagaimanakah kesesuaiannya. Artinya, kritis ialah bukan hanya orang yang pintar mencari kesalahan atau kekurangan, melainkan ia yang teliti dalam menghadapi persoalan.
Di era modernisme ini, manusia cenderung mengukur segala sesuatu melalui rasio. Rasio adalah salah satu metode pencapaian akhir dalam mengukur benar tidaknya sesuatu. Bahkan beberapa kalangan sudah menganggap bahwa agama hanyalah suatu kebohongan, karna menurut mereka banyak irasionalitas yang diajarkan dalam agama. Hal ini bisa dikatakan berawal dari bagaimana teori Galileo Galileo yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, menentang kedigdayaan otoritas gereja yang menyebut bahwa gajad rayalah yang berputar mengelili mahkota pausnya. Galileo dituduh kafir karena telah mengedepankan rasio dari pada teks-teks dalam Al-Kitab.

Selayaknya kritisime memang sangat di perlukan dalam segala hal, apalagi dalam ilmu pengetahuan. Karena memang sudah disepakati bahwa paradigma ilmu yang bersifat sosial ialah memakai contructivisme dan critical teori. Maka dalam hal ini, krtisisme merupakan konsep paling penting dalam ilmu pengetahuan. Jika menginginkan kemajuan dalam ilmu pengetahuan, manusia harus mengedepankan sifat kritisnya dalam segala hal.
Bukan hanya sampai di situ saja, kritis juga sangat di perlukan dalam pranata sosial. Hal ini untuk menjaga agar apa yang senyatanya bisa sesuai dengan apa yang seharusnya. Tanpa daya pikir kritis dalam berkehidupan, manusia tidak akan menyadari bahwa telah terjadi suatu ketimpangan, kehidupan cenderung akan mengalami stagnasi, manusia hanya akan melakukan sesuatu berulang-ulang tanpa mengingat bahwa sebenarnya ada sesuatu yang jika dibenahi akan menjadi lebih praktis dan efektif.

Demikian juga observatif, observatif ialah berasal dari observasi yang artinya peninjauan secara cermat. Observasi sangat di perlukan untuk meninjau benar tidaknya sesuatu. Dewasa ini salah satu parameter kebenaran ialah dengan observasi. Kebenaran ialah sesuatu yang setelah observasi di anggap benar. Tanpa observasi, kebenaran hanyalah sebuah prasangka yang belum bisa dianggap benar. Maka jelas bahwa observasi adalah pintu menuju ruang kebenaran. Setelah pintu dibuka, maka barulah bisa sampai pada sebilik ruang kebenaran.
Meskipun berbeda haluan, observasi dalam hal ini juga mempunyai kedekatan dengan empirisme; atau mendalami; meninjau; atau meneliti suatu teori dengan pengalaman indrawi secara langsung.  Karna memang manusia modern terkadang juga tidak secara praktis percaya pada rasio, namun juga harus bisa di buktikan dengan indra.
Manusia akhir zaman tidak akan pernah yakin pada suatu hal yang tidak sesuai dengan akal,  sebelum dibuktikan dengan indrawi. Mereka akan terus mengkritisi hal yang tak logis, sampai tuhan-pun ikut dikritisi. Padahal riset dari Harvard Business School tentang orang orang sukses menyatakan bahwa 75% CEO yang sukses, ternyata mereka sering tidak logis dalam mengambil keputusan.
Seyogyanya kritis dan observatif harus tetap di usung untuk kemajuan kehidupan sosial dan ilmu pengetahuan. Mahasiswa harus kritis dalam segala hal, termasuk dalam menerima kebijakan atau masukan dari pejabat kampus atau dosennya. Di sisi lain, samikna wa atho’na, juga tidak boleh di lupakan. Meskipun implementasinya dalam kehidupan kampus cenderung tidak relevan karna akan menghambat kemajuan dan ilmu pengetahuan, namun setidaknya ada sebuah esensi penting yang terpancar di dalamnya, yakni adab. Adab sebagai esensi dari yang terkandung dalam konsep tersebut tetap harus di terapkan, dengan harapan agar tetap memperoleh keberkahan. Maka mahasiswa haruslah kritis dan observatif dalam segala hal, namun tetap tidak boleh melupakan bagaimana adab yang harus ia lakukan.

Share:

Idealisme Mahasiswa

IDEALISME MAHASISWA
*Moh. Usman Ainur Rofiq

Sira Gajah Mada Patih Amangkubumi tan ayun amuktia palapa. Sira Gajah Mada, lamun huwus kalaha Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, Ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana Isun amuktia palapa.

Konon, kalimat tersebut adalah percikan sumpah yang dikatakan oleh seorang Mahapatih dari sebuah kerajaan kecil yang terletak di Jawa Timur. Dia berucap tidak akan menikmati palapa (nginang), sebelum bisa menaklukkan wilayah sampai ke Tumasik (Singapura) disebelah utara, dan  pulau Seram di sebelah timur. Tak ayal, pada saat itu, banyak cemoohan tertuju padanya, orang-orang terkekeh karena menganggap mustahil hal itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin negara yang kecil dengan pasukan terbatas bisa menaklukkan Nusantara yang demikian luasnya. Ternyata,  keinginan yang diagungkan oleh Gajah Mada dalam sumpahnya benar-benar terjadi, bahkan bisa melampauinya. Kerajaan Majapahit bertransformasi menjadi kerajaan yang besar, bahkan sangat besar dan begitu disegani. Wilayahnya begitu luas, meliputi Laos, Kamboja dan sampai Philipina  bagian selatan, lebih besar dari apa yang disematkan Gajah Mada dalam sumpahnya.

Seandainya Mahapatih Majapahit tersebut tidak mempunyai idealisme sebagaimana yang dikatakan dalam sumpahnya, maka mungkin kejayaan Majaphit di masa silam hanyalah angan. Meskipun tidak dapat dipungkiri, kedigdayaan Majapahit yang legendaris itu bukan hanya dipengaruhi oleh faktor idealismenya saja, namun juga aspek yang lain. Namun setidaknya peran idealisme Gajah Mada sangat vital.

Kedigdayaan Majapahit dapat dianalogikan sebagai pohon kelapa yang tumbuh besar, adapun idealisme Gajah Mada adalah tunasnya. Tanpa tunas tidak mungkin ada pohon, apalagi buahnya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Idealisme adalah menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar, yang dapat dicamkan dan dipahami. Secara umum idealisme mempunyai dua arti; Pertama, bisa jadi idealisme adalah keadaan dimana seeorang menerima dan menghayati persepsi moral yang tinggi untuk diterapkan, baik dalam estetika ataupun agama. Kedua, keadaan dimana seseorang yang merancang suatu hal yang belum ada dan bersikeras untuk mewujudkannya.

Dalam katagori pertama, seorang idealis seperti ini akan cenderung keras kepala untuk melakukan apa yang dianggapnya benar. Skeptis dan berfikir esensial adalah ciri khasnya. Mula-mula dia akan bertanya, apakah keadaan yang ada sudah sesuai dengan semestinya? apakah yang seharusnya adalah yang senyatanya? Maka oleh sebab itu, orang seperti ini tidak akan mudah terperosok oleh lingkungan yang berbanding terbalik dengan apa yang ada didalam pikirannya. Seorang yang idealis akan benar-benar menggali dan mengukur dengan persepsi moral yang tinggi. Titik point dari pada idelisme ini adalah, bagaimana manusia bisa benar-benar membedakan apa yang secara esensial adalah kebenaran dan harus diperjuangkan, daripada sekedar mendahulukan kepentingan dan hasrat duniawiyahnya semata.

Seorang mahasiswa seharusnya bisa masuk dalam kategori ini. Dengan idealisme seperti ini dia tidak akan mudah untuk terpengaruh oleh keadaan dan lingkungan. Karena kecendrungan yang ada adalah bahwa di banyak tempat dan keadaan, fanatisme ditempatkan diatas segalanya. Kenyataannya memang lebih banyak manusia yang megartikan suatu kebenaran tidak diukur dengan anugerah akal yang dimiliki, tapi dengan keputusan kelompok dan golongan di mana dia menempatkan fanatismenya. Sehingga segala sesuatu yang ada dan berkembang dalam kelompok tersebut, meskipun salah, dia dengan sangat mudah mengiyakan dan mematuhi. Hal ini mempunyai dua kemungkinan, bisa jadi perintah yang salah tersebut disadari, tapi karena fanatisme yang tinggi, dia tidak peduli, atau bisa jadi fanatisme tersebut mungkin telah menutup mata hati mereka terhadap arti kebenaran sejati. Aristoteles pernah berkata “Amicus plato, sed magis amica veritas”  (Plato adalah sahabat saya, tetapi saya lebih bersahabat dengan kebanaran). Seyogyanya mahasiswa bisa mengambil hikmah terhadap apa yang dikatakan Aristoteles tersebut.

Salah satu aspek untuk menuju kesuksesan adalah networking atau berjejaring, maka dia harus bisa kenal, bersahabat dan berteman dengan siapapun. Namun sebagaimana berlayar di lautan, dia tidak harus selalu mengikuti arus, atau selalu melawan arus, tapi dia harus stay calm pada jalan tujuan utama dia hendak berlayar. Hal ini juga berkaitan dengan yang dikutip oleh Salim Said dalam buku Indonesia Society in Transition karangan Werteim. Werteim mengatakan bahwa “Individualisme datang terlambat di Asia tenggara”. Tidak dapat dipungkiri, meskipun tidak ada kalkulasi yang akurat mengenai hal ini, namun individualisme dalam bertindak dan mengambil keputusan cenderung kalah oleh rasa fanatisme terhadap golongan dalam diri seseorang. Sementara itu Salim Said menambahkan, bahwa di Indonesia masih banyak “mental inlander”. Ciri utama hal ini adalah gampang terpukau, kurang percaya diri dan akhirnya gemar meniru dan tertarik dengan sesuatu yang ada.

Di sisi lain, hal yang perlu diperhatikan juga adalah jangan sampai idealisme yang ada itu hanya bersayap sebelah. Artinya, dia sangat idealis pada kebenaran yang ia yakini, namun tanpa dibarengi dengan kebijaksanaan dan pengetahun yang mumpuni. Hal ini bisa diibaratkan dengan orang yang sangat yakin untuk menempuh suatu jalan, padahal dia belum mengetahui dan mencoba seperti apa jalan tersebut, dengan hanya bermodal keyakinan dan tanpa pertimbangan yang matang  akhirnya dia masuk, ketika dia benar-benar melaluinya, dia akan sadar bahwa dia telah salah memilih jalan. Maka dari itu, kiranya idealisme dalam menilai sesuatu untuk mencapai kebenaran  dengan persepsi moral yang tinggi tidak dapat berjalan sendiri. Namun juga harus dibarengi juga dengan pengetahuan melalui observasi interdisipliner dan kebijaksanaan.

Karena walau bagaimanapun, kebenaran adalah hal yang abstrak. Untuk mencapainya harus dibarengi dengan uraian kajian yang matang. Dengan itu, manusia akan lebih dekat dengan arti kebenaran sejati dan dihindarkan dari manipulasi realita. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin Ar-Rumi “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berfikir telah memiliki kebenaran secara utuh”. Maka salah satu unsur urgen yang bisa membuktikan adanya kebenaran ialah dengan rasionalitas dan kajian yang sangat matang, bukan hanya sebatas keyakinan yang diperoleh sekelebat.

Point yang kedua adalah idealisme pada diri seseorang yang dalam keadaan bersikeras untuk mewujudkan dunia dan lingkungannya berdasarkan apa yang ada didalam fikirannya. Ketika orang lain menganggap bahwa hal itu hanya utopia, si idealis ini akan menganggap bahwa hal itu adalah realitas masa depan.

Disamping contoh idealisme Gajah Mada diatas, idealisme seperti ini juga sebagaimana idealisme kemerdekaan pada diri Soekarno dan founding father yang lain. Disaat kebanyakan orang skeptis dan tidak percaya mereka bisa melawan kolonialisme yang canggih itu dengan keterbatasan yang ada, namun idealisme Soekarno dan rekan-rekannya berkata lain. Idealisme bahwa Indonesia bisa merdeka dalam diri mereka mengalir sejalan dengan perjuangannya. Kenyataannya, dimasa depan Indonesia benar-benar merdeka. 

Idealisme seperti ini bukanlah biji gen yang menjelma bersamaan dengan ari-ari manusia ketika mereka lahir. Bisa jadi, idealisme adalah renkarnasi dari pengalaman inderawi dalam perjalanan hidupnya, atau mungkin invensi inovasi dari kejernihan otaknya. Sebagaimana Soekarno mendapatkan idealismenya karena masa kecilnya sudah sangat dekat dengan dunia pergerakan kemerdekaan. Ketika masih kecil, dia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto sebagai pemimpin Sarekat Islam, sehingga banyak mendengarkan perbincangan tokoh-tokoh perjuangan. Ditambah dengan diskriminasi yang dialaminya sebagai pribumi ketika mengenyam pendidikan di sekolah kolonial.

Setiap manusia memiliki sisi idealis dalam dirinya. Meskipun dalam implementasinya terkadang materialisme dan inconvidensi jauh lebih berkuasa. Manusia juga terkadang menutup diri dari ide-ide mentah, mereka mendahulukan keraguan bahwa hal itu tidak akan berhasil. Demikian juga mahasiswa. Sebagai harapan bangsa dan negara, seyogyanya memang mahasiswa perlu menjadi sosok idealis sebagaimana Soekarno dan Gajah Mada. Negara sangat mendamba mahasiswa yang memiliki gagasan baru sesuai dengan basicnya untuk tatanan dunia yang lebih baik. Hal itu bisa didapat dengan perantara pengalaman inderawi dan invensi inovasi yang dikemas dengan ilmu pengetahuan. Pada taraf pertama, mungkin semua orang akan menertawakan, mencemooh bahkan menganggap gila. Itu sudah wajar. Nabi Muhammad SAW-pun yang membawa dan mengajarkan ajaran kehidupan rasional untuk menghapus yang irasional saja demikian.

Idealisme dan dunia kampus mempunyai relevansi yang sangat erat. Apalagi dalam dunia pergerakan. Mahasiswa idealis akan memetakan banyak hal yang dirasanya tidak sesuai, baik yang dilakukan oleh pemerintahan maupun biroksasi kampusnya. Dengan idealisme yang membara yang berkembang bersama hasrat perubahan, maka lahirlah turun kejalan, demontrasi, bahkan sampai anarki. Mereka berorasi menjelaskan dasar aksi, tuntutan, bahkan sampai caci-maki. Namun yang perlu diketahui, salah satu problem pokok ketika akan mewujudkan idealisme dalam diri yang paling menonjol adalah konflik batin antara pikiran akan kebenaran sejati dan keinginan duniawi. Bisa jadi akal berkata bahwa sesuatu keliru, tapi karena keinginan berpacu bersama nafsu, akhirnya akal hanya diam dan mengiyakan. Maka idealisme seperti itu, ibaratkan benih-benih sperma yang gagal sampai ke ovum, yang akhirnya tidak akan pernah berubah menjadi sosok manusia. 

Sudah wajar jika mahasiswa mempunyai idealisme yang sangat kuat dalam dirinya, karena dalam fase itu, dia belum begitu kenal bagaimana konflik benturan antara pemikiran akan kebenaran sejati dan kepentingan duniawi; mereka belum mempunyai ekor yang harus dijaga (keluarga). Sehingga bisa dengan leluasa menyuarakan apapun tanpa rasa takut akan dampaknya. Namun, mahasiswa yang hebat adalah mahasiswa yang meskipun kesempatan untuk menggapai kepentingan dan keinginan yang ada pada dirinya sangat lebar, tetapi mereka dengan kokoh memihak pada kebenaran sejati yang dikatakan oleh akalnya. Mereka adalah mahasiswa yang membawa idealisme itu sehingga status mereka sudah bukan mahasiswa lagi, atau mereka yang hingga masa tuanya mengutamakan kebenaran yang dibawa akalnya dan mengesampingkan kepentingan dan keinginannya. Tidak seperti dewan perwakilan di Senayan dan pejabat-pejabat pemerintahan yang lain, yang pada masa mahasiswanya aktif menyuarakan kebenaran dan turun ke jalan, tapi ketika fase konflik benturan antara kebenaran sejati dan kepentingan duniawi mengitarinya, ternyata mereka lebih mendahulukan kepentingan duniawinya.

Share:

Independensi Pers dan Kritik Sosial

Independensi pers dan kritik sosial

*tulisan semester IV (dimuat di majalah Arrisalah)

Mengutip pembicaraan prof Mahfud MD yang membagi pilar demokrasi menjadi  4 bagian, berbeda dengan teori trias politika yang di cetuskan oleh Jhon Locke. Beliau mengatakan bahwa salah satu unsur penting yang tidak bisa di tinggalkan dari kehidupan berdemokarsi adalah Pers. Ketika 3 unsur trias politika yang menjadi acuan demokrasi sudah tidak dapat dipercaya lagi, maka peran dan fungsi pers sangat dibutuhkan kehadirannya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Benyamin Constant (1767-1834) dengan surat kabar kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat kabar selalu muncul penindasan. Maka tidaklah berlebihan dan memang sangat relevan bila pers di anggap sebagai the fourth estate.
Pers sebagai control sosial sekaligus media komunikasi massa banyak  mengukir sebuah sejarah bergaris bawah di masa lampau. banyak kalangan yang kemudian memanfaatkan media pers di zaman pra kemerdekaan untuk tulisan-tulisan revolusioner yang membangun, sekaligus menjadikannya sebuah instrumen untuk merevitalisasi pemikiran rakyat agar mempunyai kesadaran supaya tidak mau terus terbelenggu oleh kolonialisme. Hal  yang pasca merdeka kemudian diimplementasikan ke dalam ketentuan-ketentuan pokok undang-undang No 11 tahun 1966 tentang pers, yakni di point d yang berbunyi: bahwa pers merupakan alat revolusi, alat sosial kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak masa.
Sejarah pra kemerdekaan mencatat, para tokoh kemerdekaan seperti Soekarno, M Hatta, Tan Malaka, M Natsir dan lain-lain sering kali membuat tulisan penggugah revolusi lewat pers yang berkembang di masa itu, yang kemudian menjadi trending topik, sehingga diikuti oleh tokoh-tokoh yang lain. Hal ini ditunjukkan agar rakyat mendapat dorongan semangat sebagai langkah awal menuju kemerdekaan. Bahkan proklamasi sebagai hari paling bersejarah bagi bangsa indonesia, di mana Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno membacakan naskah yang sangat monumental, dalam penyebar luasannya ke plosok negeri  kemungkinan tidak akan se-efisien sebagaimana yang terjadi, seandainya kata tidak ada sumbangsih pers. Dimana sebelumnya masih banyak tidak di ketahui oleh lapisan bangsa Indonesia, khususnya yang hidup di beberapa daerah di luar jawa. Dengan bantuan Pers pada saat itu, melalui media cetak, maupun radio, sampailah berita fenomenal tersebut ke semua kalangan rakyat di Indonesia, yang kemudian membuka tabir kebahagiaan sekaligus membedah nalar nasionalisme bangsa agar tetap bersikukuh mempertahankan kemerdekaan. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa pers juga salah satu faktor yang sangat urgen dan sangat di perlukan dalam suatu pemerintahan.
Setelah melalui beberapa fase yang menyedihkan di zaman orde baru dan orde lama,  dewasa ini, pers cukup  berkembang dengan pesat. Di samping menjadi media pembantu dalam menyebar luaskan informasi dan pengetahuan yang selalu dinamis, sebagaimana  dasar utamanya yang secara umum berkiblat pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, atau juga esensinya yakni media komunikasi. Disisi lain, ternyata pers juga bisa menjadi ladang subur untuk bercocok tanam mengembangkan pundi-pundi rupiah. Hal ini menjadikan banyak kalangan tertarik untuk berkiprah di dunia pers. Namun ternyata tidak sampai disitu saja, pers juga mempunyai ruang sebagai peluang untuk dijadikan instrumen propaganda. Dimana para pemilik modal yang biasanya berafiliasi dengan partai politik tertentu bisa dengan mudahnya membuat lembaga pers untuk kemudian menstimulasi kepentingan pribadi maupun golongannya. Merupakan fenomena yang saat ini sudah mainstream di indonesia, dimana seorang yang tidak mempunyai kredibilitas, kapabilitas dan integritas, dengan beberapa polesan pers, mampu di animasikan dengan begitu baiknya, sehingga tampak seperti manusia super yang akan menjadi hero. Padahal kredibiltas, kapabilitas dan integritasnya adalah zero. Maka jadilah masyarakat indonesia korban pencitraan secara massal.
Seyogyanya sesuai kode etik pers seperti yang tertulis di pasal 1 yang menyatakan bahwa wartawan indonesia itu bersifat independen, menghasilkan berita  yang akurat, berimbang dan tidak beri’tikad buruk. Ada 4 point penting yang menjadi acuan wartawan dalam mengahasilkan berita, hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai syarat utama didalam naskah pemberitaan yang akan di muat. Yang pertama adalah independen, dalam penafsirannya, independen dalam artian memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik pers sendiri. Yang kedua adalah akurat, yang mempunyai arti bahwa harus sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Ketiga adalah berimbang, semua pihak mendapatkan kedudukan setara. Yang terakhir adalah tidak beri’tikad buruk, yakni tak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk merugikan pihak lain.
Seharusnya pers senantiasa selalu memposisikan dirinya sebagai media penengah yang bertugas untuk memberikan informasi dengan porsi dan kemasan yang apa adanya dan sesuai dengan peraturan yang ada. Namun dalam tataran praktis, pegiat pers selalu terikat kontrak kerja penuh dengan pemilik lembaga, sehingga sangat mudah sekali di kendalikan sesuai kehendak. Akibatnya adalah Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers yang di berlakukan saat ini, juga rentetan pasal-pasal kode etik pers sebagai cita-cita utama mengembalikan pers kepada fungsinya hanyalah sebuah angan yang semakin jauh dari kenyataan. Sangat di sayangkan memang, di zaman dahulu sebelum reformasi, ketika para pegiat pers bersifat profesional dan menjunjung tinggi pers sebagai media yang dapat menciptakan perubahan, ternyata situasi dan kondisi berkata lain, pers berada di bawah kementrian penerangan, harus selalu sesuai dengan keinginan pemerintah, mau tidak mau pers harus menjadi corong pemerintah. Bila tak sesuai dan menentang, berarti sudah siap untuk di bredeli dan di non aktifkan. Namun di zaman sekarang, di zaman yang pluralisme kebebasan seakan tak terkontrol dan melewati batas. Pers seperti sudah berpaling dari esensinya sebagai media komunikasi massa dan control sosial, bahkan kiranya memerlukan kajian ulang untuk mengatakan bahwa pers satu-satunya pilar demokrasi yang bersih dari pencidraan.
Pers sebagai kritik sosial
Sebagaimana yang tercantum di pasal 1 Ayat (1) undang-undang pers tahun 1966, bahwa secara umum pers adalah instrumen perubahan dan penggugah pemikiran rakyat. Maka dapat dikatakan fungsi pers bukan hanya sebagai media komunikasi dan pengantar informasi saja, namun dari beberapa biliknya, juga menyimpan ruang untuk menyuarakan perubahan. Berjuang di jalan pers sangatlah berbeda dengan turun ke jalan. perbedaan yang mencolok adalah, dengan menulis di media pers, maka  dapat menggugah hati siapapun pembacanya, kapanpun, diamanapun bahkan dalam kondisi apapun. Selagi tulisannya tak usang oleh waktu. Persamaannya mungkin pers dan turun ke jalan sama-sama mempunyai batasan-batasan tertentu yang tak boleh dilanggar, namun batasan pers lebih sempit. Perjuangan pers dalam upayanya mencapai perubahan sangatlah tidak di berkenankan jika sampai memasuki ranah terlarang dalam naskah kepenulisan. Dalam keadaan apapun pers selalu di tuntut agar independen, tidak diintervensi, berimbang dan tidak mempunyai muslihat buruk.
Maka tentunya pers berada di posisi simalakama, ketika pers selalu harus berjalan lurus berkaki kekolotan, maka pers hanyalah sebuah media informasi monoton, tiada yang bisa di harapkan dari pers, bahkan dapat di pertanyakan kembali tentang the fourth estate yang di elu-elukan. Namun ketika pers bergerak dinamis untuk mengkritisi dan menjadi instrumen reformasi berpendapat tanpa batas, maka di persimpangan jalan, ada batasan-batasan yang akan dihempas, yakni mengenai kebebasan berbendapat dan peraturan-peraturan yang sudah di tetapkan. Namun setidaknya ada beberapa celah yang memberikan harapan kuat, celah tersebut berada di titik di mana kebebasan berpendapat menarik ke depan, dan peraturan perundang-undangan mendorong dari belakang, setidaknya itu adalah harapan satu-satunya pers sebagai media revolusioner. Yakni dimana melalui tulisan atau yang lainnya pers bersifat kritis tanpa mengindahkan peraturan yang ada.
Dari titik celah itulah pers sebagai lumbung perubahan sangat berkaitan erat dengan agama, sebagaimana di dalam Al quran surat Al baqoroh ayat 42
(Dan janganlah sembunyikan yang haq sedangkan kamu mengetahui)
Mengindikasikan bahwa mengkritisi terhadap hal tak seharusnya dilakukan itu penting, apalagi menyangkut pemerintahan yang mengatas namakan banyak orang. Yang kemudian di perkuat dengan hadist nabi yakni :
(Agama adalah nasehat)
Begitu pula dalam hadis yang lain :
(Barang siapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, lalu jika tidak bisa maka rubahlah lidahnya, lalu jika tidak bisa maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman)
Seyogyanya mengkritisi bukan berarti benci, menyuarakan kebenaran bukan berarti anti, namun semua dijalankan demi kemaslahatan bersama, bukan karna tak suka, semua agar kesalahan yang mungkin tidak di sadari bisa segera terklarifikasi, agar penyimpangan kebijakan atau keputusan yang tidak disadari bisa secepat mungkin di putar kemudi.

Usman Ainur Rofiq

Share:

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh