OPOSISI MAHASISWA
Moh. Usman Ainur Rofiq
(Tulisan Semester V)
Sejarah mencatat bahwa perubahan besar yang terjadi di Indonesia tidak luput dari peran pemuda, khususnya mahasiswa. Mulai dari proklamasi kemerdekaan, pergantian dari orde lama ke orde baru, peristiwa Malari, Reformasi, dan beberapa peristiswa penting lain yang seandainya tidak terjadi, maka tentu tidak bisa dibayangkan seperti apa kondisi Indonesia saat ini.
Dalam suatu pemerintahan berdemokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Suatu keputusan yang mengatasnamakan negara tidak boleh dipertimbangkan hanya berdasarkan kepentingan pribadi dan golongan, namun harus benar-benar objektif demi mewujudkan kemaslahatan bersama. Rakyat yang terbagi-bagi dalam suatu golongan dengan beberapa perbedaannya, baik karakter, status sosial, kepentingan, lingkungan, adat dan lain-lain tentunya akan menerima konsekuensi yang berbeda dari setiap keputusan yang diberikan. Kaum petani akan merasa tidak diuntungkan dengan menurunnya harga bahan pangan, namun tidak dengan konsumen. Demikian juga kaum pengusaha tidak akan merasa diuntungkan dengan naiknya upah minimum regional, namun tidak bagi kaum buruh. Maka diperlukan suatu pertimbangan dengan kajian yang sangat matang bagi seseorang pemimpin agar keputusan yang akan dikeluarkan nantinya bisa memberikan manfaat secara umum dan meminimalisir kerugian di antara beberapa perbedaan tersebut.
Untuk mendapatkan pertimbangan yang akurat dan jitu, tentu seorang pemimpin tidak bisa terlalu konfiden dengan hanya melibatkan dirinya dan kroninya, akan juga membutuhkan suatu perspektif yang berbeda dengan melibatkan oposisi. Seorang pemimpin yang benar-benar ingin membangun dan melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, pasti merasa sadar akan pentingnya oposisi. Sebuah kebenaran subjektif, terkadang merupakan kesalahan objektif. Kemaslahatan bagi suatu kaum secara devinitif dan praktis cenderung berbeda dengan kaum yang lain. Maka dari titik inilah terkadang seorang pemimpin salah dalam membuat pertimbangan dan mengambil kebijakan. Disinilah urgensi oposisi yang notabene sebagai marjial dan non kroni harus diberikan ruang. Biasanya oposisi cenderung melihat sesuatu dari arah yang berlawanan, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang ada diolah menjadi sebuah kebijakan menjadi lebih komprehensif dan tidak berat sebelah.
Dalam prakteknya, kehadiran oposisi selalu mengundang pro dan kontra, beberapa pihak akan mengatakan bahwa oposisi hanyalah pihak pengacau (disruptive force), bukan kekuatan yang akan membangun (contsructive force). Keberadaan oposisi dianggap menghambat program pemerintahan, memberikan stigma negatif, dan merusak tatanan yang sudah pakem. Sedangkan pihak lain yang pro menanggap bahwa oposisi adalah bagian terpenting dalam system pemerintahan, agar ada check and balance. Sebenarnya jika seorang pemimpin benar-benar ingin membangun, maka kiranya sangat cocok ucapan Deng Xiaoping, “Tidak peduli kucing hitam ataupun putih, asal bisa mengankap tikus, maka itulah kucing yang baik”. Tidak peduli bagaimana stigma, tatanan system pemerintahan, siapa yang berkuasa, semuanya bukanlah persoalan, asalkan bisa memberikan dampak positif, maka itulah yang harus dicapai.
Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok masyarakat harus bisa memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah, karena dengan paradigma tersebut, secara otomatis akan terbangun daya kritis, observatif dan investigatif terhadap setiap kebijakan yang dibuat. Seyogyanya pemerintah harus mengakui hal itu dan memberikan kesempatan terhadap setiap manuver yang dilakukan. Lebih dari itu, mahasiswa harus bisa menjadi oposisi bukan hanya yang dilakukan oleh pemerintah, namun terhadap setiap ketidak-adilan yang ada di masyakarat. Idealisme sebagaimana yang dibangga-banggakan haruslah sejalan dengan kebijaksanaan dan pertimbangan yang matang, sehingga pola gerakan yang akan dicapai ialah mewakili kemaslahatan umum, bukan kepentingan pribadi dan golongan.
Namun tidak demikian apabila pola gerakan mahasiswa hanya dilakukan untuk kepentingan pribadi dan golongannya, apalagi hanya untuk menunjang eksistensi, bukan disertai pertimbangan objektif dan kajian yang matang. Maka hal tersebut sama saja akan mencoreng mukanya sendiri, karena bisa saja mereka akan mengusut hal yang sudah baik secara umum, untuk digantikan dengan hal yang tidak baik. Imbas dari sikap kritis yang tidak barengi dengan daya observatif dan objektifitas.
Dengan demikian, oposisi yang baik adalah oposisi yang tidak mencampur adukkan daya kritis dan penilaiannya terhadap gejala sosial yang ada, dengan kepentingan pribadi dan golongannya. Mereka harus benar-benar objektif dalam merumuskan masalah, didasarkan pada data, fakta dan dampak jangka pendek ataupun panjang. Sehingga pola kritisnya pun kemudian akan solutif dan masuk akal. Karena seyogyanya kaum kritis bukanlah mereka yang pintar mencari kesalahan, tapi mereka yang teliti dan cermat dalam menghadapi persoalan.
Kalangan mahasiswa
Kehidupan mahasiswa secara esensial adalah untuk berkembang, bukan hanya untuk kuliah dan mendengarkan dosen ceramah, atau bukan aktif dalam berorganisasi semata. Dua hal tersebut adalah unsur kuat yang sangat berpengaruh untuk perkembangan mahasiswa itu sendiri, baik secara intelek, attitude dan networking.
Tidak luput dari itu, ialah adanya budaya politik di kancah mahasiswa. Politik dan mahasiswa memang tidak dapat dipisahkan, Walau bagaimanapun para politikus yang berkeliaran di parlemen hampir seluruhnya adalah mantan mahasiswa. Maka dari itu, berpolitik di kampus agaknya memang merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan mahasiswa.
Politik ada untuk memberikan perubahan, bukan untuk mewujudkan sebuah kepentingan dari golongan dengan langgengnya kekuasaan. Sebuah teori klasik yang seharusnya dijalankan. Dalam prakteknya hal itu sangat berbanding terbalik, baik di tingkat tertinggi di parlemen, maupun kancah mahasiswa. Mahasiswa sebagai oposisi kuat pemerintahan, seperti hafal betul akan setiap celah dan kekurangan yang dilakukan pemerintah. Sehingga lahirlah turun kejalan, orasi mengecam, merasa pemerintahan yang dijalankan bobrok, menuntut pembubaran tirani, sampai bertindak anarkisme dan membuat kerusakan. Namun sayang, ibarat pepatah lama, ketika manusia menunjuk keburukan terhadap manusia yang lain dengan telunjuknya, maka sama saja dia menunjuk terhadap dirinya sendiri dengan jempolnya. Banyak mahasiswa menuntut keadilan terhadap pemerintah, tapi terkadang lupa banyak ketidak adilan yang telah mereka lakukan.
Mahasiswa berorasi tunggang langgang untuk hak yang tidak dipenuhi, padahal hak orang lain mereka makan tanpa perasaan. Bagaimana mungkin mereka berteriak anti tirani, tapi mereka sendiri bertirani. Tidak peduli apa yang dilakukan sejalan atau tidak dengan idealisme perubahan, norma berperilaku, dan nilai keagamaan yang di pelajarinya, dengan beberapa konsipirasi, mereka berusaha melucuti oposisinya. Daya kritis yang sangat tajam untuk sebuah keadilan di pemerintahan, ternyata sangat tumpul untuk menghadapi diri sendiri dan kepentingannya. Oposisi dihancur leburkan tanpa perlawanan, dibiarkan tidak berkutik sama sekali. Sehingga mereka bisa dengan leluasa melancarkan kepentingan golongannya.
Sejatinya, oposisi dalam ranah politik mahasiswa harus diberikan ruang geraknya, hal ini bertujuan agar segala gerak-gerik dan manuver pemimpin mahasiswa yang berkuasa bisa terkontrol dengan baik dan segala kebijakan tidak berat sebelah, sehingga bisa memberikan kemaslahatan untuk mahasiswa secara umum, bukan hanya beberapa golongan saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar