Atlas Walisongo: Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah

Judul resume ini disesuaikan dengan judul aslinya (Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah) ditulis oleh Prof. Agus Sunyoto yang diterbitkan oleh Pustaka IIMaN, Tengerang, cetakan ke VII tahun 2018 dengan tebal 485. 

Buku ini merupakan penjabaran kisah Walisongo yang didasarkan pada fakta sejarah yang dinukil dari transkip-transkip, naskah-naskah kuno, historiografi dan situs-situs resmi yang digali dan dipadukan dengan bukti-bukti lain termasuk diantaranya ceritar turun temurun masyarakat lintas generasi.

Di era jauh sebelum tibanya pendatang di bumi Nusantara, penduduk setempat sudah mempunyai kepercayaan sendiri, yang biasa disebut dengan “Kapitayan”. 

Ajaran Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran dimana penganutnya memuja sembahan yang disebut dengan Sang hyang Taya.  “Hyang” bermakna Hampa Kosong, suwung atau awung awung, sedangkan “Taya” bermakna  Absolut, tidak bisa dipikir, didekati dengan panca indera dan dibayang-bayangkan. 

Atau orang jawa biasa menyebut “tan kena kinaya ngapa”. Dalam rangka memuja Sang Hyang Taya, biasanya penganut Kapitayan menyediakan sesajen dari anyaman bambu untuk tempat bunga, arak, Tu-Kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan. 

Berbeda dengan sembahyang tunggal yang dilakukan oleh masyarakat awam, amaliah yang dilakukan oleh para ruhaniawan Kapitayan berlangsung khusus di tempat yang disebut dengan sanggar (bangunan bersegi empat beratap tumpang dengan lubang ceruk di dinding sebagai lambang kehampaan Sang Hyang Taya).

Dalam bersembahyang menyembah Sang Hyang Taya, mereka mengikuti gerakan tertentu: mulanya sang ruhaniawan Kapitayan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati), lalu kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada hati. 

Setelah Tu-lajeg ini kemudian dilanjutkan dengan proses tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) lumayan lama, lalu prosesi tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir adalah to-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut).

Datangnya para saudagar dari India kemudian banyak memberikan perubahan pada ajaran yang dianut masyarakat Nusantara, salah satunya adalah tersebarnya ajaran Hindu dan Budha. 

Dalam Naskah Rajya-rajyai Bumi Nusantara disebutkan bahwa pada tahun 52 Saka (130 Masehi) seorang bernama Dewawarman asal negeri Pallawa di India telah menjadi raja di Salakanagara, yang beribu kota Rajaputra. Tepatnya bertempat di Ujung barat pulau Jawa (sekarang Banten).

Masuknya saudagar Arab setelahnya juga memberikan pengaruh pada saat itu, meskipun tidak begitu signifikan. M.C. Ricklefs memastikan bahwa Islam sudah masuk ke asia tenggara sejak awal zaman Islam, semenjak khalifah Usman bin Affan (644-656 M), karena zaman itu, utusan-utusan muslim dari tanah Arab mulai tiba di istana China, sedangkan kontak-kontak China dan dunia Islam terpelihara lewat jalur laut perairan Nusantara.

Sementara Menurut P. Wheatley dalam The Gorden Kersonese. Berita yang bersumber dari dinasti Tang mengatakan bahwa saudagar-saudagar arab beragama Islam mulai datang ke Nusantara sejak tahun 674 Masehi. 

Sedangkan S.Q. Fatimi juga mencatat bahwa abad ke 10 Masehi terjadi imigrasi keluarga-keluarga Persia ke Nusantara, salah satunya adalah keluarga Lor pada 912 Masehi yang kemudian tinggal di Jawa dengan nama loran atau leran, yang sampai sekarang masih menjadi nama sebuah tempat di sekitar Kabupaten Gresik. 

Lalu ada keluarga Jawani yang bermukim di Pasai (Sumatra Utara), keluarga inilah yang kemudian membuat khat Jawi, berarti tulisan Jawi yang dinisbatkan kepadanya. Demikian juga keluarga Syiah dan keluarga Rumai yang juga bermukim di sekitar Sumatra.

Setelah berabad-abad kemudian, dengan datangnya para saudagar muslim tersebut, tidak ditemukan sejarah-sejarah bahwa Islam kemudian dianut secara besar-besaran oleh penduduk Nusantara. Bahkan R Taryono mengungkapkan dalam usaha mengislamkan Jawa, Sultan Al-Gabah dari negeri Rum mengirim 20.000 keluarga muslim ke Pulau Jawa.

Namun banyak diantara mereka tewas terbunuh, tersisa hanya sekitar 200 keluarga. sultan Al-Gabah dikisahkan marah kemudian mengirim para syuhada, ulama dan orang sakti ke pulau Jawa untuk membinasakan para jin, siluman dan dedemit. Salah satunya adalah Syaikh Subakir, yang dipercaya menetralisir beberapa penjuru Jawa yang kemudian pulau tersebut dapat dihuni oleh umat Islam. 

Menurut Groeneveldt, pada ekspedisi pertama Laksamana ceng Ho ke Nusantara pada 1405-1407 menemukan bahwa komunitas muslim di sekitar pantai utara Jawa, masing-masing hanya berjumlah sekitar seribu keluarga. 

Kemudian menguti p dari Fr. Hirth & W.W. Rockhill dalam Chau Ju-Kua,  pada tahun 1433 Ma Huan pengikut ekspedisi ke-tujuh Laksamana Ceng Ho mencatat bahwa penduduk yang tinggal di daerah pantai utara Jawa terdiri atas tiga golongan: Muslim China, Muslim Persia-Arab, dan Pribumi yang masih belum Islam.

Salah satu bukti nyata adalah adanya petilasan Islam di Nusantara yang bernama Fatimah Binti Maimun terletak di dusun Leran, Gresik yang inkripsinya menunjukkan kronogram 475 Hijriyah atau 1082 Masehi. 

Makam ini juga mempunyai hubungan arkeologis dengan keluarga migran asal Persia yang hijrah ke Nusantara di abad ke-10. Kemudian juga ada makam Syaikh Samsuddin Al-Wasil di Setana gedong, Kediri.

Dikisahkan beliau adalah ulama besar yang menurut data historis dan arkeologis berasal dari negei Rum (Persia), hidup sekitar abad ke-12 Masehi pada masa kerajaan Kediri dan diyakini merupakan guru rohani Sri Mapanji Jayabhaya, Raja Kediri. 

Demikian juga banyak situs-situs peninggalan sejarah yang menyebutkan bahwa Islam sudah ada di bumi Nusantara sejak berabad-abad yang lalu, namun masih menjadi minoritas. 

Artinya sejak penemuan pertama datangnya Islam ke Nusantara pada abad ke-7 sampai kunjungan Ceng Ho di abad ke 15, Islam masih agama yang belum dianut oleh mayoritas masyarakat Nusantara dan masih menjadi agama yang terpinggirkan.

Kedatangan penduduk kerajaan Champa (dulu sebelah selatan Vietnam) beragama Islam pada abad ke-15 setelah jatuhnya Champa akibat serbuan Kerajaan Vietnam, dalam beberapa historiografi dihubungkan dengan asal mula penyebaran agama Islam secara masif di Indonesia, karena salah satu penduduknya, yakni Syaikh Ibrahim Asmoroqondi (As-Samarqandy) Raden Rahmat dan Raden Ali Murtadha, yang kemudian mempunyai andil sangat besar terhadap penyebaran Islam di Nusantara.


Hal itu juga berdampak pada akulturasi budaya seperti kebiasaan masyarakat Champa yang juga dilakukan oleh masyarakat pribumi, salah satunya adalah masyarakat Champa biasa menyebut ibunya dengan sebutan “mak” yang dalam masyarakat Majapahit awalnya disebut “ina”, “kakak” padahal masyarakat majapahit biasa menyebut “raka”, “adhy/adik” padahal masyarakat Majapahit biasa menyebut “rayi”. 

Demikian juga tradisi peringatan hari kematian yang tidak dikenal di jaman Majapahit, seperti peringatan hari kematian ke-3,ke- 7, ke-10, ke-30, ke-40, ke-100, ke-1000, dan juga peringatan haul.

Hal tersebut ditenggarai terpengaruh oleh budaya Persia, dikarenakan daerah Champa masyarakatnya juga banyak terpengaruh oleh Persia. Salah satu pengaruh yang jelas dari Persia adalah pelafalan pembacaan “Jer” untuk harokat kasrah, “pyes” untuk dhommah, dan “jeber” untuk fathah. Prosesi ini sampai sekarang masih dipakai di Nusantara, salah satunya di Madura. Pengaruh tahayyul Champa yang sebelumnya tidak dikenal di Nusantara seperti menghitung suara tokek, adanya pocong, tuyul dan lain-lain, kemudian juga dipercaya oleh masyarakat Nusantara.

Meskipun agama Islam pada saat itu belum luas dianut oleh penduduk, sejumlah bukti arkeologi menunjuk bahwa pada abad ke-14 Masehi beberapa pejabat tinggi Majapahit pada puncak kebesarannya telah menganut Islam. 

Hal ini sebagaimana yang tertera dalam situs nisan Islam Tralaya yang menunjukkan adanya komunitas Muslim di jaman kejayaan Majapahit. 

Menurut Louis Charles Damais dalam Etudes Javanaeis I, batu bata nisan yang menggunakan tahun Saka dan angka Jawa Kuno bukan tahun Hijriyah dan tulisan arab di situs Tralaya menunjukkan bahwa yang dikubur bukanlah muslim arab, melainkan muslim Jawa.

Salah satu strategi dakwah Walisongo dalam menjalankan misinya di Nusantara adalah dengan jalur memperkuat kedudukan Islam dengan membentuk jaringan kekerabatan para penyebar Islam dengan putri-putri penguasa. 

Beberapa implementasinya adalah dengan menikahnya Putri Arya Lembu Sura dengan Prabu Brawijaya V, itulah sebabnya Prabu menyerahkan Raden Rahmat atau Sunan Ampel ke penguasa Surabaya dan diangkat secara resmi menjadi Imam di Surabaya. Demikian juga Sunan Ampel menikah dengan Nyi Ageng Manila putri penguasa Tuban yang muslim (Kakek Sunan Kalijaga). 

Raden Rahmat juga menikahkan Khalifah Usen (kerabat Raden Rahmad) dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura, sehingga terjalin hubungan kekeluargaan yang amat erat dengan beberapa penguasa.

Hal ini pula yang menyebabkan Sri Prabu Kertawijaya menjadi Raja pertama yang menaruh perhatian terhadap Islam, disebabkan dua istrinya yang berasal dari Champa (yang menghasilkan Arya Damar/Ario Abdillah, Adipati Palembang) dan yang berasal dari China (yang menghasilkan Raden Patah yang kemudian menjadi penguasa Demak Bintara) yang keduanya beragama Islam. 

Prabu Brawijaya V juga banyak mengangkat muslim menjadi adipati di beberapa wilayah, salah satunya adalah Arya Teja (kakek Sunan Kalijaga) bupati Tuban, Aria lembu Sura sebagai Bupati Surabaya, Sayyid Es sebagai Adipati Kendal dan beberapa tokoh Islam juga secara resmi diangkat menjadi raja pandita.

Demikian juga, banyak hubungan kekeluargaan lain dari para penyebar Islam dengan para penguasa yang sangat berfungsi dalam memuluskan pengembangan dakwah di Nusantara.

Walisongo juga mengambil alih lembaga pedidikan Syiwa-Budha yang disebut asrama atau dukuh yang kemudian diformat sesuai ajaran Islam menjadi lembaga pendidikan pondok pesantren. 

Walisongo secara aktif juga mengembangkan Islam melalui seni dan budaya, salah satunya adalah dengan wayang. Mengetahui Wayang adalah tontonan yang sangat disenangi di jaman dahulu, anggota Walisongo salah satunya adalah Sunan Kalijogo, Sunan Muria, dan Sunan Bonang menjadikan wayang sebagai sarana dakwah yang efektif, tentunya dengan melakukan beberapa perubahan.  

Salah satunya adalah merubah bentuk-bentuk gambar wayang agar bisa lebih sesuai dengan syariat dan mengubah alur cerita yang bisa memantik penontonnya agar lebih tertarik terhadap agama Islam.

Salah satu contohnya adalah, di dalam pergelaran wayang lakon Dewa Ruci, Sunan Kalijaga menggambarkan bagaimana tokoh Bima yang mencari susuning angin (sarang angin) bertemu tokoh Dewa Ruci yang bertubuh besar ibu jari, tetapi Bima dapat memasuki tubuhnya. 

Selama berada di sana Bima menyaksikan dimensi alam ruhani mekajubkan digelar, di mana Sunan Kalijaga secara dialogis dan monologis menggunakan tokoh Bima memberikan paparan makna secara Ruhani tentang dimensi Ruhani yang disaksikan Bima. 

Hal ini disampaikan pada para muridnya secara tertutup bahwa dalam kisah tersebut sejatinya yang dimaksud Dewa Ruci adalah Nabi Khidir, sebab yang disampaikan adalah pengalaman ruhani Sunan Kalijaga sendiri sewaktu memasuki alam terbalik dari alam dunia.

Dalam naskah Suluk Linglung Pupuh IV Dhandhanggula memaparkan bahwa Sunan Kalijaga mengatakan bahwa Nabi Khidir memangkas keraguannya untuk memasuki tubuh sang Nabi yang berisi alam raya, yang kemudian membuat Sunan Kalijaga ketakutan.  

Lalu Sunan Kalijaga masuk dari telinga, dan menyaksikan samudra luas tanpa tepi (bahrul wujud). Tidak terlihat satu pun di situ, sebab luas tanpa batas sehingga tidak tau arah mata angin, membuat Sunan Kalijaga bingung. 

Nabi Khidir mengingatkan agar Sunan Kalijaga tidak bingung, lalu tampaklah Nabi Khidir laksana matahari, yang ternyata berada dalam dimensi lain berbeda dengan dunia. Bait-bait selanjutnya dalam Suluk Linglung Pupuh menggambarkan empat jenis macam cahaya (Hitam, merah, kuning, putih) yang disaksikan oleh Sunan Kalijaga di dalam diri Nabi Khidir, masing-masing diberi penjelasan maknawiyahnya. 

Cahaya-cahaya tersebut adalah pancaran dari tiga hati manusia yang menjadi penghalang bagi manusia untuk menuju tuhan.

Cahaya hitam cenderung marah, mudah sakit hati, angkara murka membabi buta, yang menutup jalan menuju kebaikan sebagaimana dalam tasawwuf disebut nafsu lawwamah. Cahaya merah pancaran nafsu tidak baik, sumber segala hasrat keinginan, mudah emosi dalam mencapai tujuan, sehingga menutupi hati yang sudah jernih menuju akhir hidup yang baik, ini yang kemudian dinamakan nafsu ammarah. 

Cahaya kuning berpotensi menghalangi timbulknya pikiran baik, cenderung merusak, menelantarkan, membawa ke jurang kebinasaan, ini yang kemudian dikenal dengan nafsu sufliyah. Kemudian yang terkahir adalah cahaya puth menggambarkan tenang dan sucinya hati, ini disebut dengan nafsu mutmainnah.

Sunan Kalijogo juga menciptakan lagu sekar ageng dan sekar alit serta menyempurnakan irama gending-gending. Diantara gubahan sunan Kalijogo yang banyak dihafal masyarakat adalah kidung rumeksa ing wengi dan juga tembang ilir-ilir. 

Dalam melaksanakan dakwahnya, Sunan kalijogo tidak hanya berdiam diri, melainkan berkeliling ke tempat-tempat lain, sebagai dalang, penggubah tembang, tukang dongeng, penari topeng, desainer pakaian, perancang alat pertanian, penasihat Sultan dan lain-lain.

Proses dakwah yang terencana dengan sistematis, penuh kesabaran dan sangat matang, secara perlahan membuat perubahan tidak hanya pada tatanan keyakinan masyarakat sekitar, melainkan juga pada tindak tanduk masyarakat yang asalnya sangat kasar dan sombong.

Sebagaimana nilai-nilai yang disebut oleh orang-orang Majapahit bahwa mereka selalu memegang prinsip Adhigana (merasa unggul), adhigung (merasa agung), adhiguna (merasa superioritas), rajas (nafsu yang berkobar-kobar tak terkendali), kawasa (berkuasa).

Hal ini sebagaiamana yang disaksikan oleh Diogo DO Couto yang datang ke Jawa pada tahun 1526 yaitu setahun sebelum jatuhnya Majapahit, dalam tulisannya yang berjudul Decadas Da Asia mencatat kesannya bahwa Jawa dahulu adalah negara yang kaya dan melimpah ruah, sehingga Malaka, Aceh dan negeri tetangga menerima banyak pasokan dari Jawa. 

Namun orang-orangnya adalah orang yang sombong, selalu memandang suku lain lebih rendah darinya, oleh sebab itu, jika melewati sebuah jalan, dan melihat suku lain berdiri di atas bukti kecil atau tempat yang lebih tinggi daripada yang akan dilewati orang Jawa, dan suku lain tersebut tidak segera turun, maka dia akan dibunuh. Sebab orang jawa tidak akan membiarkan suku lain berada lebih tinggi darinya. Bahkan tidak ada seorang pun di antara orang Jawa yang rela menyungging barang di atasnya, sekalipun dia dihukum mati.

Pada akhirnya secara perlahan walisongo dapat merubah gaya hidup, sikap dan sifat orang Jawa yang demikian menjadi semakin luluh dan sangat halus. 

Bahkan, Walisongo juga memperkenalkan kata “ngalah”, kata yang sebelumnya tidak dikenal di era Majapahit, diambil dari ke-Allah (sama seperti ngalas yang bermakna ke alas), yang kemudian menjamur dan diserap dengan baik oleh masyarakat sekitar. 

Proses dakwah ini ternyata belum sampai ke dataran Blambangan, kenyataanya pada tahun 1700-an, masih banyak penduduk bumi Blambangan yang belum memeluk Islam, sehingga masih tersulut dengan sifat-sifat superioritas, akhirnya banyak terjadi perang antar kadipaten di sana yang berakhir pada banyaknya penduduk Blambangan meninggal, sehingga jumlahnya tergerus bahkan hampir habis. Inilah yang mendorong pemerintah Hindia Belanda kemudian memindahkan orang-orang Madura ke daerah Blambangan, dan sampai sekarang dikenal dengan Tapal Kuda.

Demikian juga, salah satu cara yang digunakan oleh Walisongo adalah dengan kekuasaan politis.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Giri, Sunan Gunug Jati, Sunan Kudus dan Raden Patah. kekuasaan politis yang dimiliki para Wali dipergunakan dengan sangat baik dalam menyebarkan ajaran Islam. 

Sebagaimana kebesaran nama Sunan Giri dalam memimpin wilayah politisnya di Giri Kedaton telah membawa nama besar  terhadap cucunya yang bernama Pangeran Prathika yang kemudian menyebarkan Islam sampai Kutai, Gowa, Sumbawa, Bima bahkan Maluku.

Demikian juga Raden Patah, dalam menyebarkan agama Islam, Raden Patah tidak hanya mengambil langkah melalui kebijakan politik kekuasaan, melainkan juga dengan ajakan memakai media seni rupa. Salah satu contohnya, sebagai alat untuk menarik masyarakat, dibuyikanlah gamelan besar di setiap hari besar (Maulid), yang diletakkan di Bangsal Sri Menganti yang diusung dari istana ke Masjid setelah isyak dengan dibunyikan terus menerus selama perjalanan.

Sesampainya di halaman Masjid, gamelan tersebut dibunyikan terus menerus siang dan malam. Siang mulai pagi sampai dzuhur, malam mulai ba’da isyak sampai tengah malam. Rakyat banyak yang tertarik pada bunyi tersebut, kemudian berbondong-bondong datang ke halaman Masjid  sambil memperoleh bagian makanan yang telah dipersiapkan, mereka diberi penerangan mengenai ajaran agama Islam dan riwayat Nabi Muhammad Saw. mereka yang tertarik pada Islam kemudian dituntun untuk membaca dua kalimat sahadat. 

Hal ini berlaku tujuh hari sebelum hari besar Maulid, dan puncaknya ialah pada tanggal 12 Rabiul Awwal.

Cara Walisongo yang lain dalam menyebarkan Islam adalah dengan membuka pikiran masyarakat sekitar mengenai konsep kesetaraan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Drajat dengan pepali pitu-nya yang mencakup 7 filsafah sosial, yakni: Memangun reyep tasying sesama (Selalu membuat hati orang senang); Jroning suka kudu eling lan waspada (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu waspada); Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (dalam menapai cita-cita luhur jangan hiraukan halangan dan rintangan); meper handraning pancradriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu-nafsu inderawi); heneng-hening-henung (dalam diam akan dicapai keheningan, dalam hening akan mencapai jalan kebebasan mulia); mulya guna panca waktu (pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan menjalani sholat lima waktu); menehono teken marang wong kang wutho. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busana marang wong kang wudo. Menehono pangiyup marang wong kang kaudanan. (berikan tongkat pada orang yang buta. Berikan makanan pada orang yang lapar. Berikan pakaian pada orang tak berbusana. Berikan tempat berteduh pada orang yang kehujanan).

Upaya perubahan dalam permasalahan kehidupan sosial tersebut sangat diterima oleh masyarakat, masyarakat yang awalnya tersekat-sekat menjadi beberapa kedudukan, kemudian bisa lebih berbaur tanpa batasan. 

Sebagaimana diketahui pada era Majapahit kedudukan manusia dibagi menjadi 7 golongan: mulai dari Brahmana (Ruhaniawan), Ksatria (Penguasa), Waisya ( pedagang), Sundra (buruh), Candala (peranakan dari Sundra dan 3 golongan diatasnya), Mleccha (bangsa pendatang, China, Arab dll) terakhir adalah Tuccha (golongan yang merugikan masyarakat, semisal pencuri, dan lain-lain.

Alasan yang juga membuat Islam cepat menyebar di jaman Walisongo adalah karena Islam yang diajarkan di Nusantara merupakan Islam Sufisme yang diakulturasikan dengan budaya setempat, pada akhirnya metode seperti ini mudah diterima oleh masyarakat. Mengingat ada beberapa persamaan antara kedua hal tersebut. 

Bahkan banyak sumber menyatakan bahwa hampir semua tokoh Walisongo ialah bertoriqoh, sebagaimana Sunan Ampel. Sunan Giri dengan toriqoh Satariyyah, Sunan Bonang juga Satariyyah, Sunan Kalijogo toriqoh Satariyyah dan Akmaliyyah, Sunan Gunung Jati toriqoh Naqsabandiyah, istiqoi dan Satariyyah dan juga Syaikh Siti Jennar dengan Toriqoh akmaliyyah dan satariyyah. 

Proses islamisasi yang lain melalui kebudayaan lokal salah satunya ialah mengenai istilah-istilah khas lokal yang menggantikan istilah baku dalam Islam, seperti gusti kang murbeng dumajdi menggantikan kalimat Allah tuhan yang maha pencipta, Kanjdeng Nabi Sebutan hormat untuk Nabi, kiyai untuk ulama dan lain-lain. kemudian juga yang dilakukan oleh Sunan Bonang, yakni Upacara Pancamakara atau Ma Lima, Salah satu upacara yang dilaksanakan oleh penganut Sekte Tantra-Bairawa dimana beberapa laki-laki dan perempuan duduk berbentuk melingkar dengan tanpa busana dengan seorang Cakreswara (Imam), kemudian menyantap makanan sampai kenyang, setelah kenyang mereka meminum khamar, kemudian setelah mabuk mereka melakukan seks bebas. Hal itu kemudian diubah dengan acara kenduri yang isinya adalah bacaan-bacaan dalam Islam dan sedekah.

Demikian juga cerita dakwah Sunan Bonang yang ditantang Ajar Blacak Ngilo untuk Sabung Ayam dengan taruhan siapa yang kalah akan menjadi pengikut yang menang. 

Dengan memerintahkan seorang muridnya, Sunan Bonang menjagokan seekor anak ayam, diceritakan setiap kalah kemudian murid tersebut meniup si ayam, lalu ayamnya semakin besar, sampai akhirnya sekali serang ayam ajar Blacak Ngilo langsung kalah.

Kisah-kisah di atas adalah serpihan kisah dari banyak cerita unik nan gigih bagaimana Walisongo menjalankan misinya untuk mengembangkan Islam di Nusantara,  cara yang dipakai adalah cara yang penuh dengan kasih sayang dan tidak semena-mena.

Sebagaimana dalam konsep Islam, Ud’u ila sabili rabbika bil hikmati wal mauidzotil hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan (serulah -manusia- kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik), Q.S. An-Nahl ayat 125.

Dari beberapa cerita para penjelajah masa lalu, mulai dari saudagar Thazi Muslim sejak tahun 674 Masehi, sampai ekspedisi Ceng Ho yang ke-7 ke pulau Jawa pada tahun 1433, menunjukkan bahwa Islam tidak berkembang di Nusantara selama sekitar 750 tahun lamanya. 

Bahkan sekalipun raja Samudera di bagian utara Sumatera mengirimkan 2 utusan bernama Arab ke China pada tahun 1282, sehingga mengundang kehadiran muslim-muslim China di Nusantara, juga tidak menunjukkan bahwa negara-negara Islam lokal dan komunitas mayoritas Islam di Nusantara telah berdiri.  

Baru kemudian pada tahun 1515 Tome pires ahli obat-obatan yang menjadi duta Raja Portugal di China yang mengunjungi Jawa pada tahun 1515 dalam buku Suma Oriental yang ditulis di Malaka mencatat bahwa sepanjang pantai utara pantai Jawa dipimpin oleh adipati-adipati Muslim dan banyak orang muslim, hal ini sejalan dengan fakta yang disaksikan oleh A. Pigafetta yang berkunjung ke Jawa pada tahuan 1522. 

Keterangan tersebut juga ditunjang oleh prasasti-prasasti kuno yang menyebutkan perkembangan Islam yang cukup signifikan di era-era Walisongo.

Terdapat fakta bahwa dari kurun waktu sekitar tahun 1433 kedatangan Ceng Ho ke-7 (masa sebelum datangnya Sunan Ampel), Islam dinyatakan belum berkembang pesat dan tidak menjadi mayoritas. 

Adapun tahun 1515 dan 1522 (setelah masa Walisongo) sebagaimana kedatangan orang-orang Portugis tersebut, Islam dinyatakan sudah berkembang dengan sangat pesat dan telah membentuk kerajaan-kerajaan Islam. 

Artinya Islam berkembang dan tersebar dalam kurun waktu hanya sekitar 50-an tahun masa Walisongo. 

Era emas dalam kurun waktu 50 tahun tersebutlah Walisongo dengan gigihnya banyak mengislamkan penduduk Nusantara. 

Terbukti bahwa dakwah Walisongo yang berupaya mengakulturasikan kebudayaan-kebudayaan lokal dengan nilai-nilai keislaman melalui ajakan yang santun dan gigih sangat mudah diterima masyarakat Nusantara. 

Share:

1 komentar:

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh