Sebelum membaca tulisan ini pastikan anda sudah membaca episode sebelumnya.
Setelah sampai di pulau Sapeken, saya diajak berkeliling. Di sana saya mulai merasa seperti orang asing, pasalnya orang-orang di sekeliling saya berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah saya dengar. Setelah bertanya, baru kemudian saya tau bahwa mereka berbicara dengan bahasa bugis. Bahkan katanya, beberapa pulau di kepulauan Sapeken ada yang berkomunikasi dengan campuran 3 bahasa: Bugis, Mandar dan Madura. (Pada akhirnya saya tau bahwa asal muasal orang Sapeken adalah suku Bugis yang legendaris sebagai pelaut ulung itu, mereka di samping orang yang gigih berani juga pintar, bahkan raja-raja Melayu di Malaysia kebanyakan juga keturunan Bugis, mereka jugalah yang banyak menghuni pulau-pulau kecil di seantero Nusantara)
Pulau Sapeken adalah pulau kecil, saya tidak tau pasti diameternya berapa, tapi saya yakin saya bisa berlari mengelilingi pulau ini tanpa harus ngos-ngosan. Jalan-jalan di pulau Sapeken sangat sempit, hanya muat untuk dua motor roda tiga (Tossa), wajar jika saya sama sekali tidak melihat mobil. Mobilitas warga dari satu tempat ke tempat yang lain juga diantar oleh kendaraan roda tiga tersebut. Itu adalah transportasi umum bagi warga Sapeken. Kebanyakan penumpangnya adalah para pelajar dan ibu-ibu yang sepertinya sehabis belanja dari pasar. Rumah-rumah di pulau Sapeken saling berdempetan, bahkan hampir tidak mempunyai halaman sama sekali. Beberapa kali saya mendengar percakapan orang dengan bahasa Jawa, ternyata di sana memang banyak perantau Jawa yang mencari penghasilan dengan membuka toko dan warung.
Setelah berkeliling sejenak, kita memutuskan untuk istirahat. Awalnya saya bergumam kenapa saya tidak lekas diajak ke rumahnya, toh kita sudah sampai di pulau tujuan. Ternyata saya salah. Rumah teman saya tidak berada di pulau Sapeken, melainkan di pulau Saor. Artinya kita harus menunggu jam 12 siang untuk kemudian naik perahu taxi menuju pulau Saor.
Di perahu taxi, kita bersama ibu-ibu yang berwajah lelah dan ceria selepas pulang dari pasar. Jarak antara pulau Saor dan Sapeken sekitar 20 menit perjalanan laut. Di sepanjang perjalanan, perahu melewati beberapa pulau kecil tak berpenghuni, bahkan diujung sebelah barat ada pulau yang tampaknya mempunyai gedung putih nan megah. Katanya, itu dulu adalah tempat penghasil berlian milik pengusaha Jepang, tapi saat ini sudah ditinggalkan. Sesampainya di pulau Saor ternyata saya sudah ditunggu oleh keluarga teman saya di tempat berlabuhnya perahu.
Pulau Saor merupakan pulau yang tidak begitu besar, namun lebih besar dari pulau Sapeken. Rumah kayu dengan panggung penyanggah yang tingginya sekitar sedada menandakan bahwa masyarakatnya masih memegang teguh adat budayanya. Ketika sudah sampai di rumahnya, karena baterai smartphone saya sudah lowbate, saya meminta teman saya untuk menchargenya, dia berkata bahwa di pulaunya belum ada listrik. Jlebb. Saya sangat kaget, kenapa di pulau kecil Sapeken segalanya serba ada, bahkan kehidupan warganya sudah seperti di kota, tapi di pulau yang berjarak tidak jauh darinya, listrik malah belum tersalurkan. Lebih kesalnya lagi setelah mendengar teman saya bercerita bahwa memang di seluruh kepulauan Sapeken hanya Pulau Sapeken saja yang dialiri listrik, pulau lain hanya memakai mesin diesel desa yang menyala ketika jam 17.30 sampai jam 23.30.
Saya juga semakin kesal ketika mengingat kilang-kilang minyak di pulau Pagarungan Besar. Pikir saya, mengapa mengalirkan minyak dengan jarak yang sangat jauh saja bisa tapi menyalurkan kabel listrik untuk rakyatnya malah tidak bisa, kekesalan bertambah ketika mendengar bahwa dengan listrik yang menyala tidak sampai setengah hari dan hanya dipakai untuk lampu dan televisi tersebut, satu rumah harus membayar sekitar Rp. 90.000 perbulan.
Kekesalan di atas adalah bentuk kekesalan saya yang objektif hehe. Kekesalan subjektifnya adalah bagaimana saya bisa bertahan selama masa yang tidak ditentukan di sini (karena saat itu belum melihat jadwal kapal ke sumenep) tanpa adanya aliran listrik. Terus buat apa saya berat-berat bawa laptop jika ternyata listrik diesel di rumah teman saya saat malam hari tidak akan kuat untuk mengaliri laptop. Pikir saya saat itu, hari-hari di sini akan menjadi hari yang menantang dan penuh pembelajaran.
Orang tua teman saya sangat ramah, ayahnya selalu mengajak saya bercengkrama dengan bahasa Indonesia yang baik. Kemungkinan terbesar mengapa dia bisa sangat lancar berbahasa Indonesia di tempat yang jauh seperti ini disebabkan adanya televisi, karena teman saya bilang bahwa ayahnya tidak pernah merantau kemana-mana. Setiap pagi ayahnya selalu menyuguhi saya kopi, ada saja topik yang dibicarakan. Makanan pokok yang biasa disuguhkan adalah ketan putih dengan parutan kelapa berlauk pindang. Sebelumnya saya memang agak heran dengan menu itu, karena biasanya ketan putih di Madura diposisikan sebagaimana jajanan-jajanan tradisional, tapi ternyata di sini menjadi makanan pokok.
Setelah sehari di sana, saya bertemu dengan pak Haji (namanya sampai sekarang saya tidak tau). Beliau adalah mantan Kepala Desa Sapeken-Saor selama 25 tahun setelah menggantikan orang tuanya yang memimpin selama 40 tahun. Kata masyarakat, beliau ini adalah keturunan Raja Bugis zaman dulu. Rumah beliau ialah di pulau Sapeken. Kemana-mana beliau memakai speddboat, beliau biasa berkunjung ke satu pulau dan pulau lain untuk sekedar bercengkrama dan membahas beberapa hal.
Yang sangat saya kagumi dari beliau adalah karena orangnya yang sangat ramah, agamis, baik dan supel. Itu juga yang membuat beliau sangat berkarisma, masyarakat pun sangat menghormatinya. Saya kira faktor utama mengapa masyarakat sangat menghormati beliau bukan karena beliau yang keturunan Raja atau mantan kepala desa, melainkan karena sifat-sifatnya yang terpuji itu. Pak Haji duduk bersama beberapa masyarakat, mereka membahas rencana penyambutan Bupati yang tinggal beberapa hari lagi, sekalian saat itu hendak kerja bakti membuat gardu pinggir pantai.
Siang itu, kita duduk di pantai barat pulau Saor. Pemandangannya sangat Indah, karena saat kita duduk di gardunya, di sebelah kanan nampak pulau panjang dengan warna hijau yang apik, dan sebelah kiri ada pulau kecil yang juga tampak anggun. Bahkan di sore hari (setelah beberapa hari di pulau Sapeken) saya melihat keindahan yang luar biasa. Ikan lumba-lumba meloncat-loncat diringi sinar matahari yang mulai terbenam pas di tengah antara dua pulau yang Indah tersebut.
Setelah bercengkrama, pak Haji mengajak saya untuk berkeliling ke beberapa pulau dengan speedboatnya. Sekaligus mendatangi salah seorang tukang untuk mengerjakan proyek tambak udang di salah satu lahan kosong pulau Saor. Kita juga diajak mengunjungi pulau pasir, pulau kecil berisi hamparan pasir yang berdiameter sekitar 55 meter persegi. Di samping pulau pasir, ada bangunan rumah kayu di tengah laut, bangunannya agak besar, pak haji bercerita bahwa itu adalah salah satu bangunan miliknya yang telah diwakafkan untuk kegiatan-kegiatan kepemudaan. Pak Haji juga meminta saya agar menginap di rumahnya saja.
Hari Selasa, setelah 3 hari tinggal di pulai Saor, ternyata saya mulai tidak betah. Saya befikir seandainya teman-teman bersama saya dengan pulau seunik dan seindah ini pasti suasananya akan berbeda. Kemudian saya teringat kapada tawaran pak Haji agar saya menginap di rumahnya saja. Kesempatan menyebrang ke pulau Sapeken juga akan saya pakai untuk melihat jadwal kapal yang akan mengantarkan saya pulang. Saya berharap ada kapal yang dapat membawa saya pulang, meskipun dengan tujuan Banyuwangi tidak apa-apa, asalkan bisa segera kembali. Saya tidak enak saja jika harus menginap di rumah orang sampai 2 minggu sebagaimana tamu teman saya sebelumnya. Katanya, penyebabnya adalah karena tidak ada kapal yang berlayar disebabkan cuaca yang tidak bagus.
Sesampainya di pulau Sapeken saya segera melihat jadwal kapal, ternyata kapal baru ada di hari Sabtu dengan tujuan Madura. Ini berarti saya masih bisa menghabiskan waktu beberapa hari lagi di pulau Indah ini, saya juga masih bisa melihat banyak keunikan-keunikan yang tidak akan saya temukan di tempat lain. Setelah santai sejenak di pelabuhan, kemudian saya dan teman saya menuju rumah pak Haji, pak Haji mengeluarkan beberapa skripsi hasil penelitian mahasiswa Malang mengenai warga Sapeken, kita juga banyak membicarakan nelayan-nelaya nakal yang menangkap ikan dengan cara yang tidak wajar. Maklum pak Haji meskipun orang lemah lembut, tapi ketika melihat nelayan nakal dia akan langsung bereaksi. Bahkan saya pernah diceritakan ada seorang nelayan yang pernah ditabok oleh beliau karena menagkap ikan memakai bahan peledak. Selepas itu, pak Haji menyuruh saya untuk menginap di rumahnya, karena merasa tak enak esoknya saya dan teman saya kembali ke pulau Saor.
Beberapa hari di sana ternyata membuat saya sampai pada posisi dimana saya benar-benar tidak betah, bahkan ingin pulang waktu itu juga. Namun kebaikan masyarakat Saor-lah yang kemudian membuat saya merasa selalu nyaman. Beberapa teman-teman yang seumuran dengan saya juga kerap mengajak saya berkeliling, pernah juga berburu pohon kelapa (di pulau Saor banyak sekali kelapa). Mereka tinggal naik membawa tali, mengaitkan tali ke salah satu ranting, ranting besar diikat kemudian dipotong memakai pisau, jatuhlah segondok kelapa terkatrol ke tali tadi. Lalu, dengan lumeran susu kental manis, kita nikmati bersama di gardu pinggir laut, sepuasnya.
Sesampainya di hari pemberangkatan kapal, perasaan saya senang-senang sedih. Salah satu kesenangannya mungkin karena saya akan kembali menikmati aliran listrik siang hari ketika sampai di Surabaya hehe, sedihnya karena akan berpisah dengan orang-orang baik ini. Entah, kapan lagi saya bisa berkunjung ke sini, pikirku. Sebelum berangkat, saya diminta untuk membawa salah satu burung bagus, maklum burung-burung yang mungkin di Surabaya termasuk burung langka, di sana mudah ditemukan dimana-mana. Termasuk burung Kepodang yang ditawari ke saya. Saya agak ragu untuk menerima karena takut itu termasuk jenis burung yang dilindungi. Ketika mau browsing mengenai hal itu, sinyal tidak mendukung. Untuk mengantisipasi sesuatu yang tidaj diinginkan, saya putuskan untuk tidak membawanya pulang.
Akhirnya saya bisa pulang menaiki kapal yang berbeda dengan saat saya berangkat, namun fasilitasnya hampir sama. Teman saya memutuskan untuk tinggal di rumahnya lebih lama, ini berarti saya harus kembali sendiri. Perjalanan kapal lebih cepat dari saat berangkat karena ketika berhenti di pulai Kangean dan Sepudi bukan untuk menurunkan logistik, tapi hanya menurunkan dan menaikkan penumpang. Pada akhirnya sampailah saya di pulau Madura setelah perjalanan 24 jam dikali 2, dan selama kurang lebih 5 hari di kepulauan Sapeken.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar