Korupsi dan Demokrasi Transaksional



Moh. Usman
mohusmanainurrofiq@gmail.com

Pasang Surut Demokrasi Kita: Sebuah Pengantar

Sejak pertama kali diproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia dideklarasikan sebagai negara republik. Latar belakang sejarah yang patriotik, kultur dan agama yang divergen menjadikan sistem negara dengan corak republik sangat cocok diterapkan di Indonesia. Konsep ini telah digariskan oleh founding father Indonesia di dalam konstitusi negara, UUD 1945.

Dalam sistem pemerintahan republik, dikenal slogan “dari rakyat untuk rakyat”. Artinya yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menjalankan pemerintahan adalah rakyat. Sebab pada dasarnya kata republik berasal dari bahasa latin “res republica” yang secara lugawi memiliki makna “urusan awam”. Konsep ini sebenarnya sudah dianut di era Romawi kuno yang bertahan sejak 509 SM sampai dengan 44 SM. Karena pemerintahan dilaksanakan sendiri oleh rakyat, maka secara otomatis konsep ini menuntut pola pemerintahan yang demokratis.

Melalui sistem yang demokratis, semua elemen masyarakat mempunyai hak politis yang sama. Tak heran, di awal kemerdekaan Indonesia, pemilihan umum di tahun 1955 sudah diikuti oleh 118 peserta yang terdiri dari 36 peserta partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan dan 48 perorangan. Di awal implementasinya, sistem ini dianggap terlalu liberal untuk negara yang tergolong masih baru, sehingga membuat Ir. Soekarno, Presiden Indonesia kala itu memilih untuk menerapkan demokrasi terpimpin. Namun secara garis besar, negara tetap menjamin hak politis masyarakat untuk mendirikan partai atau aktif di partai politik manapun. Meski demikian, pertikaian politik tetap saja terjadi sehingga perkembangan menjadi prioritas yang ke sekian.

Masuk ke era periode orde baru, belajar dari masa lalu, Soeharto sadar bahwa demokrasi yang terlalu liberal hanya akan menciptakan banyak kegaduhan. Lambat laun interpretasi mengenai demokrasi mulai dipersempit tuang lingkupnya. Akses masyarakat untuk mendapatkan keterbukaan informasi di intitusi pemerintahan semakin terbatas. Partai politik dipadatkan hanya menjadi 3 bagian. Pers dibredel dan dipersulit ijin edarnya. Sementara tentara berkuasa di segala lini. Demokrasi pada saat itu tak lebih dari sekedar titel dan seremoni. Transparansi dikekang yang menjadikan peluang terhadap banyak birokrat untuk melakukan praktek-praktek ilegal. Pada akhirnya, koruspi, kolusi dan nepotisme terjadi hampir di semua lini.

Setelah keluar dari trah orde baru, nilai-nilai demokrasi di Indonesia mulai benar-benar bisa dikukuhkan. Ini dapat dilihat dari disahkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang pro demokrasi seperti Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers, Undang-undang Np. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan beberapa peraturan perundang-undangan lain. Kemudian juga dapat dilihat dari upaya merevitalisasi lembaga-lembaga instrumen demokratitasi seperti lembaga konstitusi, KPU, penghapusan dwifungsi ABRI, termasuk di antara pembangunan lembaga anti rasuah yang sampai saat ini dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jejak panjang orde baru selama kurang lebih 32 tahun berkuasa dengan otoriterianismenya telah banyak membentuk alam bawah sadar birokrasi di Indonesia sulit terlepas dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah lama berjalan. Akhirnya praktek tersebut seperti menjadi kebiasaan yang sampai saat ini sulit untuk diubah.


Demokrasi Transaksional: Akar Korupsi di Segala Lini

Di era reformasi ini, masyarakat mulai “melek” politik. Semua elemen berlomba untuk mendedikasikan dirinya pada negera melalui jalur politik. Di samping berdampak positif terhadap kemajuan arus informasi dan kebebasan berpendapat, reformasi juga menjadikan birokrasi di Indonesia semakin transparan, terbuka dan tertata rapi.

Secara perlahan reformasi telah mengembalikan Indonesia menuju sistem demokrasi liberal, sistem yang dulunya sempat dibubarkan secara paksa. Demokrasi ini menuntut negara harus menjamin hak politik setiap kalangan masyarakat tanpa batas. Salah satu bentuk penerapannya ialah dengan menggelar pemilihan umum secara langsung. Pemilihan langsung akan membuat hak politik setiap lini masyarakat terpenuhi. Baik bagi mereka yang ingin mencalonkan dirinya sebagai pemimpin atau sekedar memilih calon yang diyakininya cocok untuk memimpin. Dengan sistem pemilihan ini, para calon pemimpin harus bersaing dengan calon lainnya untuk mendapatkan suara pemilih. Iklim demokrasi ini secara politis sangat baik karena setiap kalangan dapat turut andil dan menentukan sendiri arah masa depan bangsanya.

Namun di sisi lain, calon pemimpin harus rela menggelontorkan banyak dana agar mereka terpilih. Dana ini biasanya dikeluarkan untuk biaya kampanye, membiayai tim sukses atau sebagai mahar politik agar partai politik tertentu mau menyalonkannya. Artinya sebelum menyalonkan diri sebagai calon pemimpin, banyak sekali dana yang harus disiapkan. Di samping itu, perkembangan ekonomi dan pendidikan yang tidak merata di kalangan masyarakat juga dapat menjadi peluang penyimpangan. Hal ini berdampak pada banyaknya transaksi jual beli suara, kepada masyarakat sebagai pemilih ataupun kepada petugas di lapangan sebagai wasit.

Fakta-fakta tersebut membuat pemilihan umum yang tujuannya adalah menyaring pemimpin terbaik melalui sistem yang transparan dengan biaya yang tidak murah, ternyata malah sebaliknya. Pemilihan umum hanya dijadikan sebaga simbol demokrasi yang sebatas transaksional dan seremonial. Jabatan kepemimpinan tidak lebih hanya hasrat untuk berkuasa dan memperkaya diri.

Banyaknya dana yang dikeluarkan ketika pencalonan dan dibarengi dengan kewenangan besar ketika berkuasa membuat mereka hanya menjadikan jabatannya sebagai penggeruk laba dari modal yang sudah dikeluarkan. Tanpa pengawasan yang ketat, pada akhirnya, korupsi, kolusi dan nepotisme tak ubahnya di era orde baru, bahkan semakin menjalar.

Sistem demokrasi yang transaksional telah menjadi akar dari setiap masalah di intitusi pemerintahan. Jika korupsi dibiarkan, maka akan banyak sekali dampak negatif paralel yang akan terjadi. Termasuk berkurangnya anggaran pembangunan yang sudah disediakan, yang tentunya juga akan berdampak juga terhambatnya pembangunan. Program untuk menyejahterakan rakyat kecil pastinya juga akan terbengkalai.

Semenjak 2004-2019 ada sekitar 275 anggota DPR ataupun DPRD yang ditahan dan juga ada 119 Kelapa Daerah, baik Gubernur ataupun Bupati. Korupsi juga banyak melibatkan keluarga pejabat dan koleganya. Belum lagi korupsi yang dilakukan di jajajarn terendah yang karena keterbatasan yang diberikan kepada KPK menjadi sulit terdeteksi. Kendaraan politik dan suap untuk menuju jabatan tertentu menjadikan korupsi, kolusi dan nepotisme menggelinding ibarat bola salju yang akan semakin membesar sampai ke dasar. Akhirnya masyarakat sampai lapisan bawahpun akan merasakan dampaknya. Baik pembangunan di daerah yang cenderung stagnan lambat atau dipersulit ketika berurusan dengan birokrat.  

Korupsi dan Solusi Mendasar

Ada beberapa faktor mengapa korupsi semakin hari semakin menjalar. Pertama, Moralitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab utama terjadinya korupsi adalah moralitas yang rusak. Jika moralitas para pemangku jabatan baik, seberapapun banyak celah dan kesempatan yang ada untuk melakukan korupsi, niscaya korupsi tidak akan pernah terjadi. Demikian sebaliknya, meskipun celah dan kesempatan untuk korupsi sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali, tapi apabila moralitas dari para pemangku jabatan rusak, mereka akan tetap mencari-cari berbagai cara untuk memperkaya diri.

Pola pendidikan tentu sangat berpengaruh dalam membentuk moralitas. Pola pendidikan yang diberikan seharusnya tak hanya sebatas kepada nilai-nilai keilmuan saja, namun bisa lebih kepada pendidikan karakter dan tata nilai. Jika pendidikan karakter berhasil dan bisa merubah moralitas para terdidik, maka secara tidak langsung itu akan menjadi langkah antisipatif dari semaraknya korupsi di masa yang akan datang.

Kedua, karna banyaknya celah dan kesempatan. KPK sebagai lembaga utama yang bertindak sebagai pemberantas sekaligus pengawas korupsi, tentu mempunyai mandat yang cukup berat. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia sudah barang tentu di dalamnya juga terdiri dari banyak lembaga dan instansi pemerintahan yang harus diawasi. Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga dapat dikatakan KPK masih tertinggal di beberapa bidang. Sebagai contoh dari sekitar 260 juta jiwa masyarakat Indonesia, pegawai KPK hanya sebanyak 1500 lebih. Hal ini cukup berbeda dengan lembaga anti rusuah Malaysia. Malaysia yang hanya berpenduduk sekitar 27 juta jiwa, mempunyai lembaga Malaysian anti corruption commision (MACC) yang beramunisikan lebih dari 2900 pegawai. Tentu tak dapat dijadikan alasan jika hal tersebut di karenakan lembaga anti rusuah Malaysia sudah berdiri tahun 1967 dan KPK baru berdiri di tahun 2003, karna seyogyanya terbebas dari korupsi harus menjadi prioritas utama bagi setiap negara.

Ketiga, Penindakan hukum yang terbilang lemah. Sebenarnya cukup banyak kasus tindak pidana korupsi yang berhasil diberangus oleh KPK dan instansi lain. Namun acap kali terjadi kejanggalan ketika kasus tersebut sudah dilimpahkan ke lembaga penegak hukum selanjutnya. Mulai dari divonis ringan sampai dibebaskan. Menurut riset yang di lakukan oleh ICW pada Juli 2018 yang lalu, rata-rata koruptor hanya mendapatkan hukuman 2 tahun 5 bulan penjara.

Agaknya, dalam sistem hukum di Indonesia saat ini, materi dan kedudukan mempunyai pengaruh dominan. Acapkali karenanya, agenda-agenda hukum bertentangan dengan nurani keadilan. Kedudukan politik dan materi secara implisit telah memetakan orang-orang yang berperkara dalam hukum menjadi klaster-klaster. Klaster inilah yang menjadi pengaruh kesetaraan subjek dalam hukum sulit tercapai. Gelanggang politik dan para petinggi politik di lembaga-lembaga pemerintahan yang seharusnya menjadi aktor utama supremasi hukum malah mengambil peran sebaliknya. Maka sangatlah relevan apa yang dikatakan oleh Pluto, hukum bagaikan jaring laba-laba, hanya kuat terhadap yang lemah, namun rapuh terhadap yang kuat.

Keempat, budaya suap dan gaji pegawai pemerintahan yang relatif kecil. Sudah menjadi rahasia umum, banyak oknum yang mencari kesempatan di beberapa ajang tes pencalonan untuk menjadi pegawai atau pejabat pemerintahan. Hal tersebut diperparah dengan konfirmasi calon pegawai atau pejabat untuk mendapatkan posisi tertentu memberikan uang dalam jumlah besar. Tentunya hal ini akan berpotensi menjadi malapetaka di masa yang akan datang, mengingat gaji perbulan yang akan didapatnya bahkan tidak melebihi 5% saja dari apa yang dia bayarkan.




Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Icon Display

Dahulukan Idealisme Sebelum Fanatisme

Popular Post

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Recent Posts

Kunci Kesuksesan

  • Semangat Beraktifitas.
  • Berfikir Sebelum Bertindak.
  • Utamakan Akhirat daripada Dunia.

Pages

Quote

San Mesan Acabbur Pas Mandih Pas Berseh Sekaleh