Menakar System Presidensialisme Multi Partai di Indonesia

(Tulisan adalah hasil resume buku sesuai judul aslinya)

Judul Buku : Menakar sistem presidensialisme multi partai di Indonesia. Upaya mencari format demokrasi yang yang stabil dan dinamis dalam konteks Indonesia-Penulis : Jayadi Hanan.-Penerbit : Mizan-Tebal: 407 halaman.-Peresensi: Moh Usman Ainur Rofiq.

Setiap negara berhak menentukan system kenegaraannya masing-masing, tergantung dari konsensus masyarakat dan sejarah berdiri negara tersebut. Demokrasi dan monarki merupakan salah satu jenis kekuasaan. Sementara dalam jenis kekuasaan demokrasi, dikenal dengan beberapa system: presidensial dan parlementer. Perbedaan mencolok dalam kedua system ini adalah bahwa dalam system presidensial posisi Presiden dan Parlemen ialah setara,  demikian juga Presiden dipilh langsung oleh rakyat, maka oleh sebab itu, Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat, demikian juga Presiden berhak memilih anggota kabinetnya, dan mereka bertanggung jawab langsung terhadap Presiden. Dalam system parlementer, eksekutif dipilih oleh parlemen dan  bertanggung jawab terhadap parlemen, dan parlemen dapat mengeluarkan mosi tidak percaya untuk menjatuhkannya.

Semenjak bubarnya demokrasi parlementer tahun 5 Juli 1959 melalui dekrit Presiden Soekarno, Indonesia beralih memakai system presidensial, yang saat itu lebih dikenal dengan demokrasi terpimpin. Gagalnya demokrasi parlmenter di Indonesia kala itu disebabkan oleh  kepentingan Presiden Soekarno dan militer yang tidak senang terhadap partai politik, karena masing-masing lebih mementingkan ideologi mereka sendiri daripada persatuan bangsa. Lagipula Soekarno menganggap bahwa system parlementer sama saja seperti demokrasi liberal yang tidak cocok diterapkan di Indonesia yang lebih mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan. Pada saat itu, fungsi legislatif memang masih ada, namun sekedar pemberi legitimasi pada eksekutif.

System ini kemudian dilanjutkan oleh Soeharto, melalui kedigdayaannya, Soeharto secara perlahan mereduksi kompetensi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hal ini berdampak pada lolosnya agenda-agenda pemerintah tanpa perlawanan serius dari DPR, dalam kurun waktu tahun 1966-1992 (26 tahun), tercatat DPR hanya melaksanakan hak bertanya, interpelasi, pendapat dan angket sebanyak 99 kali, dengan persentasi sekitar 65% dipakai pada periode kepemimpinan pertama Soeharto, 1966-1971, ketika anggota DPR masih banyak terdiri dari simpatisan Soekarno. Disamping itu, di awal kepemimpinannya pada periode kedua di tahun 1971 sampai ketika digulingkan oleh kekuatan mahasiswa pada 1998, proses restrukturasi politik dan kekuasaan legislasi dilegitimasi oleh  pemerintah, DPR sama sekali tidak pernah mengajukan RUU, semua berada di bawah monopoli eksekutif.

Pola seperti ini cukup bisa menyejahterakan rakyat, hal ini diindikasikan dengan ekonomi yang tumbuh diawal kepemimpinannya, swasembada pangan, suksesi pembangunan dan keamanan nasional. Nilai minusnya adalah banyaknya korupsi, nepotisme dan kolusi secara besar-besaran oleh eksekutif dan kroninya, kurangnya kebebasan berpendapat, bertambahnya kesenjangan sosial, salah satu akibat tidak efektifnya check and balance antara eksekutif dan legislatif. Setelah lengsernya Soeharto, Indonesia memasuki babak baru, system presidensial Indonesia kemudian diperkuat kembali dengan beberapa upaya, salah satuya adalah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan beberapa rekontruksi Undang-undang yang berkaitan dengannya.

System presidensial lebih banyak dipakai di Amerika latin, sedangkan di Indonesia system ini dipadu dengan pola multi partai, salah satu perpaduan system yang sangat dihawatirkan oleh para pakar. Hal ini karena banyaknya kelemahan yang dapat memicu instabilitas politik, termasuk rentannya kemandekan agenda-agenda pemerintah, terbukanya kran deadlock antara eksekutif dan legislatif, demikian juga dikhawatirkan negara cenderung hanya akan fokus pada politisasi kekuasaan dari pada pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya.

Kenyataannya, perpaduan system tersebut tidak selalu berdampak negatif. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh pola kepemimpinan Presiden, bentuk konstitusi dan pola komunikasi partai politik. Perpaduan system tersebut cukup efektif pada awal mula genderang demokrasi yang diindikasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat mulai diterapkan, dengan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY yang pola kepemimpinannya akomodatif, mengedepankan kompromi konsensus dan cenderung menghindari konflik dengan partai lain cukup kompatibel dengan system ini. Menyadari perolehan suara di periode pertama partai pendukungnya hanya sebesar 7,45%, SBY segera merangkul beberapa partai besar sebagai koalisi, dengan parameter peletakan Menteri-Menteri partisan pendukung di kabinetnya.

Banyak kalangan yang menilai bahwa langkah ini lebih bertujuan untuk keseimbangkan politik ketimbang prioritas kesejahteraan rakyat, namun kalangan lain mengatakan bahwa ini merupakan langkah perlahan Presiden untuk memuluskan agenda-agenda pemerintah agar setiap program yang diajukan nanti dapat disetujui oleh DPR, khususnya oleh partai yang kadernya diberikan posisi sebagai Menteri. Realitasnya pemerintahan SBY tetap stabil hingga akhir periode dengan banyak program yang dihasilkan, meskipun di periode kepemimpinannya partai politiknya di parlemen sangatlah minim, bahkan SBY kembali dipercaya oleh rakyat untuk memimpin di periode selanjutnya.

Kontitusi Indonesia yang mengimplementasikan pemilihan langsung oleh rakyat, mengatur hak preogratif Presiden dalam memilih Menteri, dan beberapa hal lain, telah mencerminakn system presidensial, meskipun tidak dapat dikatakan sebagai presidensial murni. Demikian juga kebiasaan warga Indonesia yang selalu mengedepankan musyawarah mufakat juga menjadi pemicu utama suksesi system ini diberlakukan di Indonesia.

Kebuntuan relasi antara legistaltif dan eksekutif sebagaimana yang ditakutkan selalu dapat diselesaikan dengan serangkaian proses politik yang mencerminkan asas gotong royong, walaupun terkadang memakan waktu yang cukup lama. Setegang apapun hubungan legisltatif dan eksekutif dapat teratasi karena pola kepemimpinan dan pengambilan keputusan di berbagai partai politik sudah tidak begitu ideologis, melainkan lebih pragmatis dan taat terhadap pimpinan tertinggi partai. Mereka lebih mengedepankan realisme politik daripada idealisme politik. Ketika terjadi relasi yang tidak bagus antara eksekutif dan DPR, maka eksekutif dapat melakukan beberapa manuver dengan lobi politik terhadap pimpinan partainya, sehingga pimpinan tersebut dapat menjadi jembatan alternatif yang efektif untuk menjadi reduktor, meskipun terkadang berangkat dari hal inilah kolusi biasanya terjadi.

Dalam buku ini penulis mencantumkan alasan dan argumen dengan sangat lengkap, berupa data-data dan fakta, baik dalam cakupan nasional ataupun internasional. Khususnya di beberapa negara yang memberlakukan system presidensial dengan telaah beberapa pakar. Penulis juga memaparkan banyak sekali study kasus mengenai relasi politik antara eksekutif dan legislatif, baik berupa kompromi ataupun kolusi, mulai dari politik anggaran, proses perumusan APBN, politik gentong babi (Pork barrel politics), RUU Pemilu, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, RUU MD3, kasus century, kasus kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain.

Buku ini berawal dari disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku. Dalam bab I, dan II  penulis mencoba menggiring pembaca untuk memahami apa dan bagaimana indikasi dari system presidensial, mengkomparasikan beberapa negara yang menganut system presidensial, demikian juga manfaat serta bahaya system presidensial multi partai. Dalam bab III, IV dan V penulis mencoba menelaah kembali warisan institusional dalam system presidensial multi partai di Indonesia, mulai dari era Soekarno hingga SBY, demikian juga banyak menjelaskan tentang peran dan fungsi DPR, dan bagaimana system ini bekerja. Pada bab terakhir penulis banyak memberikan pola hubungan antara eksekutif dan legislatif beserta banyak penyimpangan-penyimpangan yang biasa terjadi di dalamnya.

*Moh Usman Ainur Rofiq

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh