Independensi Pers dan Kritik Sosial

Independensi pers dan kritik sosial

*tulisan semester IV (dimuat di majalah Arrisalah)

Mengutip pembicaraan prof Mahfud MD yang membagi pilar demokrasi menjadi  4 bagian, berbeda dengan teori trias politika yang di cetuskan oleh Jhon Locke. Beliau mengatakan bahwa salah satu unsur penting yang tidak bisa di tinggalkan dari kehidupan berdemokarsi adalah Pers. Ketika 3 unsur trias politika yang menjadi acuan demokrasi sudah tidak dapat dipercaya lagi, maka peran dan fungsi pers sangat dibutuhkan kehadirannya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Benyamin Constant (1767-1834) dengan surat kabar kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat kabar selalu muncul penindasan. Maka tidaklah berlebihan dan memang sangat relevan bila pers di anggap sebagai the fourth estate.
Pers sebagai control sosial sekaligus media komunikasi massa banyak  mengukir sebuah sejarah bergaris bawah di masa lampau. banyak kalangan yang kemudian memanfaatkan media pers di zaman pra kemerdekaan untuk tulisan-tulisan revolusioner yang membangun, sekaligus menjadikannya sebuah instrumen untuk merevitalisasi pemikiran rakyat agar mempunyai kesadaran supaya tidak mau terus terbelenggu oleh kolonialisme. Hal  yang pasca merdeka kemudian diimplementasikan ke dalam ketentuan-ketentuan pokok undang-undang No 11 tahun 1966 tentang pers, yakni di point d yang berbunyi: bahwa pers merupakan alat revolusi, alat sosial kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak masa.
Sejarah pra kemerdekaan mencatat, para tokoh kemerdekaan seperti Soekarno, M Hatta, Tan Malaka, M Natsir dan lain-lain sering kali membuat tulisan penggugah revolusi lewat pers yang berkembang di masa itu, yang kemudian menjadi trending topik, sehingga diikuti oleh tokoh-tokoh yang lain. Hal ini ditunjukkan agar rakyat mendapat dorongan semangat sebagai langkah awal menuju kemerdekaan. Bahkan proklamasi sebagai hari paling bersejarah bagi bangsa indonesia, di mana Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno membacakan naskah yang sangat monumental, dalam penyebar luasannya ke plosok negeri  kemungkinan tidak akan se-efisien sebagaimana yang terjadi, seandainya kata tidak ada sumbangsih pers. Dimana sebelumnya masih banyak tidak di ketahui oleh lapisan bangsa Indonesia, khususnya yang hidup di beberapa daerah di luar jawa. Dengan bantuan Pers pada saat itu, melalui media cetak, maupun radio, sampailah berita fenomenal tersebut ke semua kalangan rakyat di Indonesia, yang kemudian membuka tabir kebahagiaan sekaligus membedah nalar nasionalisme bangsa agar tetap bersikukuh mempertahankan kemerdekaan. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa pers juga salah satu faktor yang sangat urgen dan sangat di perlukan dalam suatu pemerintahan.
Setelah melalui beberapa fase yang menyedihkan di zaman orde baru dan orde lama,  dewasa ini, pers cukup  berkembang dengan pesat. Di samping menjadi media pembantu dalam menyebar luaskan informasi dan pengetahuan yang selalu dinamis, sebagaimana  dasar utamanya yang secara umum berkiblat pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, atau juga esensinya yakni media komunikasi. Disisi lain, ternyata pers juga bisa menjadi ladang subur untuk bercocok tanam mengembangkan pundi-pundi rupiah. Hal ini menjadikan banyak kalangan tertarik untuk berkiprah di dunia pers. Namun ternyata tidak sampai disitu saja, pers juga mempunyai ruang sebagai peluang untuk dijadikan instrumen propaganda. Dimana para pemilik modal yang biasanya berafiliasi dengan partai politik tertentu bisa dengan mudahnya membuat lembaga pers untuk kemudian menstimulasi kepentingan pribadi maupun golongannya. Merupakan fenomena yang saat ini sudah mainstream di indonesia, dimana seorang yang tidak mempunyai kredibilitas, kapabilitas dan integritas, dengan beberapa polesan pers, mampu di animasikan dengan begitu baiknya, sehingga tampak seperti manusia super yang akan menjadi hero. Padahal kredibiltas, kapabilitas dan integritasnya adalah zero. Maka jadilah masyarakat indonesia korban pencitraan secara massal.
Seyogyanya sesuai kode etik pers seperti yang tertulis di pasal 1 yang menyatakan bahwa wartawan indonesia itu bersifat independen, menghasilkan berita  yang akurat, berimbang dan tidak beri’tikad buruk. Ada 4 point penting yang menjadi acuan wartawan dalam mengahasilkan berita, hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai syarat utama didalam naskah pemberitaan yang akan di muat. Yang pertama adalah independen, dalam penafsirannya, independen dalam artian memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik pers sendiri. Yang kedua adalah akurat, yang mempunyai arti bahwa harus sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Ketiga adalah berimbang, semua pihak mendapatkan kedudukan setara. Yang terakhir adalah tidak beri’tikad buruk, yakni tak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk merugikan pihak lain.
Seharusnya pers senantiasa selalu memposisikan dirinya sebagai media penengah yang bertugas untuk memberikan informasi dengan porsi dan kemasan yang apa adanya dan sesuai dengan peraturan yang ada. Namun dalam tataran praktis, pegiat pers selalu terikat kontrak kerja penuh dengan pemilik lembaga, sehingga sangat mudah sekali di kendalikan sesuai kehendak. Akibatnya adalah Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang pers yang di berlakukan saat ini, juga rentetan pasal-pasal kode etik pers sebagai cita-cita utama mengembalikan pers kepada fungsinya hanyalah sebuah angan yang semakin jauh dari kenyataan. Sangat di sayangkan memang, di zaman dahulu sebelum reformasi, ketika para pegiat pers bersifat profesional dan menjunjung tinggi pers sebagai media yang dapat menciptakan perubahan, ternyata situasi dan kondisi berkata lain, pers berada di bawah kementrian penerangan, harus selalu sesuai dengan keinginan pemerintah, mau tidak mau pers harus menjadi corong pemerintah. Bila tak sesuai dan menentang, berarti sudah siap untuk di bredeli dan di non aktifkan. Namun di zaman sekarang, di zaman yang pluralisme kebebasan seakan tak terkontrol dan melewati batas. Pers seperti sudah berpaling dari esensinya sebagai media komunikasi massa dan control sosial, bahkan kiranya memerlukan kajian ulang untuk mengatakan bahwa pers satu-satunya pilar demokrasi yang bersih dari pencidraan.
Pers sebagai kritik sosial
Sebagaimana yang tercantum di pasal 1 Ayat (1) undang-undang pers tahun 1966, bahwa secara umum pers adalah instrumen perubahan dan penggugah pemikiran rakyat. Maka dapat dikatakan fungsi pers bukan hanya sebagai media komunikasi dan pengantar informasi saja, namun dari beberapa biliknya, juga menyimpan ruang untuk menyuarakan perubahan. Berjuang di jalan pers sangatlah berbeda dengan turun ke jalan. perbedaan yang mencolok adalah, dengan menulis di media pers, maka  dapat menggugah hati siapapun pembacanya, kapanpun, diamanapun bahkan dalam kondisi apapun. Selagi tulisannya tak usang oleh waktu. Persamaannya mungkin pers dan turun ke jalan sama-sama mempunyai batasan-batasan tertentu yang tak boleh dilanggar, namun batasan pers lebih sempit. Perjuangan pers dalam upayanya mencapai perubahan sangatlah tidak di berkenankan jika sampai memasuki ranah terlarang dalam naskah kepenulisan. Dalam keadaan apapun pers selalu di tuntut agar independen, tidak diintervensi, berimbang dan tidak mempunyai muslihat buruk.
Maka tentunya pers berada di posisi simalakama, ketika pers selalu harus berjalan lurus berkaki kekolotan, maka pers hanyalah sebuah media informasi monoton, tiada yang bisa di harapkan dari pers, bahkan dapat di pertanyakan kembali tentang the fourth estate yang di elu-elukan. Namun ketika pers bergerak dinamis untuk mengkritisi dan menjadi instrumen reformasi berpendapat tanpa batas, maka di persimpangan jalan, ada batasan-batasan yang akan dihempas, yakni mengenai kebebasan berbendapat dan peraturan-peraturan yang sudah di tetapkan. Namun setidaknya ada beberapa celah yang memberikan harapan kuat, celah tersebut berada di titik di mana kebebasan berpendapat menarik ke depan, dan peraturan perundang-undangan mendorong dari belakang, setidaknya itu adalah harapan satu-satunya pers sebagai media revolusioner. Yakni dimana melalui tulisan atau yang lainnya pers bersifat kritis tanpa mengindahkan peraturan yang ada.
Dari titik celah itulah pers sebagai lumbung perubahan sangat berkaitan erat dengan agama, sebagaimana di dalam Al quran surat Al baqoroh ayat 42
(Dan janganlah sembunyikan yang haq sedangkan kamu mengetahui)
Mengindikasikan bahwa mengkritisi terhadap hal tak seharusnya dilakukan itu penting, apalagi menyangkut pemerintahan yang mengatas namakan banyak orang. Yang kemudian di perkuat dengan hadist nabi yakni :
(Agama adalah nasehat)
Begitu pula dalam hadis yang lain :
(Barang siapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, lalu jika tidak bisa maka rubahlah lidahnya, lalu jika tidak bisa maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman)
Seyogyanya mengkritisi bukan berarti benci, menyuarakan kebenaran bukan berarti anti, namun semua dijalankan demi kemaslahatan bersama, bukan karna tak suka, semua agar kesalahan yang mungkin tidak di sadari bisa segera terklarifikasi, agar penyimpangan kebijakan atau keputusan yang tidak disadari bisa secepat mungkin di putar kemudi.

Usman Ainur Rofiq

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh