Politik Santri dan Stabilitas Negeri
*Moh. Usman Ainur Rofiq
Sejak era kolonialisme Belanda beberapa ratus tahun silam, kaum sarungan yang oleh istilah mereka kemudian disebut sebagai Islam ortodox sudah aktif mengangkat senjata melakukan perjuangan. Terhitung lebih dari 130 perlawanan yang didentumkan oleh kaum santri semenjak ditangkapnya Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1830. Kyai Umar Semarang, Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, dan beberapa Kyai yang lain adalah ulama yang meneruskan perjuangannyadan yang kemudian yang melahirkan banyak jaringan ulama Nusantara dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Pada akhirnya perjuangan pra kemerdekaan ini mulai berakhir ketika Indonesia terseret masuk pada kemelut perang dunia ke-2. Saat itu kota Hirosima dan Nagasaki dibombardir pada 6 dan 9 Agustus 1945, yang kemudian pada tanggal 14 Agustus 1945 dikiuti oleh menyerahnya Jepang pada sekutu. Hal itu menjadikan alasan para pemuda mendesak Soekarno dan Moh Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Namun, belum genap sebulan, Belanda dan sekutunya dengan alasan ingin melucuti persenjataan bala tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang Dai Nippon, kembali berlabuh di Indonesia.
Hal ini dapat dibaca oleh kalangan reformis sebagai salah satu langkah Belanda agar dapat menguasai kembali Republik Indonesia. Atas usulan Panglima Soedirman, Presiden Soekarno mengirim utusan ke Khadratusy Syaikh K.H. Hasyim As’ary agar memberikan fatwa mengenai Jihad atau perang melawan sekutu. Akhirnya K.H. Hasyim As’ary bersama dengan K.H. Wahab Hasbulloh berupaya untuk mengumpulkan ulama se Jawa-Madura dalam rangka membahas persoalan ini. Pada tanggal 21-22 Oktober 1945 para ulama berkumpul di kantor pusat ANSOR di Bubutan Surabaya, kemudian lahirlah resolusi jihad. Resolusi berisi sebuah perintah diwajibkannya perang (fardhu ain) bagi muslim yang kedudukannya berada dalam jarak 94 KM dari tempat kedudukan musuh (masafatul qosri), adapun yang berada diluarnya ialah wajib untuk sebagian saja (fardhu kifayah), namun apabila orang yang berada dalam jarak 94 belum bisa mengalahkan musuh, maka yang berada diluar jarakpun juga wajib berperang sehingga musuh kalah. Hal inilah yang memacu semangat para pejuang Republik Indonesia, khususnya kaum santri, sehingga api peperangan benar-benar berkobar di Surabaya, dan menjalar ke seluruh pelosok Negeri.
Resolusi jihad kedua
Salah satu landasan semangat terbentuknya resolusi jihad dimasa lampau ialah atas dasar: (1) Ruh Al-tadayun (2) Ruh Al-wathaniyah (3) Ruh Al-taaddudiyah (4) Ruh-Alinsaniyah. Semangat-semangat tersebutlah yang kemudian memantik bara api juang para kaum sarungan dalam membela hak-hak keagamaan dan kebangsaan. Ruh Al-tadayun diartikan sebagai bahwa NU sebagai landasan pacu kaum santri mendorong warganya untuk meningkatkan pemahaman keagamaannya dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang terkandung dalam Islam. Ruh Al-wathaniyah ialah sebagai salah satu nilai-nilai semangat mencintai tanah air, salah satu impelementasinya adalah selalu andil dalam perjalanan panjang perkembangan NKRI, dengan tetap menyadari bahwa nilai keanekaragaman bangsa Indonesia harus dipertahankan. Keaneka ragaman bukanlah kekurangan maupun kelebihan, melainkan sebuah peluang untuk merubah Indonesia menjadi bangsa yang besar, sehingga warga nahdliyin harus menjunjung eksistensi agama Islam dengan tetap menghormati perbedaan, itulah yang disebut dengan Ruh Al-taaddudiyah. Sementara yang terakhir adalah Ruh-Alinsaniyah, ialah semangat untuk mendorong setiap warga NU menghormati setiap hak manusia yang lain.
Sebagaimana fenomena kekejaman bangsa kolonial dapat memicu semangat tersulutnya resolusi jihad di masa lampau, maka kondisi bangsa Indonesia saat ini seyogyanya juga harus memantik semangat untuk memproklamirkan resolusi jihad kedua di zaman ini. Resolusi tersebut tidak harus dihadiri oleh ulama se Jawa-Madura sebagaimana di masa lalu, namun setidaknya diresolusikan sendiri dalam jiwa raga dan diikrarkan dalam hati. Kaum santri sebagai lakon utama harus bisa memegang teguh prinsip tersebut. Resolusi ini bisa berupa berjuang memperbaiki diri menjadi lebih baik, baik dari segi moral, spiritual dan intelektual, sehingga bisa membawa perubahan bangsa terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan sebagaimana tantangan bangsa dewasa ini.
Memperbaiki moral dan spiritual bangsa dapat dilakukan dengan menerapkan nilai-nilai moralitas diri sebagaimana implementasi pelajaran adab yang diajarkan di pesantren-pesantren. Hal ini harus dimulai dari sendiri, dengan harapan jika dilakukan secara continue kemungkinan besar dapat dicontoh dan diterapkan juga oleh lingkungan sekitar. Selanjutnya memperbaiki diri dengan intelektual dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas pikiran, keilmuan dan paham, melalui lebih banyak membaca, berdiskusi mengenai ilmu, baik agama ataupun umum, dan yang juga sangat penting ialah menempuh pendidikan baik formal maupun informal setinggi mungkin. Klimaksnya, jika semua kaum sarungan menerapkan nilai-nilai tersebut, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi panutan terhadap lingkungan sekitar, sehingga bisa memberantas krisis mental dan material yang melanda dewasa ini.
Walau bagaimanapun, tantangan zaman di era digital saat ini sangatlah berbeda dengan yang terjadi di masa lampau. Di era ini, modernitas dipertuhankan, globalisasi yang terkadang penuh konspirasi selalu didengung-dengungkan, persaingan karena perbedaan ideologi, warna kulit, ras dan orientasi politik semakin hari kian memanas, meski beberapa hanya bergerak di balik layar.
Moral, spiritual dan intelektual tidak akan serta merta secara instan dapat membendung kerusakan yang ditimbulkan oleh modernitas. Dibutuhkan instrumen lain sebagai kendaraan untuk merealisasikannya. Hal ini adalah politik. Politik adalah instrumen paling tepat untuk melakukan perubahan positif atau membendung dinamika negatif.
Bagaimanapun, segala hal yang berkaitan dengan regulasi dan orientasi kebijakan sangat berkaitan erat dengan politik. Maka untuk dapat mengaplikasikan resolusi jihad kedua dengan pondasi 4 dasar diatas, sekaligus untuk menjawab tantangan zaman yang semakin hari semakin tak keruan, jalan yang sangat tepat dan spontan adalah dengan bergerak dan aktif di bidang politik.
Politik Santri Untuk Membendung Kerusakan Sebab Modernitas
“Politics is at the heart of all collective social activity, formal and informal, public and private, in all human group, intituons and societies”, setidaknya demikianlah politik sebagaimana yang didevinisikan oleh Adrian Leftwich dalam What Is Politics?-nya. Dapat dikatakan bahwa politik adalah seni untuk mendapatkan pengaruh dalam penyelenggaran pemerintahan negara. Indonesia sebagai negara dengan system demokrasi sebagaimana yang tertuang dalam falsafah dan konstitusi negara, memberikan kebebasan terhadap siapapun untuk berada di posisi apapun dalam pemerintahan. Hal ini sebagaimana nilai yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Maka ini merupakan pintu yang terbuka lebar bagi kalangan santri untuk bisa mewujudkan Indonesia majemuk yang berpacu pada 4 dasar dengan berjuang di jalan politik.
Sejarah mencatat bahwa suatu kaum yang masyarakatnya tidak begitu peduli terhadap politik, maka kaum tersebut akan sangat mudah disingkirkan dan kepentingannya akan dikesampingkan oleh kaum yang aktif berpolitik. Sebut saja Singapore. Singapore yang penduduk aslinya adalah Melayu, perlahan berubah haluan dari segi budaya, lifestyle dan bahasanya. Tersingkirkan oleh pengaruh Cina dan Barat yang notabene sebagai bangsa pendatang. Bahkan bahasa Melayu sebagai bahasa Asli penduduk Singapore, hanya menjadi bahasa ketiga setelah bahasa Inggris dan bahasa Cina. Demikian juga dalam segi ekonomi, kaum Melayu tidak begitu dapat berbuat banyak hal terhadap hegemoni ekonomi bangsa pendatang. Impact dari kekalahan bangsa melayu dalam berpolitik.
Demikian juga di Indonesia. Meskipun mayoritas beragama Islam. Indonesia merupakan negara multycultural. Banyak sekali perbedaan di Indonesia, mulai dari perbedaan keyakinan, ideologi, suku, juga budaya. Maka akan sangat berbahaya jika arus politik hanya dikuasai oleh kaum yang anti terhadap agama Islam, karena bisa bertendensi akan mengahapus nilai-nilai keislaman yang selama ini mendarah daging di bumi Indonesia. Hal ini terbukti melalui ucapan salah satu politikus beberapa saat yang lalu, yang menyatakan akan menghapus beberapa pelajaran keislaman demi memajukan Indonesia. Demikian juga akan sangat berbahaya jika politik hanya dihegemoni oleh kelompok Islam yang intoleransi dan mengesampingkan kelompok atau aliran kepercayaan lainnya, hal ini hanya akan berakibat pada timbulnya gesekan antar golongan, bobroknya stabilitas keamanan, dan terhambatnya haluan pembangunan negara karena perpecahan.
Soekarno, pada 1 Juni 1945 berkata: “Hei pak bagus Hadikusumo gak usah nuntut negara Islam, ini negara Pancasila, tapi kalo orang Islam ingin agar di Indonesia ini keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan di dewan perwakilan rakyat, agar hukum hukum di Indonesia ini, masuk aspirasi Islamnya. Sebaliknya hai kamu orang kristen semua, kalo kamu ingin di Indonesia ini ada letter-letter kristen dalam oembuatan hukum, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan di dewan perwakilan rakyat mengarahkan nilai-nilai kristen itu”. Pidato Bung Karno ini membuktikan bahwa salah satu cara untuk memperjuangkan idealisme dan doktrinasi kuat dalam diri individu atapun golongan, salah satunya adalah dengan cara berpolitik. Bukan dengan membuat prahara kericuhan dengan terorisme ataupun yang lain, apalagi makar.
Sedangkan kaum santri sebagai kaum yang notabene sudah dibekali dengan 4 dasar utama sebagai prinsip prioritas, yakni Ruh Al-tadayun, Ruh Al-wathaniyah, Ruh Al-taaddudiyah, Ruh-Alinsaniyah, dan doktrinasi toleransinya dapat dipastikan akan memposisikan diri berada di tengah-tengah kedua orientasi politik di atas. Hal ini juga sebagaimana yang dideklarasikan beberapa tahun yang lalu oleh kaum sarungan dengan mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sehingga diharapkan Indonesia yang penuh dengan warna dan rentan terhadap perpecahan, stabilitas politik akan lebih kondusif dan bisa lebih fokus pada pembangunan. Di samping itu, kaum santri akan menerapkan moralitas tinggi sebagaimana yang terkandung dalam doktrin Ruh Al-tadayun, sehingga dapat meminmalisir hal-hal yang berbau menyimpang, baik berupa korupsi maupun tindak pidana yang lain.
Di sisi lain, dengan bergerak di kancah politik, kaum santri bisa mengakomodir beberapa kepentingannya, tentunya yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum. Semisal, dapat melahirkan Undang-Undang tentang Pesantren dengan tujuan memposisikan santri dan pesantren dalam keadaan yang setara dengan lembaga pendidikan yang lainnya, atau sebagaimana isu yang sempat mencuat akhir-akhir ini tentang usulan pengadaan Mentri santri. Seandainya lebih banyak kaum santri yang aktif di bidang politik, maka kemungkinan hal-hal tersebut bisa menjadi realita.
Hal yang jelas benar-benar terimplementasikan adalah diadakannya hari santri Nasional sebagaimana KEPPRES RI NO 22 Tahun 2015 oleh Presiden Jokowi, dan dibatalkannya program full day school, yang jika dibiarkan akan memberikan dampak negatif pada proses belajar mengajar kaum santri. Bukan merupakan suatu yang impossible jika di kemudian hari kaum santri lebih aktif lagi di kancah politik, baik dari segi kualitas atapun kuantitas, akan lebih banyak lagi kepentingan-kepentingan kaum santri yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum dapat terakomodir dan terlaksana. Namun yang lebih penting lagi adalah terwujudnya Indonesia yang aman dan damai antar golongan tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai keagamaan sebagaimana dalam unsur 4 diatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar