Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Di dalam demokrasi, rakyat atau orang banyaklah yang berkuasa. Mereka punya hak untuk mengatur, mempertahankan serta melindungi diri mereka sendiri dari badan yang diserahi wewenang untuk memerintah. Di Indonesia, demokrasi mendasar kepada frasa sakti sila ke-empat Pancasila, yang kemudian diperinci dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 sebagai kontitusi resmi negara. Sila ke-empat yang menyatakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan adalah unsur terpenting dalam Pancasila yang mempunyai muatan politik ketatanegaraan yang sangat kuat.
Soekarno sebagai penggagas welstangchauung tersebut menyatakan bahwa dia terinsipirasi dari Dr. Sun Yat Sen di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, dia mengaku mendapat pelajaran untuk membongkar kosmo- politisme yang sebelumnya diajarkan oleh A. Baars, cendekia asal Belanda. Sejak saat itulah tertanam rasa kebangsaan dalam dirinya, sehingga kemudian merumuskan Pancasila pada masa pembuangannya di Nusa Tenggara Timur oleh Kolonial Belanda, lalu disampaikan disidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
Demokrasi sebagai system deskriptif dari musyawarah mufakat sempat bergejolak ketika awal mula diterapkan di era orde lama. Politikus parlemen lebih banyak bertikai mengenai landasan negara, sehingga banyak program pembangunan dan program legislasi nasional yang tak berjalan. Hal ini yang kemudian membuat Bung Karno menganggap demokrasi yang dipakai saat itu terlalu liberal dan mengeluarkan dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 tentang pembubaran Parlemen yang berimplikasi berubahnya Indonesia menuju system demokrasi terpimpin.
Semenjak orde baru runtuh, Indonesia terus berbenah menuju negara demokratis yang ideal. System kenegaaran yang diperkuat adalah presidentialisme multi partai. System presidential adalah system yang di mana Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara sekaligus Kepela Pemerintahan, Kabinet berada di bawah kendali Presiden dan bertanggung jawab terhadap Presiden. System ini banyak dianut di Amerika latin. Salah satu indikator kuat dilaksanakannya system ini adalah diselenggarakannya pemilihan umum sebagai impelementasi system perwakilan: baik legislatif ataupun eksekutif. Oleh karena itu, dalam system ini, baik Presiden, Gubernur, Bupati atau jajaran ekskutif dan jajaran legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pemilu tahun 1955 merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesi setelah merdeka, tepatnya terjadi pada kabinet Burhanuddin Harahap. Sebenanrnya pemerintah telah berupaya untuk melaksanakan pemilu pada 1946, tetapi karena beberapa hambatan, akhirnya baru bisa terlaksana pada 1955. Sampai saat ini pemilihan umum di Indonesia sudah berlangsung 11 kali. Mulai pemilu yang pertama tahun 1955; 1971; 1977; 1982; 1987; 1992; 1997; 1999; 2004; 2009; dan yang terakhir tahun 2014.
Pemilu berlandaskan terhadap Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Sedangkan ketentuan secara khusus mengenai pemilu diatur dalam Pasal 22E ayat (1) hasil dari amandemen ketiga yakni: pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap 5 tahun sekali.6
Operasionalitas dari Pasal 22E tersebut diatur dalam UU No. 12 taun 2004 tentang pemilu legislatif tentang mengakomodasi pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
Meski Indonesia telah melaksanakan pemilu terhitung sebanyak 11 kali, tetapi permasalahan utama dari pemilu ke pemilu tetap sama: yakni adanya money politcs. Money politics merupakan bentuk penghiyanatan dari Pasal 22E UUD 1945 yang mensyaratkan dilaksanakannya pemilu secara jujur. Bentuk kejujuran yang dimaksudkan bisa jadi adalah rakyat benar-benar paham dan mengerti mengenai calon yang akan dipilih; mengerti program-program yang disodorkan; kemudian mereka memilih dengan hati nurani.
Money Politics: Pemicu Demokrasi Semu
Money politics adalah perilaku melanggar hukum yang biasa digunakan oleh politisi dalam pemilu, baik dalam tingkat nasional ataupun regional. Hal tersebut biasa dilakukan dengan beberapa cara: mulai dari pemberian barang atau uang kepada para kader partai agar kader tersebut bersedia mengusung yang bersangkutan; pemberian materi terhadap masyarakat agar yang bersangkutan dipilih dalam pemilu; pemberian materi dari para pengusaha untuk kelompok tertentu berdasarkan kolusi-kolusi; penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk mengundang simpati kelompok tertentu.
Biasanya, dalam praktek money politics ini ada beberapa tahapan pendanaan yang dilakukan. Mulai dari uang perkenalan; uang pangkal; uang untuk fraksi sebagai mahar; hingga uang untuk masyarakat yang menjadi sasaran.
Disamping itu, terkadang para kandidat yang maju ini melakukan lobi-lobi politik terhadap anggota dewan menggunakan uang pangkal, uang pangkal ini disertai dengan janji apabila mereka terpilih maka mereka akan melunasinya.Jika dibiarkan, money politics akan merusak sendi-sendi demokrasi. Hal ini disebabkan karena tujuan Pemilu menjadi nonsense. Esensi diadakannya Pemilu secara langsung oleh rakyat adalah untuk melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan kompeten tidak akan tercapai, karena nurani rakyat telah diintervensi dengan pundi-pundi materi.
Oleh karena pemilihan dilakukan dengan cara yang tidak benar, kemungkinan besar pemimpin yang terpilih adalah mereka yang berwatak tidak benar. Hal ini akan berimplikasi terhadap masa depan wilayah yang akan dipimpinnya dalam 5 tahun ke depan. Dalam negara berdemokrasi, sekali saja pemimpin curang menguasai negara demokratis yang notabene penuh dengan celah untuk melakukan penipuan birokratis, maka secara otomatis celah tersebut akan semakin menganga lebar di masa yang akan datang. Oleh sebab itu dibutuhkan strategi jitu yang dapat memutus rantai implikatif money politics, sehingga tujuan pemerintahan yang baik (good government) yakni kebaikan bersama (common good) dapat tercapai.
The General Way to Change
Secara umum praktek money politics yang ada bukan tidak mungkin untuk dinetralisir, atau setidaknya bisa diminimalisir secara maksimal. Melangkah bersamaan dengan semakin dewasanya kehidupan berdemokrasi di Indonesia, cara-cara untuk menekan praktek money politics sedikit demi sedikit mulai direalisasikan. Meskipun ada beberapa hal yang sifatnya kontroversial yang butuh untuk dikaji dan dievaluasi ulang. Beberapa cara yang secara umum dapat menekan praktek tersebut sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Pertama, transparansi dana kampanye. Transparansi dalam dana kampanye bertujuan untuk memudahkan pelaksana pemilu dalam megaudit dana kampanye kandidat calon. Dengan transparansi ini kemungkinan besar panitia pelaksana pemilu dapat mengetahui sumber dan tujuan dari mana dan ke mana dana kampanye didistribusikan. Pada Pasal 203 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sumber dana kampanye berasal dari: Pertama, Pasangan Calon yang bersangkutan; kedua, Partai Politik dan/atau Gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan Calon; dan – ketiga, sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
Di Pasal tersebut diuraikan bahwa salah satu sumber dana kampanye boleh berasal dari sumbangan. Pasal ini akan memberikan dampak positif terhadap kandidat calon karena dapat membantu campaign finansialisme. Namun di sisi lain, Pasal tersebut akan sangat menghawatirkan terhadap kehidupan politik dalam prakteknya di lapangan. Bisa jadi sumbangan-sumbangan yang masuk ialah berasal dari para konglomerat dengan beberapa kompromi berupa kolusi. Dampaknya, ketika pasangan calon sudah terpilih, dia akan terikat dengan kolusi-kolusi borjuis yang pasti akan merugikan masyarakat.
Kedua, perketat regulasi dan prioritaskan kedudukan hukum diatas politik. Meskipun beberapa Perundang-undangan mengenai money politics semakin berjalan ke arah positif. Namun dalam implementasinya, penegakan hukum masih kalah dengan otoritatif politik. Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 187A yang pada intinya menyatakan siapapun yang memberikan uang atau materi kepada warga negara Indonesia baik secara langsung atau tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih, maka berhak dipidana minimal 36 bulan dan maksimal 72 bulan dan denda paling sedikit 200 Juta dan paling banyak 1 Miliyar.
Undang-undang tersebut memang sengaja disiapkan untuk kontestasi politik di tahun-tahun berikutnya. Namun dalam kenyataannya tidak menutup kemungkinan jika nantinya Panitia Pelaksana Pemilu baik Bawaslu ataupun Komisi Pemilihan Umum menemukan beberapa temuan kecurangan dalam pemilihan akan sia-sia. Hal ini bisa terjadi apabila partai politik melakukan tekanan-tekanan politis. Lebih-lebih apabila temuan kecurangan tersebut dilakukan oleh partai-partai yang kuat. Hal ini biasa terjadi di dalam negara demokratis dimana otoritatif politik berada di atas hukum.
Modifikasi Proporsional Representation List System sebagai penggerus money politics.
Ada beberapa system yang biasa dipakai dalam pemilihan umum. System- system tersebut merupakan system perhitungan suara yang biasanya dilakukan untuk menghitung suara-suara sah rakyat yang masuk sehingga bisa dikonversi menjadi jumlah kursi di Parlemen, baik tingkat nasional ataupun regional. Dua system besar dalam pemilu adalah system proporsional dan system distrik. Dua system ini merupakan salah satu system yang dipakai di beberapa negara, tapi tidak secara komparatif. Artinya beberapa negara memakai salah satu system di antara system tersebut dan tidak memakai system yang lain. Karena memang sebenarnya dua system tersebut adalah sub system yang berasal dari system yang berbeda. Salah satu sub system dari system proporsionial adalah Proporsional Representation List System.
Proporsional Representation List System adalah salah satu system yang di dalam system Proporsional yang mana salah satu metode dalam system ini adalah partai menyajikan nama-nama kandidat, kemudian pemilih akan memilih partai, dan partai dengan suara terbanyak akan mendapatkan kursi berdasarkan nomor urut kandidat di kertas pemilihan yang diatur oleh partai. Oleh sebab itu, kemungkinan besar kandidat yang akan terpilih pada system ini adalah kader-kader partai yang kompeten, sehingga diberikan nomor urut tertinggi oleh partai.
Dalam prakteknya, apabila list system dilaksanakan dengan beberapa modifikasi, maka akan sangat berguna untuk menghapus praktek money politics, karena secara otomatis, system tersebut akan memberi batasan terhadap pencalonan anggota dewan yang maju bukan hanya berdasarkan kemampuan finansial saja. Pencalonan anggota dewan akan diperketat berdasarkan kaderisasi oleh partai yang notabene sudah dididik dengan materi-materi platform kepartaian.
Disamping itu, terpilihnya anggota juga bukan berdasarkan suara terbanyak yang diperolehnya, melainkan karena suara terbanyak secara umum yang diperoleh partai. Otomatis calon-calon yang akan maju dalam pemilihan anggota dewan tidak akan menempuh praktek money politics, karena suara yang diperolehnya secara pribadi tidak menentukan dapat tidaknya dia menjadi anggota dewan.
Hal ini bisa diimplementasikan dalam pemilihan kepala Daerah dan pemilihan Presiden. Salah satu caranya adalah suara terbanyak tidak hanya didasarkan pada suara terbanyak pemilih pada saat itu. Melainkan juga ditambahkan dan dibagi dengan perolehan suara partai pendukung. Sehingga suara masyarakat pada saat pemilu atau pilkada bukan merupakan suara utama untuk bisa memenangkan pemilihan. Melainkan suara yang sifatnya fakultatif. Oleh sebab itu, usaha-usaha untuk mencapai kemenangan dengan praktek money politics akan dapat tergerus, karena para kandidat sadar bahwa suara yang akan dibeli bukan satu-satunya cara untuk memperoleh kemenangan, karena juga harus dikomparasikan dengan suara sah partai yang notabene juga dipilih oleh rakyat dengan metode list system.
Adapun metode pembagian dapat digunakan dengan berbagai cara: bisa jadi suara pemilu saat itu dan suara partai pendukung dibagi menjadi 50:50, atau bisa dengan perbandingan 75:25, atau dengan system perbandingan yang lain. Dengan cara ini, otomatis antara pemilihan calon legislatif dan pemilihan umum atau daerah bukan berdasarkan suara bulat pemilih pada saat itu, melainkan didukung oleh faktor-faktor yang lain.
Hal lain yang perlu diterapkan adalah negara perlu merahasiakan tempat pemilihan daftar pemilih tetap. Artinya hanya individu pemilih yang mengetahui di mana dia akan melakukan pencoblosan. Hal ini dimaksudkan agar supaya kandidat-kandidat yang biasanya melakukan praktek money politics tidak mengetahui secara jelas di mana letak tempat pemilihan individu atau golongan yang akan dibeli suaranya. Karena biasanya, kandidat yang melakukan praktek money politics mengalkulasi hasil pembelian suara berdasarkan tempat pemilih tetap yang sudah terjadwal dengan rapi. Dengan demikian, maka kandidat pelaku money politics tidak akan bisa mengalkulasi dan melakukan perhitungan jumlah suara yang dibeli. Sehingga hal ini akan sangat bermanfaat untuk menggerus praktek-praktek money politic ke depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar