Haram merupakan perkara yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Sebagaimana perspektif fiqh, haram adalah sesuatu yang apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala, ketika dilakukan akan mendapatkan dosa. Haram juga dapat timbul karena meninggalkan suatu yang diwajibkan atau melakukan sesuatu yang dilarang. Pekerjaan yang disebut sebagai perkara haram ini dapat mengarah pada beberapa hal: perbuatan fisik, perkataan dan gerakan hati.
Perbuatan fisik yang dapat diklasifikasikan sebagai perkara haram salah satunya ialah mencuri dan berzina. Perkataan contohnya seperti ghibah dan fitnah. Grakan hati seperti dan murtad dan kufur. Perbuatan haram bisa jadi tidak berhenti di titik dimana perbuatan itu dilakukan, namun juga pada benih yang dihasilkan. Semisal, mencuri. Di samping mencuri merupakan perbuatan haram, hasil dari mencuri juga dapat dinamakan sebagai barang haram. Barang tersebut harus mendapat perlakukan khusus bagi mereka yang tau mengenai keharamannya.
Barang haram juga dapat direlevansikan pada 2 hal. Haram yang berkaitan dengan hak Allah dan yang berkaitan dengan hak anak Adam. Perkara haram yang berkaitan dengan hak Allah akan berimplikasi pada murka Allah. Semisal, tidak sholat dan tidak puasa. Imbas dari melanggar aturan ini, seorang manusia akan mempunyai tanggungan di hadapan Allah kelak, bahkan dia akan disiksa dengan siksa yang pedih. Namun ketika manusia beri’tikad untuk bertaubat nasuha sebelum ajal tiba, dia bisa memohon ampun kapan pun dimana pun dia menghendaki, dan Allah maha pengampun lagi maha pengasih.
Adapun haram yang berkaitan dengan hak anak Adam, maka hal tersebut memuat devinisi, implikasi dan solusi yang berbeda. Contoh dari perbuatan haram ini adalah mencuri, fitnah, dan menghina orang lain. Orang yang melakukannya juga diancam dengan siksa yang pedih, sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Adapun ketika dia berkehendak untuk bertaubat, maka tidak cukup dengan hanya bertaubat kepada Allah semata. Dia juga diharuskan untuk meminta maaf terhadap anak Adam yang dirugikan. Dalam perkara fitnah, seseorang dituntut untuk melakukan klarifikasi bahwa tuduhan yang pernah dikatakan tidak benar, hal ini cukup sulit apabila fitnah yang disebarkan telah menyebar pada titik dimana si pemfitnah tidak dapat menjangkau. Ini akan menjadikan amal jariyah jelek baginya. Selama fitnah terus bergulir, selama itu pula dia akan menanggung dosa.
Apabila perbuatan haram yang dilakukan berkaitan dengan harta, maka dia wajib dhoman (mengganti). Tanpa melakukan hal tersebut, maka dia tetap akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Perbuatan haram tersebut bisa berupa mencuri, berhutang tidak membayar, goshob dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa Nabi menolak untuk menyolati salah seorang sahabat yang dalam waktu meninggalnya dia mempunyai tanggungan hutang. Nabi juga bersabda: “Jiwa seorang yang beriman digantungkan oleh hutangnya”.
Oleh sebab itu Islam sangat menganjurkan pengikutnya menjauhi perkara haram, atau sesuatu yang dihasilkan dari perbuatan haram. Dalam hadis Nabi bersabda: “Barang siapa yang mencari harta dengan cara yang haram, apabila harta tersebut disodaqohkan, maka tidak akan diterima”. Di hadis yang lain Nabi bersabda: Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman. Makanlah kalian dari sesuatu yang baik yang telah kami berikan rezeki untuk kalian” lalu Nabi menceritakan mengenai seorang yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut dan berdebu, seraya menengadahkan kedua tangannya ke langit “tuhanku”, “tuhanku”. Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan perutnya diisi oleh sesuatu yang haram, maka bagaimana doanya akan diijabahkan?”
Beberapa hadis di atas mengindikasikan bahwa perkara haram sangat berpengaruh terhadap kebaikan atau keburukan hidup seorang manusia. Manusia yang melakukan perbuatan, mendukung atau menempel pada dirinya perkara haram, maka akan menyebabkan beberapa kesulitan terhadapnya: doanya sulit dikabulkan, sulit mensucikan diri, dan banyak kesulitan lainnya. Tidak heran apabila ulama amilin (orang alim yang mengamalkan ilmunya) dan waliyullah yang dirinya bersih dari kotoran hati dan perkara haram, cukup berkeinginan dalam hatinya saja, sesuatu yang mustahil dapat menjadi kenyataan. Sebagaimana kisah Sunan Ampel ketika ber”krentek” mengenai masjid yang mulai kotor karena wafatnya mbah Sholeh. Seketika mbah Sholeh hidup kembali. Namun orang yang kotor hatinya dan perkara haram menempel padanya, terkadang berdoa terhadap sesuatu yang sangat mudah untuk didapatkan pun, tidak langsung diijabah oleh Allah. Beberapa ulama juga mengatakan bahwa kemalasan, tidak bisa khusu’ dalam beribadah, anak yang susah diatur dan jauh dari agama, salah satu penyebabnya adalah karena menempelnya sesuatu yang haram.
Menurut al-Gazali, wara’ (bersifat hati-hati yang luar biasa) dari perkara haram dibagi menjadi 4 bagian. Pertama, wara’nya orang yang (sangat) adil. Ialah mencegah dari sesuatu yang oleh ulama difatwakan sebagai sesuatu yang haram. Jenis ini adalah jenis dimana orang yang tidak melakukan pencegahan akan menjadi fasiq dan sifat adil dalam dirinya akan hilang; Kedua, wara’nya orang-orang sholeh. Ialah mencegah dari jalan yang bisa menyebabkan haram. Tetapi mufti (pemberi fatwa) telah memberikan rukhsah (keringanan) bahwa hal itu boleh dilakukan, namun di dalamnya menyimpan perkara syubhat; Ketiga, wara’nya muttaqin. Sesuatu yang mufti tidak mengharamkannya dan juga tidak menyebut mengandung syubhat. Tetapi apabila dilakukan, ditakutkan akan menyebabkan sesuatu yang haram. Ini bisa juga disebut dengan meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung bahaya karena takut akan ada bahaya; Keempat, sesuatu yang tidak mengandung bahaya secara asal dan tidak ditakutkan akan membawa bahaya, tetapi didapat bukan dengan niat taqwa untuk beribadah kepada Allah.
Derajat yang pertama adalah derajat yang memang harus dilakukan oleh setiap muslim. Ini merupakan sesuatu yang apabila kita melanggarnya, maka kita akan masuk pada katagori seorang fasik. Oleh sebab itu, derajat ini dinamakan derajatnya orang yang adil (mempunyai sifat adaalah). Salah satu contoh dari wara’ ini adalah orang yang menjauhi makanan yang jelas diharamkan oleh syara’. Seperti babi, khamr, dan lain-lain.
Derajat yang kedua adalah derajat dimana seseorang yang menjauhi perkara syubhat. Perkara syubhat ini bisa jadi sesuatu yang tidak wajib untuk meninggalkannya, melainkan hanya sunat. Hal ini sebagaimana contoh orang yang menyembelih hewan, kemudian hewan tersebut lari entah kemana, ketika ditemukan ternyata telah mati tanpa diketahui matinya karena sebab sembelihan atau penyebab yang lain. Orang yang mencapai derajat ini, karena sifat ke hati-hati annya, mereka akan meninggalkan memakan hewan tersebut.
Pun, salah satu contoh riil dari derajat kedua ini sebagaimana kisah Abu Hanifah. Suatu waktu beliau mengutus seseorang untuk menjualkan dagangannya ke Mesir. Di antara dagangannya, terdapat sehelai kain cacat yang ada kerusakan di salah satu bagiannya. Abu Hanifah berpesan ke utusannya, bahwa jika dia menjual barang rusak tersebut, sampaikan ke pembeli mengenai kerusakannya. Setelah pulang berdagang dari Mesir, ketika utusan telah sampai di Kufah, Abu Hanifah langsung menanyakan apakah dia menjelaskan mengenai kain yang rusak ke pembeli, utusannya mengatakan bahwa dia lupa. Mendengar hal itu, Abu Hanifah langsung mengumpulkan semua dagangan dan keuntungannya untuk disedekahkan ke orang lain. Salah satu bentuk dari menghindari sesuatu yang syubhat.
Salah satu contoh Wara’ ini sebagaimana yang dilakukan oleh guru penulis. Beliau tidak pernah berkenan untuk membeli atau mengonsumsi ayam (yang sudah disembelih) dari pasar, karena takut penyembelih di pasar tidak memenuhi syarat penyembelihan yang benar. Beliau juga menolak pemberian dari orang yang ketahuan hasil usahanya berasal dari dana pinjaman bank konvensional.
Wara’nya muttaqin sebagaimana derajat yang ketiga adalah bersumber dari hadis Nabi. Nabi bersabda: “Seorang hamba tidak akan sampai di derajat muttaqin, sehingga dia meninnggalkan sesuatu yang tidak mengandung bahaya karena takut akan menimbulkan bahaya”. Contoh derajat ini adalah menghindari berhias (untuk wanita atau laki-laki) karena takut sesuatu (fitnah) yang akan timbul darinya. Demikian juga ketika sayyidina Umar diberikan jabatan untuk menjadi khalifah. Beliau memutuskan untuk menceraikan istri yang dicintainya, karena rasa takut suatu saat istrinya akan menunjukkan kepadanya hal yang tidak baik dimana sayyidina Umar akan mentaati untuk mendapatkan ridho istrinya. Hanya rasa takut.
Salah satu contoh yang lain menurut penulis adalah Yai Usman Al-Ishaqy sebagaimana di dalam kitab Lu’lu’ wal Marjan. Di waktu kecil, beliau ingin sekali dahar sampai kenyang. Kemudian beliau pun melakukannya. Setelah makan, sebagai gantinya beliau segera menghatamkan Al-Qur’an dalam sekali duduk. Beliau mengatakan bahwa tidak pernah makan sampai kenyang lagi sampai dewasa. Hal ini karena makan kenyang disinyalir akan membuat seorang hamba lupa terhadap tuhannya.
Yang keempat adalah wara’nya siddiqin. Halal bagi mereka adalah sesuatu yang tidak diawali dengan ma’siat dan tidak untuk menolong kemaksiatan. Halal adalah sesuatu yang diperoleh hanya karena Allah dan untuk taqwa dalam beribadah kepadanya. Karena bagi mereka hidup adalah hanya untuk-Nya, sehingga mereka melihat sesuatu yang dilakukan tidak karena Allah adalah haram. Seperti contoh: ada seseorang yang dipenjara dan dia dalam keadaan lapar. Kemudian ada seorang wanita solihah yang berbaik hati memberikan makanan terhadapnya tapi melalui perantara seorang sipir penjara. Seseorang yang dipenjara tersebut tidak berkenan menerima makanannya karena menganggap kekuatan yang mengantarkan makanan terhadapnya adalah kekuatan yang tidak baik.
Contoh yang lain adalah cerita Syaikh Abd. Qodir Al-Jailany. Ketika uzlah selama 25 tahun dalam hutan beliau hanya memakan dedaunan. Ini dilakukan bukan karena beliau tidak mampu, melainkan karena beliau sadar bahwa segala macam nikmat kelak akan diminta pertanggung jawaban kelak di akhirat. Begitulah derajat siddikin, mereka melihat dunia hanya sebatas tempat mencari keridhoan dari Allah yang maha agung.
Sebagai manusia akhir jaman, melakukan dengan istiqomah tingkatan yang pertama saja kiranya sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Apalagi bisa melanjutkan ke tingkatan-tingkatan selanjutnya. Seyogyanya kehidupan adalah aturan-aturan ilahi yang apabila kita melakukannya dengan ikhlas dan sepenuh hati maka itu tidak akan sempat kita pandang sebagai aturan, melainkan pancaran sinar sifat asih Allah terhadap mahkluknya. Itulah yang disebut dengan manisnya iman. Untuk menggapainya tentunya tidak bisa dilakukan dengan seketika, butuh proses panjang yang disertai dengan dasar ilmu agama yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar