Manusia di abad ini tersekat berdasarkan domisili dimana dia berasal dan tinggal. Doktrinasi nasionalisme dan nativisme secara massal telah membuat manusia terkotak-kotak secara masif. Mereka dibedakan berdasarkan batasan wilayah yang biasa disebut dengan negara. Manusia sampai harus melalui pola administrasi birokrasi yang ketat (passport, visa, pemeriksaan imigrasi dll) untuk bisa masuk ke suatu wilayah yang mereka devinisikan sebagai negara lain. Padahal bisa jadi dari segi ras, warna kulit, bahasa dan agama diantara kedua negara tersebut tidak ada perbedaan.
Banyak sejarah negara mulai terbentuk di pertengahan abad ke-20. Perang dunia ke-2 telah memberikan signifikasi perubahan pada iklim politik global, khususnya setelah Jepang menandatangani kekalahannya kepada Sekutu, Agustus 1945. Tidak sedikit wilayah yang menyatakan diri menjadi negara berdaulat, baik melalui perjuangan maupun hasil pemberian.
Sejak itu pula negara-negara (lebih tepatnya elit-elit di suatu negara) mulai memetakan garis negaranya (atau daerah kekuasaannya). Beberapa diantara mereka tidak melibatkan langsung masyarakat terdampak (hanya berdasarkan perjanjian sesama elit). Padahal mereka tidak berada di posisi tau apakah masyarakat tersebut setuju atau tidak untuk dipersekutukan bersama negara yang akan dibangunnya (atau untuk dimasukkan ke daerah kekuasaannya).
Dampak dari peristiwa itu pada beberapa negara adalah banyaknya gerakan separatisme di daerah terluarnya. Hal ini disebabkan banyak faktor: bisa jadi karena anggapan merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat; eksploitasi sumber daya alam dan tidak meratanya pembagian hasil; berbedanya keyakinan mengenai sistem politik dan pemerintahan; atau bisa jadi karena faktor sejarah tertentu di masa lalu.
Sejalan dengan diproklamirkannya suatu wilayah sebagai negara, dibentuk pula sistem dan tata pemerintahan yang akan diberlakukan. Bagi mantan wilayah terjajah yang melepaskan diri dari kolonialisme dengan perjuangan bersama, biasanya mereka akan memproklamirkan diri sebagai negara republik dengan sistem demokratis. Sedangkan beberapa negara dengan latar belakang kerajaan, kebanyakan sampai saat ini masih mempertahankan sistem yang ada.
Pada sistem pemerintahan republik, dikenal slogan umum “dari rakyat untuk rakyat”. Artinya yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menjalankan pemerintahan adalah rakyat. Tentunya dengan mengikuti prosedur dan undang-undang yang berlaku. Karena pada dasarnya kata republik berasal dari bahasa latin “res republica” yang secara lugawi mempunyai makna urusan awam, atau dapat diartikan bahwa negara tersebut dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat. Konsep ini sebenarnya sudah dianut sejak zaman kerajaan Roma yang bertahan sejak 509 SM sampai dengan 44 SM. Oleh karena pemerintahan dilaksanakan sendri oleh rakyat, maka dengan sendirinya konsep ini menuntut suatu pola pemerintahan yang demokratis. Demokrasi dapat mempunyai arti bahwa semua elemen masyarakat memiliki hak dan wewenang yang sama. Baik dari aspek hukum, politik, HAM, sosial, ekonomi, kebebasan berpendapat dan lain-lain.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa suatu negara republik akan digerakkan oleh pemerintahan yang otoriter. Otoriter di sini mempunyai arti bahwa kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintahnya tidak berdasarkan konsensus bersama (hanya disetujui oleh segelintir pihak saja). Biasanya pemimpin dalam negara republik yang otoriter melakukan banyak muslihat dalam manuver politiknya, sehingga secara seremonial seakan mereka tetap melaksanakan sistem yang demokratis, padahal secara esensial nilai-nilai demokrasi sama sekali tidak diterapkan.
Sedangkan negara dengan sistem monarki biasanya sudah berdiri dan diakui rakyatnya sejak sebelum signifikasi perubahan iklim politik global pasca perang dunia ke-2. Sistem mayoritas negara kerajaan saat ini adalah monarki konstituonal. Beberapa diantaranya masih menganut monarki absolute. Monarki konstituonal memilik arti bahwa dalam suatu negara, yang berkedudukan sebagai kepala negara adalah Raja, namun dalam hal kepala pemerintahan, masih diatur berdasarkan konstitusi yang ada. Biasanya kedudukan ini dijabat oleh Perdana Menteri. Sistem ini sebagaimana yang dianut oleh Malaysia dan Thailand. Perbedaannya, di Malasyia Rajanya dipilih secara bergantian 5 tahun sekali oleh masing-masing Raja dari 9 negara bagian. Sedangkan di Thailand, posisi Raja bersifat turun temurun. Sedangkan contoh negara monarki absolute adalah Saudi Arabia dan Brunei Darus Salam, dimana posisi raja memegang kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Dengan perbedaan suku, etnis, dan agama yang variatif, di samping karena latar belakang sejarah yang patriotik dan divergen, sistem monarki tidak akan cocok untuk diterapkan di Indonesia. Sehingga sejak pertama kali diproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia dideklarasikan sebagai negara republik dengan menganut sistem demokratis. Konsep ini telah digariskan oleh founding father Indonesia melalui konstitusi negara pada UUD 1945. Konstitusi Indonesia yang telah mengalami 4 amandemen tersebut telah sejalan dengan nilai-nilai demokrasi: kesetaraan rakyat di mata hukum; kebebasan berpendapat dan pers; terjaminnya HAM; dan lain-lain. Bahkan Indonesia juga diposisikan sebagai negara paling demokratis ketiga setelah Amerika dan Belanda.
Dengan sistem yang demokratis ini, semua elemen masyarakat mempunyai hak politis yang sama. Tak heran jika di awal pemilihan umum pada 1955 telah diikuti oleh 118 peserta: terdiri dari 36 peserta partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan dan 48 perorangan. Negara menjamin hak masyarakat untuk mendirikan partai atau aktif di partai politik manapun.
Masuk ke dalam periode orde baru, demokrasi mulai dikebiri. Parpol dikrucilkan hanya menjadi 3 bagian, pers dibredel dan dipersulit ijin edarnya, tentara berkuasa di segala lini. Demokrasi pada saat itu hanya sekedar title dan seremoni. Baru setelah keluar dari trah orde baru, nilai-nilai demokrasi di Indonesia mulai benar-benar bisa dikukuhkan. Hal ini dapat dilihat dari disahkannya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers, dibangunnya lembaga konstitusi, anti rasuah, KPU, penghapusan dwifungsi ABRI, dan beberapa kebijakan lain.
Sejak itu masyarakat mulai “melek” politik. Semua elemen berlomba untuk mendedikasikan dirinya pada negera lewat jalur politik. Di samping berdampak positif terhadap kemajuan arus informasi dan kebebasan berpendapat. Namun iklim politik perlahan mulai kembali seperti eranya orde lama, dimana parpol lebih banyak memprioritaskan kepentingan ideologis dan materialisnya dari pada kepentingan masyarakat umum. Sehingga terjadi tarik menarik kompromi dan saling lempar isu antar satu parpol dengan yang lain (yang berpotensi terhadap terjadinya perpecahan di kalangan masyarakat). Pola seperti inilah yang kemudian menjadikan tensi politik semakin tinggi, sehingga bisa berakibat pada terhambatnya pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat akan dikesampingkan.
Bisa jadi program A sudah bagus, namun karena hal tersebut dinilai akan menggerus suara parpol lain, maka mereka menyuarakan isu-isu yang akan membuat program tersebut dianggap tidak benar. Akibat dari arus isu yang semakin liar, akhirnya program pun dapat benar-benar gagal direaliskan. Hal ini dapat dilihat ketika awal mula orde lama, dimana legislatif lebih mementingkan pertikaian idelogis antara kaum Agamis, Komunis dan Nasionalis daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Ini yang kemudian membuat presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan mengubah Indonesia dari demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.
Keributan-keributan seperti itulah yang apabila eksekutif terpancing masuk ke dalamnya, maka akan memperparah terhambatnya dinamisme kemajuan. Salah satu hal yang dapat dijadikan indikator mengenai apakah kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum sudah berjalan dengan baik atau tidak adalah dengan melakukan perbandingan dengan beberapa negara tetangga. Realitanya dalam masalah pendidikan, kesehatan, pembangunan, transporatasi umum, dan lain-lain Indonesia dapat dikatakan agak tertinggal.
Salah satu contoh negara monarki konstituonal adalah Thailand. Negara Gajah Putih tersebut mulai beralih dari monarki absolute sejak tahun 1932. Artinya pemerintahan di Thailand berjalan secara demokratis sesuai kontitusi. Meskipun beberapa kalangan mengatakan bahwa demokrasi di Thailand adalah demokrasi yang radikal. Hal ini terindikasi dari banyaknya kudeta yang pernah dilakukan, sejak tahun 1932 sampai saat ini telah terjadi setidaknya sekitar 20 kali kudeta oleh militer. Militer selalu mengawal manuver politik politisi yang berbeda jalur.
Mengenai kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan hak asasi manusia, tidak seperti Indonesia, Thailand cukup menutup diri akan hal ini. Konflik di Thailand selatan tercatat telah memakan lebih dari 6500 korban jiwa. Semua media hampir menutup diri akan hal ini. Ini yang membuat kasus pelanggaran hak asasi manusia di Thaialnd hampir tidak pernah mencuat ke dunia internasional. Yang paling heboh di awal abad ini adalah tragedi takbai sekitar tahun 2004, dimana sekitar 1000-2000 masyarakat berdemo untuk menuntut agar rekannya yang ditahan dengan tuduhan memasok senjata segera dibebaskan, namun malah dibalas dengan berondongan peluru. 6 orang mati di tempat karena terkena tembakan. 78 mati di rumah sakit. 35 mati ditemui mengapung di sungai dan sekitar 1000 lebih orang luka-luka. Bahkan tahun 2016 aparat juga menangkap 44 masyarakat yang melakukan aksi untuk mengenang kejadian takbai dengan sewenang-wenang. Raja di Thailand adalah simbol kesucian yang tidak boleh dilecehkan sedikitpun. Dimana seorang yang menghina Raja dapat dihukum 15 tahun penjara. Hal ini beberapa kali terjadi dan pernah menjerat pengguna medsos, bukan hanya pada pembuat status, yang “like” pun juga ditangkap. Pasal ini dikenal dengan pasal “lese majeste” atau pasal pelindung keluarga raja.
Nilai-nilai dari sistem monarki absolute yang penuh dengan kesewenang-wenangan di Thailand (atau bahkan di negara monarki lain seperti Arab Saudi) tampaknya masih tersisa sampai sekarang. Sehingga masih banyak terjadi represifitas yang dilakukan oleh kerajaan terhadap masyarakat sipil. Nilai plus dari sistem ini adalah, ketika pemerintah atau kerajaan mencanangkan suatu program yang dinilai baik untuk kemaslahatan umum, tanpa ada ricuh isu HAM, eksploitasi alam dan tanpa ada orang yang akan berani mengkritik, kebijakan tersebut saat itu dapat langsung direalisasikan. Seketika itu pula masyarakat umum dapat merasakan manfaatnya.
Dampaknya dapat dilihat dari pembangunan di Thailand yang cukup baik. Baik berupa fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, pangan dan stabilitas ekonomi masyarakatnya. (Pada saat penulis menjadi volunteer di pedesaan Southern Thailand, hampir setiap rumah punya minimal satu kendaraan roda empat).
Pelayanan kesehatan di Thailand berdasarkan berita yang dirilis oleh VOA juga merupakan percontohan untuk kawasan asia. Kereta ekonomi juga disediakan gratis untuk siapapun dan dengan jarak sejauh apa pun. Jalan-jalan mulus dan luas (bukan tol, jadi tidak usah membayar) dengan waktu tempuh yang efisien (Jarak 170-an KM dari Yala-Songhkla hanya ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam setengah, sedangkan di Jawa Timur, Surabaya-Malang dengan jarak 90 KM juga bisa memakan waktu 2 jam setengah. Faktor kepadatan penduduk mungkin juga berpengaruh).
Hal ini juga dipaparkan secara jelas oleh Robyn Meredith dalam The Elephant and The Dragon. Dimana dia mencoba melakukan perbandingan mengenai laju kemajuan antara China yang terkenal dengan pemerintahan otoriternya yang kemudian digambarkan sebagai naga karena laju kemajuannya sangat pesat, sedangkan India dengan sistem demokrasinya digambarkan sabagai gajah dengan laju yang santai tapi pasti.
Berdasarkan hal di atas juga tidak dapat disimpulkan bahwa sistem monarki lebih baik dari demokrasi, atau sebaliknya. Sistem politik memang berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara, tapi signifikan tidaknya sangat tergantung dari seberapa bersih dan cerdas penguasa dalam menjalakannya pemerintahannya. Karena kenyataannya Amerika dengan title negara paling demokratis di dunia, dengan segala hiruk pikuk politik dalam negerinya, telah sukses menjadi negara adidaya. Demikian juga ada beberapa negara dengan sistem monarki yang masih hidup dalam ketertinggalan.
Realitanya Indonesia mengalami tren kemajuan (baik ekonomi, HAM, pendidikan) yang sangat signifikan setelah didengungkannya reformasi. Ini berarti konsep demokrasi (yang benar-benar demokratis) sudah sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Hal tersebut akan lebih baik apabila oposisi menjalankan perannya sebagai check and balance tanpa harus menggunakan isu-isu yang dapat membodohi pola pikir rakyat hanya untuk menjatuhkan pemerintah. Pemerintah juga harus fokus pada pembangunan dan tidak mengedepankan kepentingan golongan dan kelompoknya. Nilai-nilai demokrasi harus berjalan dengan ramah dan santun. Apabila hal tersebut dapat dijalankan, sesuai diprediksi, semoga tahun 2036 Indonesia bisa berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju.
#menulis layaknya pakar hehe