Menelaah Hukum Pinjol Dari Dua Aspek: Hukum Positif dan Hukum Islam

 

Hukum pinjol


Dalam tulisan ini, saya tertarik untuk mengupas hukum pinjol dari dua aspek: hukum islam dan hukum positif.

Di masa pandemi ini, fenomena gagal bayar pinjol (pinjaman online) kok ya semakin marak terjadi. Terakhir itu pada Oktober 2021 lalu, seorang ibu rumah tangga berumur 38 tahun gantung diri setelah putus asa karena tidak dapat membayar pinjaman uang pada 23 pinjol sekaligus. Begitu beritanya.

Atas laporan kematian itu, pihak polisi langsung bergegas mencari pelaku yang menyebabkan si Ibu ini sampai bunuh diri. Nah, polisi menangkap 7 tersangka di beberapa lokasi di Tangerang dan Jakarta.

Setelah menguak keterangan dari tersangka, tebak berapa gaji si tukang teror pinjol yang menyebabkan si ibu sampai bunuh diri? Gajinya UMR? NO! 2 Kali lipat UMR? NO! Berapa? Gajinya untuk sekedar menelpon dan mengirim pesan pada para korban yang gagal bayar itu ada pada kisaran 15 juta.

Besar sekali kan? Jelas. Besaran gajian itu juga pasti karena besaran laba perusahaan pinjol. Lalu, darimana laba pinjol? Dari Bunga! Bayangkan saja, Dedi, salah satu korban pinjol meminjam 2,5 juta di salah satu pinjol, hingga Oktober 2021, dia sudah membayar 100 juta beserta bunganya pun masih dinyatakan belum lunas. Super bukan? Data terakhir mengatakan perputaran uang di pinjol sampai 260 Triliun.

Mengenai bunga Pinjol legal, dibatasi oleh pemerintah. Platform ini disepakati  maksimal mendapatkan bunga 0,8% perharinya. Sehingga dalam sebulan bisa mencapai 24% dan dalam 90 hari sebesar 72%. Untuk Pinjol ilegal ini yang waw, bunga bahkan sampai 2-3% perhari. Jika sebulan berarti berlipat menjadi 60-90%. 3 bulan menjadi 180-270%.

Lantas bagaimana hukum pinjol?

Saya akan melihat dari sudut pandang hukum positif atau hukum yang berlaku di Indonesia terlebih dahulu.

Dari aspek hukum positif, bagaimana kedudukan pinjol? apakah legal? Jawabannya adalah tergantung pinjolnya. Sampai saat ini, ada sekitar 106 pinjol legal di Indonesia. Kemudian pada data bulan Agustus, terdapat sekitar 442 pinjol ilegal yang beroperasi.

Untuk memeriksa apakah pinjol legal atau tidak, kita bisa memeriksanya dengan menghubungi OJK dengan menelpon 157 atau juga bisa melalui layanan Whatsapp 081157157157. Atau bisa cek langsung di laman www.ojk.go.id

Sekedar informasi, pinjol legal adalah pinjol yang sudah didaftarkan di OJK, yang ilegal yang tidak terdaftar.

Untuk hukum pinjol yang ilegal, secara hukum positif mereka tidak mempunyai kedudukan hukum. Adanya mereka tidak sah dari sudut pandang hukum perdata. Sebab, mereka tidak punya syarat subjektif ataupun objektif. Itulah yang kemudian mendorong Pak Mahfud ini menyuruh masyarakat untuk tidak usah membayar hutang ke pinjol.

Lantas apa sih yang dimaksud pak Mahfud itu dengan Subjektif objektif itu? Begini..

Jadi mengenai perjanjian pinjam meminjam itu sudah diatur dalam Bab XIII Buku III pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), khususnya di Pasal 1754 KUH Perdata yang bunyinya itu:

"Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama."

Nah sebab ini adalah perjanjian, makan juga tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata yakni:

"Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang."

Apa hubungannya Pasal di atas dengan Subjektif objektif seperti penjelasan Pak Mahfud? Jawabannya adalah karena menurut
R. Subekti salah satu ahli hukum perdata di Indonesia, dalam buku Hukum Perjanjian  menjelaskan kalo syarat 1 dan 2 di atas dinamakan syarat subjektif sebab berkaitan dengan masing-masing orang atau subjek tertentu. Nah, syarat 4 dan 3 itu masuk pada syarat objektif, sebab berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan.

Konsekuensinya, kalo syarat objektif tidak terjadi, maka perjanjian batal demi hukum. Kalo syarat subjektif yang tidak terpenuhi, maka salah satu pihak boleh tuh minta supaya perjanjian dibatalkan.

Jadi mungkin itulah yang menjadi dasar Pak Mahfud meminta orang yang meminjam di pinjol ilegal tidak usah bayar. Karena tidak memenuhi unsur di atas. Demikian alasan hukum pinjol diminta tidak usah bayar.

Bagaimana dengan teror yang dilakukan pinjol ilegal? Untuk masalah teror ini, sebenarnya tidak hanya dilakukan pinjol ilegal, tapi juga yang legal.

YLKI atau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengatakan bahwa dalam masalah teror seperti itu tidak hanya dilakukan pinjol ilegal, tapi juga pinjol legal. Nah, YLKI mengatakan bahwa 30% laporan seputar teror pinjol dari masyarakat itu dilakukan pinjol yang legal.

Ada ancaman hukum bagi pinjol yang nekat nagih hutangnya dengan cara-cara seperti itu.  Seperti ancamam pada Pasal 368 KUH Pidana tentang pemerasan. Kemudian juga ada Pasal 335 KUH Pidana mengenai perbuatan tidak menyenangkan. Juga ada UU ITE dan juga Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Pada kesimpulannya, secara hukum positif hukum pinjol ini relatif. Jika kita meminjam uang di pinjol legal atau yang terdaftar di OJK, maka kita harus mengembalikannya sesuai kesepakatan. Jika kita gagal bayar lalu pinjol legal itu meneror kita dengan cara yang melanggar Undang-undang sebagaimana yang marak saat ini, kita bisa lapor ke pihak kepolisian.

Jika kita terlanjur meminjam ke pinjol ilegal, maka berdasarkan pendapat Pak Mahfud kita tidak usah membayar. Sebab secara hukum itu bertentangan dengan syarat subjektif ataupun objektif. Saran dari saya kalo bisa tetap bayar, tapi pokoknya saja. Jika pinjol itu meneror, laporkan ke pihak kepolisian.

Demikian dalam hukum positif, lalu bagaimana hukum pinjol dalam Islam?

Sebelum masuk pada pembahasan pinjol secara menyeluruh, saya akan coba urai hukum meminjam secara online (bukan hukum pinjol). Bolehkan meminjam uang secara online? Hukumnya boleh. Asalkan akadnya jelas.

Ada ibarat jelas sebagaimana yang dipaparkan oleh Abdul Muis Ali Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI:

والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ.... وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات, كل هذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل.

"Yang dipertimbangkan dalam akad-akad adalah subtansinya bukan bentuk lafadznya, dan jual beli via telpon, telegram dan sejenisnya telah menjadi alternatif yang utama dan dipraktekkan." (Syaikh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafiis, II/22)

Permasalahannya adalah dalam pinjol tidak bisa dilepaskan dari yang namanya bunga. Pinjol memberikan kita pinjaman karena mereka menginginkan laba. Satu-satunya laba yang mereka dapatkan adalah dari bunga pinjaman.

Bunga inilah yang kemudian disebut dengan riba dalam Islam. Sedangkan riba sendiri dilarang sebagai dalam Surat Al-Baqarah ayat 278-280:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَاإِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَوَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.


Larangan tersebut juga terdapat dalam hadis Nabi:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا سِمَاكٌ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Simak, telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang makan riba, orang yang memberi makan riba, saksinya dan penulisnya. (HR. Abu Dawud).

Sedangkan dalam pinjol sebagaimana yang kita tahu, ada bunga di setiap transaksi. Bahkan untuk yang ilegal bunganya bisa sampai 2-3%. Maka jelas, dalam Islam, hukum pinjol itu dilarang. Secara fiqh, riba dengan pinjaman uang ini sama dengan riba al-qardh. Riba dengan memberikan pinjaman uang dengan tambahan ketika membayar.

Semoga bermanfaat. Terbuka ruang diskusi untuk masalah hukum pinjol ini. Boleh berpendapat di kolom komentar. Terimakasih.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh