Konsep Negara dan Manusia
Globalisasi yang digulirkan setelah perang dunia ke-dua telah memberikan perubahan signifikan pada dunia, khususnya dalam pergaulan internasional, baik hubungan diplomatik antar negara, kerjasama ekonomi, keamanan dan lain-lain. Hal ini berdampak pada kesejahteraan hidup umat manusia. Globalisasi merupakan salah satu alasan terkuat dari kemajuan dunia global saat ini. Robin Meredith dalam bukunya “Menjadi Raksasa Dunia, Fenomena Kebangkitan India dan China” menyebutkan bahwa sejatinya unsur yang bisa memberikan kemajuan pada dunia adalah 65% dari pergaulan global, 20% dari technology, dan 15% dari kekayaan alam.
Paparan tersebut mengindikasikan bahwa kemajuan negara-negara di dunia bukan hanya karena disebabkan oleh sumber daya alam dan manusia yang dimiliki, tapi juga sangat tergantung dari pergaulannya dengan negara-negara yang lain.
Secara umum, tujuan didirikannya negara adalah untuk mensejahterakan rakyat. Sejahtera di sini bisa meliputi berkecukupan dalam hal ekonomi, keamanan yang terjamin dan hak bersama yang terjaga. System kenegaraan yang dipakai untuk mewujudkan hal tersebut terbilang beragam, mulai dari demokrasi, otoriter, monarki, fasisme, dan lain-lain. Demikian juga system ekonomi politik, berupa komunisme dan kapitalisme.
Sebagai instrumen progresifitas kemajuan, system-system sebagaimana yang disebutkan tidak dapat dikatakan bahwa yang satu lebih unggul dari yang lain. Hal ini karena perbedaan orientasi, tradisi dan tujuan rakyat yang ada di dalamnya. Sebut saja China, sebagai negara otoriter dibawah partai tunggal komunis, ekonomi rakyat cukup terjamin, bahkan sangat melejit sampai 6,9%. Jauh di atas Amerika sebagai negara yang paling demokratis di dunia dengan pertumbuhan hanya sebesar 3%. Demikian juga Indonesia.
Meski demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa system yang diberlakukan di China lebih baik dari Amerika, ataupun Indonesia. Ekonomi di China boleh melejit tinggi, isi dompet Chinese boleh berisi buntalan uang, namun di dalamnya tidak ada kartu untuk memilih secara langsung pemimpinnya. Demikian juga Arab Saudi, boleh saja masyarakatnya hidup sejahtera, tapi mereka tidak berhak menentukan arah negara, apalagi bercita-cita menjadi salah seorang pimpinannya.
Berbeda dengan Indonesia, dengan masyarakatnya yang selalu menuntut kebebasan berpendapat dan penerapan hak asasi manusia, rakyat Indonesia memilih systemnya sebagai negara yang demokratis dan mengedepankan kompromi konsensus sebagai akar dari segala kebijakan. Sehingga masyarakat berhak menentukan hukumnya sendiri, dan semua orang berhak atas jabatan apapun didalam pemerintahan, meskipun dalam hal ekonomi, progresnya tidak seceapt China.
System demokrasi dan otoriter sangat jauh berbeda. Dalam negara berdemokrasi, kebebasan pers terjamin, hak-hak masyarakat menjadi prioritas, hak asasi manusia selalu menjadi topik utama. Meskipun terkadang sampai melampaui batas. Sedangkan dalam negara otoriter, kacamata yang dipakai ialah kemaslahatan negara sebagai tujuan utama secara mutlak. Baik untuk kemajuan ataupun keamanan. Selain daripada itu adalah second urgent. Sehingga apabila ada individu yang merasa dirugikan atas kebijakan negara, atau apabila ada hak asasi manusia yang terjarah, maka itu adalah second urgent setelah kepentingan negara.
Demokrasi memang akan menentukan hak setiap orang, tapi perlu disadari bahwa negara tidak hanya dihuni oleh segelintir orang dengan hasrat dan keinginan yang sama, melainkan oleh banyak kalangan dan berbagai macam kepentingan. Negara dengan system demokrasi, kerap kali lambat dalam merencanakan dan mengekseskusi program karena doktrin kompromi konsensusnya.
Doktrin ini mewajibkan seluruh elemen sepakat dengan usulan program yang diajukan, jika belum ada kata sepakat, maka akan terus diperdebatkan dengan rasionalisasi, alasan dan kajian-kajian, sehingga bisa menyentuh kata mufakat. Apabila tetap tidak menemukan kesepakatan, biasanya akan dilakukan lobi, dan jalan terakhir adalah voting.
Dalam system ini, acap kali terobosan yang dirasa sudah sangat baik, gagal di laksanakan. Ketika negara mempunyai program yang bagus untuk perkembangan jangka pendek ataupun panjang, tapi ternyata ada segelintir pihak yang tidak sepakat karena kepentingannya terusik, maka atas dasar hak asasi manusia dia akan berontak, selanjutnya pers di negara tersebut akan memberitakan dengan sedemikian hebohnya, sehingga bisa membentuk opini kuat publik yang bisa memberikan penekanan yang intens, sehingga gugurlah program brilian tersebut.
Pada akhirnya, hanya segelintir program saja yang bisa berjalan, atau banyak program tapi memakan waktu yang cukup lama, karna harus menunggu kata sepakat dari semua pihak.
Dalam system monarki dan otoriter, kualitas pemimpin sangat menentukan maju tidaknya negara dengan system ini. Apabila pemimpinnya mempunyai integritas dan kreatifitas yang baik, maka dalam jangka waktu yang relatif cukup cepat negara ini bisa menjadi negara dengan kemajuan yang pesat. Namun apabila kualitas kepemimpinannya buruk, kemajuan hanya akan menjadi angan di setiap pikiran rakyatnya, karena pemimpin dapat melakukan penyimpangan apapun dan kapanpun yang lepas dari kontrol bersama.
Kabar baiknya adalah, ketika pemerintah menemukan celah program yang bagus untuk perkembangan negara, tanpa campur tangan siapapun, pemerintah dapat langsung mengekseskusi, akhirnya programpun bisa berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Sehingga masyarakat secara umum bisa dengan cepat menikmati hasil dari program tersebut. Maka dalam negara monarki atau otoriter, kapabilitas, integritas dan visi misi seorang pemimpin sangat dibutuhkan.
Negara dan Manusia
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, negara adalah organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyat. Artinya bahwa masyarakat yang ada di wilayah tersebut telah menyapakati tatanan yang ada dalam pendirian negara tersebut. Tidak ada patokan yang khusus mengenai syarat pendirian suatu negara, baik dari segi kuantitas dan homogenitas masyarakatnya ataupun luasan geografisnya.
Tidak ayal jika dalam suatu negara terdapat banyak hegemonitas, baik ras, suku, warna kulit, bahasa, budaya, agama dan lain-lain. Hanya segelintir negara saja yang seluruh masyarakatnya homogen. Bahkan berdasarkan hukum, pemberontak yang berhasil p Artinya, berdasar perbedaan ini, konsep negara dengan segala macam nasionalisme yang ada di dalamnya adalah abstrak.
Padahal, konsep negara telah membuat manusia berfikir terpetak-petak dan egois. Masyarakat suatu negara akan melakukan apapun untuk harkat martabat negaranya, meskipun dengan cara mengambil hak masyarakat lain di belahan negara yang berbeda. Manusia cenderung menganggap negaranya adalah satu-satunya hal yang harus dijaga. Tidak peduli apakah yang dilakukan akan merugikan manusia lain di negara yang berbeda.
Sebut saja negara-negara kolonial masa lalu, mereka mengekspansi kekayaan negara-negara lain, melupakan sisi kemanusiaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan memajuan negaranya sendiri. Padahal, manusia yang ada di negaranya ataupun di negara lain adalah sama, baik hak asasi, perasaan, ataupun kebutuhannya.
Banyak contoh dari hal tersebut, sebagaimana Amerika membombardir negara timur tengah karena mengincar minyaknya, mengingat kebutuhan minyak di negaranya yang berkisar 20 Juta barel perhari. Banyak sekali korban berjatuhan dan pihak yang dirugikan.
Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dari bagaimana negara-negara di Eropa yang masyarakatnya bisa melakukan apa saja, pendidikan terjamin, fasilitas terpenuhi, dan lain-lain. Sedangan di belahan dunia yang lain, di negara-negara miskin di Afrika semisal, banyak orang yang masih terbelakang, tertinggal dan kelaparan.
Adanya negara seharusnya bukan menjadi terpetak-petaknya kumpulan ambisi egoisme suatu kaum untuk melahap kaum yang lain, melainkan hanya sebagai sarana agar suatu kumpulan kaum yang notabene berasal dari ras yang berbeda bisa berjalan beriringan bersama dan saling bahu membahu menuju kemajuan, baik dalam pendidikan, ekonomi dan lainnya.
Rasa nasionalisme harus ditanamkan pada setiap bangsa dari suatu negara, hal ini bertujuan agar semangat kompetitas dan kolaborasi antar negara bisa semakian membara yang akan berdampak pada kemajuan bersama antar negara. Nasionalisme atau cinta pada negara sendiri tidak boleh menjadi penyekat yang akan mengkotak-kotakkan, mengadu domba, dan memisahkan rasa persaudaraan antar umat manusia di negara yang berbeda.
Sejatinya setiap manusia harus mampu menjaga martabat dan kedaulatan negaranya sendiri namun dengan tetap menghormati hak dan kebutuhan negara yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar