Adanya Rosul dan Nabi merupakan dua hal yang harus dipercaya oleh seorang mu’min. Seorang tidak diterima imannya kecuali sebelum mengimani adanya Rosul dan Nabi. Diceritakan bahwa jumlah Rosul dalam Islam adalah sekitar 300 lebih, ada riwayat yang mengatakan bahwa jumlahnya 313/315. Sedangkan jumlah Nabi ada riwayat yang mengatakan sekitar 124.000. Namun di antara semuanya, hanya ada beberapa yang wajib diketahui.
Artinya jumlah para Rosul dan
para Nabi ini sangat banyak. Yang tugasnya adalah menyebarkan ajaran
ketauhidan. Hal ini sejalan sebagaimana di dalam Al-Qur’an An-Nahl ayat
36. “Dan sesungguhnya kami telah
mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), sembahlah Allah saja dan
jauhilah taghut.”
Ciri utama dari Rasul dan
kenabian adalah mengajak kepada kebenaran. Di samping kebenaran dalam
berkeyakinan juga kebenaran dalam prilaku. Hal ini kemudian yang menjadikan
beberapa orang mengatakan bahwa orang-orang penting di masa lalu yang megajak
pada kebaikan, ada kemungkinan mereka adalah seorang Nabi atau Rosul. Sebut saja
Socrates, meskipun tidak jelas Nabi siapa. Karena hanya sekedar anggapan. Kemudian
Siddharta Gautama yang notabene menjadi kiblat orang budha disebut-sebut juga
ada kemungkinan adalah Nabi Dzulkifli.
Bahkan sebelum zaman Nabi pun,
ada istilah Al-Khunafa’ sebutan bagi mereka yang menolak paganisme. Mereka ini adalah
penganut monoteisme. Jumlahnya memang tidak banyak. Tapi mereka teguh menolak
untuk menyembah pada berhala yang diletakkan di sekitar Ka’bah. Mereka mengatakan
bahwa mereka hanya akan menyembah tuhannya Ibrahim.
Di dalam buku sejarah Ka’bah
disebutkan bahwa salah satu dari mereka adalah Khalid bin Sinan. Bahkan di buku
tersebut juga mengutip bahwa Nabi bersabda mengenainya bahwa Khalid adalah
seorang Nabi yang ditelantarkan oleh kaumnya. Demikian juga ketika anak
perempuan Khalid datang kepada Nabi dan mendengar Nabi membaca penggalan surat
Al-Ikhlas (qul huwallahu ahad), perempuan tersebut seketika mengatakan
bahwa ayahnya pernah membaca seperti itu. Ini artinya jika hadis tersebut
shohih dan perkataan Nabi Muhammad yang menyebut Khalid sebagai seorang Nabi
bukanlah kiasan, artinya bahkan dalam kurun waktu yang tidak begitu jauh
sebelum Nabi Muhammad pun juga ada seorang Nabi.
Pada intinya Rosul dan Nabi itu
memang orang yang dipilih oleh Allah sebelum Islam untuk menyebarkan
nilai-nilai kebaikan ke seluruh jagat raya. Lalu bagaimana dengan Nusantara? Apakah
ada kemungkinan di Nusantara ini pernah diturunkan seorang Nabi atau Rosul?
Hal tersebut tentu menjadi
misteri. Karena yang banyak tercatat di pelajaran sejarah hanya agama Hindu dan
Budha yang dibawa oleh para pedagang India berabad-abad yang lalu. sebagai
jawabannya tertera di dalam buku Atlas Walisongo bahwa Di era jauh sebelum tibanya
pendatang (pedagang India dengan agama Hindu Budha-nya) di bumi Nusantara,
penduduk setempat sudah mempunyai kepercayaan sendiri, yang biasa disebut dengan
“Kapitayan”. Ajaran Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran dimana
penganutnya memuja sembahan yang disebut dengan Sang hyang Taya. “Hyang”
bermakna Hampa Kosong, suwung atau awung awung, sedangkan “Taya” bermakna Absolut, tidak bisa dipikir, didekati dengan
panca indera dan dibayang-bayangkan. Atau orang jawa biasa menyebut “tan
kena kinaya ngapa”.
Dalam rangka memuja Sang Hyang
Taya, biasanya penganut Kapitayan menyediakan sesajen dari anyaman bambu untuk
tempat bunga, arak, Tu-Kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan. Berbeda dengan
sembahyang tunggal yang dilakukan oleh masyarakat awam, amaliah yang dilakukan
oleh para ruhaniawan Kapitayan berlangsung khusus di tempat yang disebut dengan
sanggar (bangunan bersegi empat beratap tumpang dengan lubang ceruk di dinding
sebagai lambang kehampaan Sang Hyang Taya).
Dalam bersembahyang menyembah
Sang Hyang Taya, mereka mengikuti gerakan tertentu: mulanya sang ruhaniawan
Kapitayan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutu-k (lubang ceruk)
dengan kedua tangan diangkat ke atas menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam
tutu-d (hati), lalu kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat pada
hati. Setelah Tu-lajeg ini kemudian dilanjutkan dengan proses tu-ngkul
(membungkuk memandang ke bawah) lumayan lama, lalu prosesi tu-lumpak (bersimpuh
dengan kedua tumit diduduki). Yang terakhir adalah to-ndhem (bersujud seperti
bayi dalam perut).
Jika melihat sejarah tersebut
bahwa ajaran yang dianut oleh orang Jawa sebelum datangnya agama Hindu-Budha adalah
monoteisme. Dimana mereka menyemabh dzat yang tunggal. Tatacara sembahyang-nya
pun sangat mirip dengan sembahyang-nya Islam. Meskipun di sana masih ada
praktek sesajen. Sebagai catatan bahwa Nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad
juga diperintahkan untuk melakukan sholat. Sedangkan Islam datang untuk
menyempurnakan agama-agama terdahulu, termasuk dalam hal sholat.
Artinya tidak mungkin ajaran
kapitayan dengan praktek sembahyang-nya yang mirip ajaran Nabi terdahulu itu
ada secara ujuk-ujuk dan dikarang sedemikian miripnya. Pasti ada sebab dan
penyebab sehingga praktek dan keyakinan monoteisme-nya bisa sangat serupa. Sehingga
kembali muncul pertanyaan di atas, apakah mungkin di Nusantara ini pernah ada
seorang Nabi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar