Melawan Lupa atau Menolak Ingat?

Melawan lupa atau menolak ingat?
Moh. Usman Ainur Rofiq
(Tulisan semester V)

Melawan lupa! melawan lupa! melawan lupa!
Pasca tumbangnya orde baru di tahun 1998, kata tersebut mulai menjadi viral. Bukan hanya di kalangan para aktivis yang memang sebelumnya getol menyorot pemerintahan orde baru yang cenderung otoriter, sampai rakyat jelata yang tidak tau problematika dan kebobrokannya pun ikut andil bersuara. Padahal sebelumnya, saat Soeharto digdaya, kata itu sudah seperti cacing di dalam tanah, berani keluar, berarti sudah siap di tebas oleh ayam. Saat itu, ketika ada rakyat yang  menuntut suatu kebenaran, maka sama saja dia menuntut keburukan agar ditimpakan kepadanya.

Akhirnya orde baru tumbang lewat suatu adegan perjuangan yang biasa disebut dengan reformasi. Reformasi telah membawa Indonesia menuju wajah baru, baik dari segi politik maupun hukum. Dari segi politik, dengan reformasi Indonesia telah memastikan bahwa politik otoriter Soeharto telah  berhenti dan tidak berimbas pada politik dinasti dan fasisme yang berkelanjutan, di samping itu juga berimbas pada penghapusan dwifungsi ABRI. Pengaruh yang lain adalah kebebasan berpendapat yang semakin terjamin. Tumbangnya orba menjadi pemicu beberapa regulasi yang sebelumnya pro otoriterian, seperti dikeluarkannya Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers, Undang-undang No 36 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang kebebasan informasi. Dari segi hukum meskipun masih cenderung stagnan, namun setidaknya reformasi juga melahirkan lembaga yang pro penegakan hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain-lain.
Namun setiap luka pasti menimbulkan bekas. Luka bisa saja sembuh dengan waktu yang singkat, tapi tidak dengan bekas. Setelah luka sembuh, maka bekas adalah beban selanjutnya yang harus benar-benar dinetralisir atau setidaknya diminimalisir. Demikian juga orde baru.

Orde baru telah banyak menimbulkan bekas-bekas dari luka yang akut. Seperti yang telah dikatakan oleh Ir Soekarno pasca kemerdekaan, bahwa kemerdekaan bukanlah titik akhir dari perjuangan, kesejehteraan rakyat adalah yang utama. Demikian juga perjuangan reformasi, perjuangan menumbangkan politik otoriter bukanlah bersifat final,  menjebloskan pihak-pihak terkait ke sel-sel tahanan adalah salah satu output-nya, tentunya hal ini diperlukan untuk mencegah keburukan-keburukan lain yang akan dilakukan mereka selanjutnya. Namun kenyataannya, era reformasi tidak jauh berbeda dengan orba. Hukum tetap dimiliki mereka yang ber-uang. Para Abri sudah tidak begitu tercium menjadi backing para mafia selayaknya di jaman Orba, namun di era reformasi perannya banyak diganti oleh oknum Polisi Bahkan, jika dahulu korupsi hanya dilakukan oleh satu elemen yang berteduh dibawah pohon beringin, sekarang hampir semua unsur ramai-ramai menguras uang negara untuk kepentingan pribadinya.

Maka dari beberapa hal tersebut, wajar jika muncul slogan perjuangan, “Melawan Lupa!”. Melawan lupa untuk meringkus para penjahat-penjahat HAM di Timor Leste. Melawan lupa untuk meringkus komplotan tikus yang bersenandung ria dengan uang negara. Melawan lupa untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan kasus Hilangnya aktifis 98, kasus HAM Marsinah, Saifuddin, Petani Desa Nipah, Munir dan lain-lain. Melawan lupa untuk mengurung ruang gerak mereka di sel tahanan. Kata melawan lupa terbentang di mana-mana, disuarakan mahasiswa, pengusaha, petani, bahkan band rock Indonesia, Superman Is Dead mendedikasikan video klip di lagu topnya “Sunset di tanah anarki” untuk sebuah gerakan melawan lupa. Bagaimana hasilnya? Kasus munir pasang surut, semakin diusut semakin ambigu. Apalagi kasus Wiji Tukul? Kasus Century?
  
Kejadian tersebut bukan terjadi di orde baru, tapi terjadi di era reformasi, bahkan jauh setelah tumbangnya Soeharto. Namun ternyata sama saja. inilah efek dari bekas luka yang tidak dinetralisir. Kenyataannya sama saja, di era reformasi yang katanya kebebasan bependapat terjamin ini, menyuarakan kebenaran sama saja memancing keburukan. Perbedaanya mungkin hanya pada Rawa ronteknya. Jika saat orde baru, tipu muslihat bernaung di bawah otoriterianisme. Di zaman sekarang, semuanya mengelu-elukan demokrasi. Partai-partai baru berlabel demokrasi. Namun kepicikan dan tipu muslihatnya menghilangkan esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi telah sukses menjadi instrumen tameng politik untuk kepentingannya. Pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan. Rakyat telah tertipu, daya kritis rakyat membisu karna label demokrasi. Bahkan menurut Mahfud MD saat diskusi di salah satu Channel TV swasta, index generasio sekarang adalah  0,435, jauh lebih rendah dari zaman pak Harto yaitu 200.

Maka saat ini kata melawan lupa hanyalah sebuah semboyan, sebagaimana semboyan “jagalah kebersihan” di tempat sampah. Maka yang pertama kali harus dilakukan adalah menetralisir sampah-sampah, dan tidak menjadikannya tempat tersebut sebagai tempat sampah. Setelah itu baru slogan “jagalah kebersihan” akan efektif.

Bukan hanya sampai di situ. Era demokrasi telah membawa banyak perubahan, lebih-lebih paradigma berpolitik bangsa Indonesia. Secara merata masyarakat semakin berani menuntut haknya. Di era ini semua orang bebas bermanuver, lalu dibalas oleh yang berkuasa jika bertentangan dengan kepentingannya. Sehingga tak jarang, masyarakat, lembaga atau partai oposisi menyudutkan pemerintahan yang sudah berjalan efektif secara umum. Maka jadilah mereka penganiaya yang memutar balikkan fakta. Inilah yang disebut oleh Mohammad Shobari dalam essainya dengan “Otoriterianisme populis”. Ibarat cerita, anjing yang mengadu pada tuhannya  karena telah dipukul oleh seorang sufi. Padahal si sufi memukul karena anjing tersebut menggigitnya terlebih dahulu. Selain itu, era demokrasi yang syarat akan kebebasan berpendapat ini, telah banyak membuat orang menyoroti pemerintahan, tapi lupa akan dirinya. Setiap orang menyuarakan anti tirani. Padahal mereka sendiri bertirani. Di zaman inilah seseorang fokus mengkritik pemerintah, tapi mereka sendiri tidak mau dikritik. Pada akhrinya kemajuan yang dicita-citakan hanya sebatas harapan, karena semua pada sibuk dengan pertikaian. Demokrasi malah menjadi lumbung kemunduran bangsa.

Lalu masih efektifkah slogan “melawan lupa”? Apakah harus disuarakan berkali-kali, beribu, berjuta atau disuarakan sampai tiada batas hitungannya? Sejatinya masyarakat yang diam terhadap kebobrokan sama halnya menumbuh kembangkan kebobrokan itu sendiri. Diam memang bijak. Tapi jika ingin bermanfaat maka haruslah bergerak. Dengan pola informasi yang berkembang saat ini, informasi sangat gampang di jangkau oleh siapapun. Di samping itu, dikarenakan juga media yang cenderung tidak profesional. Satu sisi ada yang berada di pihak koalisi, sedang yang lain berada di pihak oposisi.

Maka mau tidak mau masyarakat akan disuguhkan oleh isu-isu kemajuan dan juga kebobrokan pemerintahan secara mendetail. Mau tidak mau masyarakat akan mendengar dan tau bagaimana tipu daya muslihat dalam politik, bagaimana kebohongan yang dijujurkan, bagaimana kesalahan yang di anggap benar.
Hingga tidak ada yang lain ketika menyuarakan kebenaran, menyuarakan melawan lupa, menyuarakan kedzaliman yang dilakukan pemerintahan, kecuali kesia-siaan. Di zaman demokrasi, ketika dituntut rakyatnya, pemerintah akan menjanjikan ia, padahal sebenarnya dalam hatinya sudah berkata tidak. Bisa jadi ketika rakyatnya bersuara, pemerintah akan mencari-cari cara yang sesuai undang-undang agar dia bisa dibungkam. Tidak begitu represif seperti di zaman orba memang, tapi kepicikannya dan bagaimana tipu muslihatnya sungguh lebih menyakitkan.

Maka melawan lupa di zaman ini tidak lain hanyalah kesia-sian. Meskipun memang bangsa seslalu di tuntut untuk bergerak menyuarakan keadilan.
Ibnu Ruslan dalam salah satu syairnya di Matn Zubad berkata : Faalimun biilmihi lam ya’malan, Muadzdzabun min qoblu ubbadil wastan. (Seorang yang punya ilmu, tapi tidak mengamalkan ilmunya, maka akan disiksa sebelum para penyembah berhala). Maka jika mengambil esensi dari syair beliau dan di relevansikan dengan kasus di negeri ini ialah, orang yang tau tapi tidak bertindak, berarti dia lebih bobrok dari orang yang tidak tau apa-apa.

Sedangkan bangsa yang tau, sudah berkoar-koar hanya menjadi bahan tertawa para penguasa, sering kali menjadi olok-olok, tidak ada yang di dapatkan kecuali ke-sia-sia-an. Maka mengetahui kebobrokan di masa ini hanya akan menyakitkan hati. Mau bertindak maka kita yang akan ditindak. Maka lebih baik mana? Betindak untuk melawan lupa, atau lebih baik menolak ingat? Daripada ingat atau tau hanya akan menyakitkan hati karena kita akan lebih parah dari  mereka yang ingat atau tau. Pilihannya adalah, melawan lupa atau menolak ingat?

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh