Lanjutan....
Sehabis isya' kita baru sampai di sekolah. Saat itu saya agak capek, jadi cuma melihat sekolah dengan sekilas saja. Yang jelas, sekolahnya agak besar, tapi di kampung. Saya dibawa ke suatu tempat dimana di sana ada bangunan yang tidak begitu besar. Saya baru tau kalo itu bangunan khusus untuk guru. Di bangunan itu dibagi dua sekat. Satu bangunan untuk guru asli sana. Dan di sebelahnya khusus untuk saya, atau guru luar, katanya.
Saat itu saya disambut banyak sekali murid. Mereka masih memakai jubah, sebagian memakai sarung dan berkopyah. Nampaknya baru selesai sholat isya'. Mereka melihat saya. Saya turun dari mobil sambil menurunkan barang-barang.
Kesan saya ketika melihat sekitar adalah sekolahnya luas sekali. Ada lapangan sepak bola. Gedung sekolahnya juga lumayan besar. Tapi ada beberapa gedung yang hanya berupa bangunan yang berjejer layaknya sekolah-sekolah di Indonesia.
Ada masjid yang cukup besar. Lebih besar dari masjid kampung tempat saya sholat barusan. Kebetulan bangunan tempat saya tinggal itu pas di samping masjid. Di belakang masjid dan belakang bangunan yang akan saya tinggali itu nampaknya seperti hutan, atau jurang. Entah, saya tidak tau pastinya saat itu. Yang jelas, banyak sekali pohon, juga gelap.
Turun dari mobil,saya diantar ke tempat saya. Awalnya saya agak ngeri jika harus tinggal sendiri di bangunan itu. Karena belakangnya itu hutan. Setelah masuk, ternyata di dalam ada cowok agak tinggi, berpenampilan rapi, anggap saja namanya mas A. Dia nampak sibuk di depan laptop.
Tahu saya datang, dia langsung berdiri menyambut. Mas A nampaknya sosok yang baik hati. Saya kira dia juga murid di sana. Ternyata tiba-tiba dia berbicara dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Saya agak lupa apa dikatakan pertama kali. Tapi yang jelas dari sana saya tau bahwa dia berasal dari Pamulang. Dia lulusan salah satu kampus besar di Jogjakarta. Berada di sana sebagai guru internasional.
Saat itu saya bersyukur sekali. Ternyata saya tidak sendiri. Alhamdulillah. Ada orang Indonesia lagi di sekolah itu. Dan dari dia juga saya tahu bahwa ada orang Indonesia lagi bersama dia. Seorang cewek, mbak L, asli Jogja dengan program dan kampus yang sama dengan mas A.
Mas A juga cerita kalo di sekolah itu juga ada orang Filipina yang juga mengajar di sana. Guru-guru juga banyak yang alumni Universitas di Indonesia. Jadi banyak yang sudah mengerti bahasa Indo. Dari situ saya sangat bersyukur karena bayangan bahwa saya akan sulit berkomunikasi dan hanya hidup sebagai orang Indonesia sendiri ternyata salah. Ada banyak orang Indonesia atau setidaknya yang bisa bahasa Indonesia.
Tiba di sana, ada seorang murid yang langsung mengantarkan kasur untuk saya tidur. Alhamdulilah. Badan saya yang capek pada saat itu rasanya memang sangat butuh sekali kasur. Tapi karena sudah melalui perjalanan yang agak panjang barusan, saya mandi dulu sebelum tidur.
Karena di kampung, nampak jelas air yang digunakan untuk mandi itu bukan kayak yang PDAM di Surabaya. Bukan pula seperti air sumur di Madura. Itu semacam air bor yang langsung ngambil dari tanah. Jadi semacam masih ada keruh-keruhnya. Tapi no problem yang penting air alami dan bisa diambil bersih-bersihnya.
Sekolah tempat saya ini adalah sekolah asrama. Para muridnya disediakan kamar khusus untuk menginap. Hampir semuanya memang wajib menginap, kecuali hari libur. Hari liburnya pun hari Jumat dan Sabtu. Karena memang sekolah itu sekolah swasta yang cenderung ke agama. Kalo di Indonesia mungkin mirip pondok pesantren.
Muridnya cukup banyak. Jika berkumpul semua, isi masjid full. Jika negara, sekolah itu layakanya negara yang berkembang seperti Indonesia, Korea dll, bukan taraf negara maju sepeti Amerika, Jerman, dll.
*sekolah khampee dari arah timur. Di sebelah masjid itu adalah bangunan tempat saya menginap. Belakangnya hutan dan jurang.
*Sekolah khampee dari arah selatan.
*Di belakang itu adalah bangunan tempat saya tinggal selama 4,5 bulan di sana
Sekolah khampe ini terdiri dari beberapa tingkatan. Mulai dari Annuban (TK), PRATHOM (SD) sampai MATAYUM (SMP-SMA). Hanya murid di tingkat MATAYUM saja yang diharuskan menginap. Sedangkan di tingkat di bawahnya biasanya mereka pulang pergi. Bahkan tingkat Annuban dan prathom ini makan siang juga disiapkan pihak sekolah. Sedangkan tingkat MATAYUM biasanya murid-murid beli. Jam sekolah ialah dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Kebetulan saya diberikan kesempatan mengajar di MATAYUM. Jadi Alhamdulillah. Karena saya tidak begitu telaten mengajar anak kecil. Di Atthohiriyah saja dulu, saya memang lebih nyaman ngajar bagian dewasa. Ya orang tentunya beda-beda.
Besok harinya saya tidak langsung mengajar. Kholi memberikan waktu saya untuk istirahat terlebih dahulu. Lumayan, meskipun sudah istirahat di resort sebelumnya, tapi badan masih agak capek naik bis setelah melalui perjalanan yang agak panjang. Saya gunakan waktu itu untuk bersosialisasi, berkenalan dengan orang-orang terdekat. Khususnya para guru.
Dari sana saya kenal Abah. Abah ini adalah pemilik sekolah yang besar ini. Beliau pewaris dari Haji Romli. Haji Romli adalah pendiri awal sekolah. Awal mula bersalaman dengan Abah di masjid saya kira beliau adalah orang kampung biasa yang sedang sholat di majsid sekolah. Saya belum sadar kalo beliau adalah pemilik sekolah. Tapi lama-lama, saya baru tau, karena yang menjalankan roda kepemimpinan sekolah semuanya adalah putra-putri beliau.
Beliau sangat ramah dan sering main ke tempat saya. Beliau juga adalah lulusan Bandung. Saya lupa universitasnya. Istri beliau juga keturunan Minangkabau. Yang jelas, kebetulan Abah agak klop dengan saya. Sebab beliau sangat suka berbicara mengenai politik, khususnya politik Indonesia.
Kebetulan pada saat itu sedang ramai masalah Ahok di Jakarta. Jika datang ke kamar, beliau biasanya langsung memancing saya berbicara mengenai politik. Berbeda dengan teman sekamar saya, mas A, yang tidak begitu tertarik dengan politik. Awalnya, saya agak bingung darimana Abah dapet informasi mengenai politik Indonesia. Apa dari medsos atau apa. Tapi lama-lama, setelah saya beberapa kali masuk ke rumahnya, ternyata beliau memang punya tv khusus yang memang selalu menonton channel Indonesia.
Saya dikasih gaji dan dikasih beras setiap bulan. Itu memang jatah wajib sesuai MoU. Mas A ini mendapat gaji yang cukup besar. Karena statusnya guru profesional. Sedangkan saya hanya volunteer. Tapi tetap saya kasih join dia beras.
Sayangnya, WiFi sekolah jaraknya tidak Sampai ke tempat saya. Tapi Alhamdulillah fasilitas yang saya dapat di sana cukup baik. Meskipun jika dibandingkan dengan teman-teman saya yang lain, pasti ada kekurangan. Khususnya masalah WiFi itu.
Kebetulan, saat itu, kita 74 volunteer, hanya bisa komunikasi via wa grup. Kita sering sharing mengenai keseharian dan fasilitas yang kita dapat. Dari sana saya tahu bahwa ada teman yang ditempatkan di sekolah yang letaknya di kota, dimana mobilitas dan fasilitas oke. Ada yang ditempatkan di suatu pulau terpencil daerah Krabi. Ya Krabi, surga wisata Thailand yang mashur karena keindahan alamnya. Ada teman yang diletakkan di rumah khusus di suatu kompleks. Ada yang tinggal di kamarnya para muridnya sendiri. Macam-macam.
Dari sana kadang saya merasa iri. Dalam hati saya, kenapa saya harus ditempatkan di desa seperti ini. Hampir semua dari mereka menikmati fasilitas wifi. Bagi yang cowok dapat fasilitas motor. Tapi saya tidak. Karena tidak ada motor, saya agak susah untuk mobilisasi. Jadinya setiap mau keluar harus pinjam sepeda motor salah seorang guru. Tapi entah kenapa, padahal saya tidak pernah mengeluh atau bebicara mengenai ini, beberapa lama kamudian saya diberikan fasilitas motor khusus.
Seiring berjalannya waktu, saya jadi sadar bahwa bisa jadi mereka yang menurut saya nyaman, sebenarnya ada punya satu sisi ketidak-nyamanan yang tidak saya ketahui. Ternyata asumsi saya benar. Ada mereka yang ditempatkan sendiri di sekolah yang lokasinya agak ke utara Thailand. Hampir semua orang lokal berbahasa Thai. Tidak pakai bahasa Melayu. Biasanya mereka yang berlokasi ke provinsi yang agak ke Utara ini memang populasi orang Melayu tidak begitu banyak. Jadi sehari-hari dia memakai google translate yang pakai voice. Sampai mengajar pun harus pakai google translate. Jadi benar-benar terasingkan.
Ada juga yang hanya tinggal sendiri. Tinggal di sekolah yang bukan sekolah asrama. Tidak ada murid yang menginap. Jadi dia layaknya penjaga sekolah. Untung saja dia pemberani orangnya.
Ada juga seorang teman yang tinggal serumah dengan orang Budha. Dia tinggal layaknya anak angkat dari orang Budha tersebut. Untungnya, orang Budha ini sangat baik. Tetapi di suatu saat teman saya ini pernah sangat panik karena merasa telah memakan daging babi. Eh ternyata bukan. Cuma salah sangka.
Pada akhirnya, dia dipindahkan ke salah satu asrama pondok yang ditempatinya hanya untuk menginap. Adapun mengajarnya, tetap di sekolah Budha. Pokoknya macam-macam lah keadaan kita waktu itu. Positif dan negatif. Dengan berkiblat ke sana, setidaknya saya jadi agak bersyukur.
Sampai tiba waktunya saya sudah dikasih jadwal mengajar di sekolah. Saya sampai di sekolah jam 07:40. Kebetulan setiap hari, pada jam 07:45, dilaksanakan upacara. Upacara layaknya di Indonesia. Berbaris sambil bernyanyi lagu khas sekolah. Lagu khas sekolah hampir mirip dengan lagu aktivis mahasiswa, buruh tani. Tapi beda lirik saja.
Kemudian diteruskan dengan langsung kebangsaan Thailand sambil menaikkan bendera. Itu dilakukan setiap hari. Nampaknya itu memang kebijakan pemerintah Thailand. Setelah ada pengumuman dari pihak sekolah. Saat waktu pengumuman itu saya diberikan kesempatan untuk memperkenalkan diri. Ketika berkenalan saya pakai bahasa Indonesia biasa dengan sedikit logat Melayu. Saya tidak tau mereka paham atau tidak. Yang jelas saya tidak begitu banyak bicara karena takut mereka tidak paham.
Setelah saya selesai, seperti biasanya, para murid berjalan berbaris sambil bersalaman ke para guru. Murid perempuan salaman ke guru perempuan, yang laki-laki ke guru laki-laki. Itu dilakukan setiap hari. Bagi murid yang telat, ada hukuman yang biasanya diberikan oleh OSIS atau guru. Biasanya hukumannya adalah push up.
*Suasana upacara yang dilakukan setiap pagi
Di waktu itu saya banyak berkenalan dengan orang-orang, khususnya para guru. Dari sana memang ada beberapa guru lulusan Indonesia. Yang saya tahu ada 3. Kemudian ada juga lulusan negara lain seperti Mesir, dan sebagainya. Saya punya jam mengajar hampir setiap hari. Tapi tidak full seharian. Disela-sela senggang itu biasanya saya gunakan untuk ke kantor bagian atas. Tempat saya dan guru-guru nongkrong. Atau jika malas, saya kembali ke bangunan tempat saya tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar